Jika saja kita bisa membuat replika hati maka mungkin kita bisa belajar menempatkan keburukan pada sudut yang sulit dipandang mata. Seringkali fikiran kita merekayasa kondisi hati. Lidah kita selalu menampakan yang indah-indah, menebar idealisme kata, tapi siapa yang tahu proyeksi hati yang pantulannya tidak pernah ditampakkan.
Hari itu aku memasuki empat tempat dengan empat sketsa rasa dikepala. Entah mengapa pagi itu perasaan kurang begitu gembira seperti ada ganjalan di hati, tetapi karena ada laporan penjualan barang yang harus dilaporkan, kaki terpaksa tetap dilangkahkan. Karena ingin cepat sampai ketujuan, diambilah jalan pintas yang kadang tidak pernah dilalui sebelumnya sampai pluit panjang polisi menghentikan sepeda motorku, ternyata jalan ferboden telah dimasuki. Tidak berapa lama aku sudah berada dalam pos polisi menunggu proses penilangan, atau lebih tepatnya ajakan damai, dan itulah pilihan yang aku ambil, berdamai dengan mengeluarkan kertas yang mengandung angka keramat yang di gilai semua orang. Rasa kesal menyumbat kepala.
Barang terlambat diantar ke pada pelanggan dan ocehan dengan nada kesal kembali harus diterima. Aku harus mempertontonkan mimik muka penuh penyesalan agar bisa menyakinkan pelanggan tersebut kalau keterlambatan itu tidak disengaja dan proses saling mengertipun terjadi. Rasa kesal menjadi-jadi.
Memasuki ruangan atasan perasaan sudah tidak karuan, tetapi kita dipaksa bermanis muka, dan dengan berbagai diplomasi akhirnya laporan diterima. Rasa kesal belum juga hilang
Waktu sholat dzuhur telah tiba. Waktu menghadap kepada sang pencipta. Tetapi rasa kesal tidak hilang juga. Segala macam mimik muka telah aku hidangkan dimuka polisi, pelanggan, dan atasan, tetapi entah mengapa mimik kesal itu justru tampak disini di depan sang maha pencipta. Mimik muka yang terbaik justru seharusnya ada disini, bukan di tempat lain.
Kita mungkin telah lama berdiri didepan Sang maha pencipta dengan rekayasa kepala bukanlagi keikhlasan hati. Suara yang keluar dari mulut kita hanyalah hafalan-hafalan ayat bukan lagi pengharapan, kita lebih sering monolog dengan diri sendiri ketimbang dialog dengan Yang maha memperhatikan karena kita memang tidak pernah merasa di perhatikan. Tidak ada yang tahu, semua tampak berbaris rapi dalam satu shaf. Dan yang membedakan adalah isi di kepala yang mungkin saja telah memposisikan kita di barisan para pendusta agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar