Senin, 28 September 2009

Lipatan Kisah Dari Sebuah Perjalanan


Satu tahun yang lalu ketika memasuki bulan Rajab , tidak banyak yang menunaikan sholat duha di masjid itu, kecuali seorang pemuda yang selalu membawa tas ransel. Dia bekerja tidak jauh dari area masjid yang terletak di bilangan Jakarta Utara. Sholat sunnah dhuha memang tidak se familiar sholat sunnah rawatib yang selalu mengapit sholat fardu. Banyak orang menganggap sholat dhuha adalah sholat kepentingan sama halnya dengan sholat hajat, hanya saja dhuha lebih di fokuskan dengan masalah rezeki. Walaupun tidak semua seperti itu tapi kita tidak juga bisa menutup mata dengan bertebarannya dalil kecukupan rezeki bagi orang yang menunaikanya, sehingga jika ada yang menunaikannya karena meminta dimudahkan rezeki oleh Allah adalah wajar saja.



Memasuki bulan Syakban, kondisi masjid mulai bertambah seiring dengan sunnah puasa di bulan ini maka bertambah juga orang yang menunaikan sholat dhuha. Puncaknya adalah bulan Ramadhan, apalagi pada sepuluh hari terakhir, maka susah untuk membedakan mana yang datang dari luar untuk menunaikan sholat dhuha dan mana yang telah berdiam diri disana dari hari sebelumnya. Mengginjak bulan Syawal kembali masjid tersebut sepi. Kami seperti reuni dalam kesunyian, mengapai ridho Allah dalam hal rezeki, mengais harapan dari setiap doa dan bersimpuh untuk meraih setiap kesempatan yang diberikanNya.

Namanya Ahmad, bekerja sebagai office boy pada sebuah perusahaan multi nasional. Dia ingin meningkatkan karirnya dengan cara melanjutkan pendidikan keperguran tinggi. Setelah tamat sekolah menengah tingkat atas di telah bekerja di berbagai tempat dan mulai menabung untuk biaya memasuki perguruan tinggi pada sore hari selepas bekerja. Dia selalu merasa ada saja masalah yang menghinggapinya sehingga setiap hari lari kemasjid mengadu kepada Allah, dia tidak mempunyai teman yang bisa di percaya untuk berbagi cerita, sedangkan orang tuanya ada di kampung. Saya sempat bercanda dengannya dengan mengatakan bahwa Allah mungkin senang berdua dengannya sehingga selalu di titipkan sebuah masalah agar dia selalu kembali kepadaNya. " Benar sih mas tapi saya ingin berdua dengan Allah bukan karena sebuah masalah, tapi karena memang saya ingin berdua denganNya dengan hati damai" katanya mencoba berharap lain.

Hari demi hari berlalu dan seperti biasa setiap pagi kami selalu bertemu dan menunaikan sholat dhuha secara terpisah mencari sudut yang paling ideal berdialog denganNya. Memasuki bulan Rajab yang lalu, saya kehilangan dia dan berlanjut pada bulan Syakban dan Ramadhan. Memasuki bulan Syawal, sewaktu perusahaan baru mulai beraktifitas kembali setelah libur lebaran. Saya bertemu dengannya di masjid yang sama dengan penampilan yang berbeda. " Saya sudah tidak bekerja di sini lagi mas , udah pindah ke Jakarta barat, saya coba mampir kesini mau silaturahim sama mas dan teman-teman di kantor lama" katanya menerangkan. Allah telah menjawab teriakan doa yang di panjatkannya gumam saya didalam hati. " kayaknya banyak kemajuan nih, " canda saya kepadanya. " saya jadi bingung mas, sebenarnya cobaan saya itu kekurangan saya dulu atau kelebihan saya sekarang, saat ini saya jarang sholat dhuha karena kantor di daerah saya kerja sekarang jauh dari masjid, sedangkan kalau sholat dikantor selalu saja ada halangannya karena tempat sholatnya dekat dengan pantry. Saya sekarang udah kuliah sore mas, tapi saya jadi sering ketinggalan sholat maghrib paling telat diakhir waktu. Setiap pagi kerinduan berdialog dengan Allah tergantikan dengan bercanda dengan teman di kantin karena suasana kantinnya asyik sekali karena yang makan disana cantik-cantik dan baik-baik " katanya seperti tidak mau untuk bercerita, tetapi waktu memaksa kami untuk berpisah.

Mulai hari itu masjid itu kembali sepi, saya mencari sudut dari masjid tempat dulu ahmad melaksanakan sholat dan merasakan kehadiran Allah dalam nuansa ketakutan, Saya selalu gelisah dengan pencapaian-pencapaian yang tidak pernah berakhir dengan memuaskan tetapi saya lebih takut ditinggalkan Allah dalam keadaan tertawa. Saya tidak lagi berani berdoa ini dan itu......hanya diam dan terpaku, tiba-tiba hati ini diliputi suasana bahagia...lau hening , entah dari mana asalnya lalu seperti di tuntun berdo'a " Ya Allah berikanlah kapadaku keikhlasan menerima segala kehendakmu atas jalan hidupku dan jadikanlah sabar di hati sebagai rasa syukur atas segala cobaanMu dan hiasilah rasa syukur didada ini dengan sebuah kesabaran dalam menerima amanahMU"



Jumat, 25 September 2009

Cerita Di atas Cerita


Pada masa sekarang, dimana kebutuhan sehari-hari semakin meningkat meninggalkan penghasilan yang di peroleh, maka sering kita melihat pasangan suami istri bekerja bersamaan saling bantu membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ada yang bekerja bersama-sama berdagang dan ada juga yang bekerja secara terpisah pada suatu instansi atau perusahaan. Pak Haris adalah salah satu dari beberapa orang di kota besar ini yang mengijinan istrinya bekerja membantu memperbaiki keuangan keluarga, walau dengan konsekwensi anak mesti dititipkan kepada pembantu rumah tangga. Pak Haris bekerja sebagai staf administrasi pada sebuah sekolah dasar sedangkan istrinya bekerja sebagai staf keuangan pada perusahaan swasta yang berskala nasional. Sebagai kepala rumah tangga, gaji yang didapat sebulan selalu dibawah penghasilan sang istri, namun Pak Haris selalu sabar dan tidak pernah marasa iri dan susah hati, sebaliknya istrinyalah yang selalu mengeluh dan terus mendorongnya mencari pekerjaan yang lebih baik.






Allah selalu maha adil dalam menempatkan segala sesuatu, walaupun tidak banyak menghasilkan tetapi didalam kehidupan keluarga Pak Haris adalah ayah yang baik dalam mendidik anak-anaknya dan selalu memberikan tauladan yang baik sebagai seorang ayah maupun sebagai seorang suami, Pak Haris memang selalu berusaha meluangkan waktu untuk keluarganya. Kondisi perekonomian membuat Pak Haris saat itu tinggal bersama keluarganya pada sebuah rumah kontrakan di pinggiran Jakarta. Istrinya selalu berusaha menyisihkan sebagain dari gajinya untuk membeli sebuah rumah, karena gaji Pak Haris habis untu kebutuhan sehari-hari.

Suatu ketika Istri Pak Haris berniat membeli sebuah rumah dengan cara mengajukan KPR pada suatu Bank. Uang muka yang akan di setorkan telah disiapkan untuk di bawa Pak Haris ke pengembang perumahan tersebut karena volume pekerjaan istrinya tidak memungkinkan untuk keluar kantor. Setelah minta ijin dari kepala Sekolah , Pak Haris langsung pergi menuju perumahan yang dimaksud dengan membawa uang muka pembayaran. Allah selalu mengawasi setiap langkah hambanya dan mengukir cerita yang menjadi jalan hidup si hamba, yang dengan cerita itu tergambarlah karakter yang diinginkanNya, yaitu ikhlas terhadap segala keputusanNya. Di tengah jalan uang yang dibawa Pak haris hilang, entah di curi orang atau terjatuh dan hal ini baru disadari sewaktu tiba di lokasi perumahan. Berkali-kali pak Haris menelusuri jalan yang dilalui tapi hasilnya tidak ada.

Setiba di rumah, istri pak Haris sangat marah dengan kelalaian yang dilakukannya. Berulang-ulang istrinya menyebutkan bahwa uang itu adalah hasil yang dikumpulkannya bertahun- tahun dan hilang begitu saja dalam satu hari, istrinya lupa kapada Sang pembuat cerita. Pak Haris merasa sangat bersalah. Ketidak mampuannya memberikan penghasilan yang lebih harus di lengkapi dengan hilangnya tabungan yang dikumpulkan dengan bersusah payah oleh sang istri. Sejak hari itu pak Haris jarang ada di rumah, dia bekerja apa saja setelah pulang dari sekolah hanya untuk bisa mengganti uang istri yang hilang. Setiap hari Pak Haris selalu pulang larut malam , bahkan hari libur juga di gunakan untuk bekerja. Hari demi hari berlalu kesunyian mulai terasa di rumah yang biasa selalu ceria oleh tawa anak-anak dengan canda Pak Haris. Istrinya mulai menyesal dengan tindakannya, tetapi kekecewaan Pak Haris pada dirinya disamping sindiran sang istri membuat pak Haris terus bekerja tanpa henti bahkan dalam keadaan sakit sekalipun, hingga kecelakaan menghampirinya. Kedua kakinya harus di amputasi karena terjepit truck container sewaktu akan mengantarkan barang pada sebuah area pergudangan.

Keluarga itu tidak hanya kehilangan uang untuk beli rumah tetapi juga telah kehilangan seoarang ayah dan seorang suami hanya untuk sebuah ego, ketidak ikhlasan bahwa apapun yang terjadi pada diri kita telah tercatat pada lembar abadi milik Sang Pencipta, rasa syukur memang harus di barengi dengan rasa sabar, sebuah sikap para shalihin yang mulai jarang ditemui.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita diatas ditulis Pak Haris untuk menyadarkan istrinya melalui mailing list. Terkadang untuk menyadarkan seseorang di perlukan media yang sering kita temui tanpa kita sadari salah satunya adalah email. Cerita dibuat sedikit mendramatisir yaitu diahiri dengan kecelakaan yang membuat seseorang agak terkesima tidak terkecuali istrinya yang membacanya yang di peroleh dari forwadan email teman yang sengaja di minta oleh pak Haris tanpa disadari istrinya. Beberapa hari setelah email terkirim , terdengar istri menelpon dari kantornya " Ayah, ada dimana ?" tanya istrinya
" masih kerja, mudah-mudahan uang ibu yang hilang bisa cepat ayah pulangin" kata pak haris
" Ibu sudah kehilangan uang dan sekarang ibu juga tidak mau kehilangan ayah, jika ayah tidak bisa mengembalikan uangnya cukup kembalikan ayah dari anakku, tolong kembalikan juga kecerian di rumah kami yang telah lama hilang" kata sang istri mulai dengan nada hampir menangis. tanpa menunggu lebih lama Pak Haris berusaha bergegas pulang, kerinduan akan anak-anaknya mulai membuncah didada. Sepeda motor di pacu sekecang mungkin. Goresan yang dibuatnya melalui email menjadi kenyataan. Allah menulis hal yang sama pada lembar abadiNya dan Pak Haris kecelakaan dari motor. Kecelakaan itu tidak hanya merampas kakinya tapi juga jiwanya.

Beberapa hari setelah kematian Pak Haris teman tempatnya bekerja menceritakan semuanya dan email itulah ungkapan hati Pak Haris yang terakhir, bahwa dibalik ego yang menghalangi ada sebuah kerinduan yang teramat dalam bagi keluarganya. Apakah kita akan mengalami hal yang sama pada cerita yang berbeda ?

Selasa, 22 September 2009

Syawal Seperti inikah Yang Diinginkan Rasulullah

Bulan syawal adalah bulan yang dinanti ummat Islam karena disana ada yang bernama " Lebaran ". Didalam dunia Islam sendiri terutama di zaman Rasulullah Gaung Idul fitri tidak sehebat Idul Adha, Idul fitri adalah perayaan keprihatinan karena telah di tinggal Ramadhan sedangkan Idul Adha adalah perayaan sebuah pengorbanan dengan menyembelih binatang kurban. Tetapi saat ini, semua tampak terbalik, Idul Fitri tampak lebih semarak dibanding Idul Adha, lihat sajalah , Para fakir miskin hanya di hargai tiga setengah liter beras pada idul Fitri tapi lebih dari berkilo-kilo daging pada Idul Adha. Sekarang cobalah kita fikirkan dan tanya hati kita yang paling dalam "apakah lebaran yang kita klaim milik Islam ini adalah warisan Rasulullah dan merupakan wahyu dari langit atau sebuah toleransi besar-besaran dengan nafsu kita atas nama sebuah ibadah ?"






" Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku" kata Allah didalam Al Qur'an. Silaturahim yang kita lakukan pada bulan syawal dengan bermaaf-maafan adalah pelaksanaan dari hablumminannas, tapi seringkali hablumminannas mengabaikan hablumminallah. Lihatlah sewaktu silaturahim terjadi di hari pertama lebaran, ketika azan zuhur atau ashar memanggil dari masjid sedagkan kita masih asyik bercanda dengan saudara atau teman dan kerabat, pada saat itu banyak yang mengabaikan panggilan sholat tersebut dan lebih mengutamakan bercanda dengan tamunya. Pada bulan syawalah sholat banyak yang di belakangkan, subhanallah. berbanding seratus delapan puluh derajat dengan yang kita saksikan di bulan ramadhan. Lalu dimana cerita menjadi orang betaqwa yang di dongengkan di bulan ramadhan tersebut ?

Dari tahun ketahun , kuantitas umat Islam semakin meningkat, tetapi sebaliknya kualitas keimanan umat semakin memprihatinkan sama seperti apa yang di perkirakan Rasulullah melalui hadistnya bahwa ummat Islam nanti seperti buih di lautan yang akan hilang di telan ombak. Posisi Ustadz dan Ulama saat ini hanya untuk menghibur telinga kita dengan tausiyahnya dan ilmunya tertinggal di awang-awang yang orang enggan menggapainya. Mudah-mudahan kita bisa mulai berbenah dari hal yang kecil , dari keluarga dan teman kita untuk memindahkan apa-apa yang kita dengar dengan telinga kita dan apa-apa yang kita lihat dengan mata kita untuk kita renungkan dihati kita dan dilaksanakan oleh anggota tubuh kita yang lain.