Jumat, 24 Oktober 2008

Cerita Pandang Memandang

Setelah shalat Maghrib biasanya saya dan beberapa rekan sering diskusi secara santai samabil menunggu waktu Isya dan pembahasan waktu itu adalah cara memandang tujuan beragama pada orang kebanyakan. Berbagai wacana bertaburan mewarnai diskusi walaupun semuanya bersifat subjektif , ya gak apa-apalah buat nambah wacana saja. dan saya bingkai lewat sebuah narasi pendek
 
Setelah beberapa tahun secara tidak disengaja saya bertemu teman lama pada suatu majelis,  tampak  terjadi banyak perubahan pada dirinya tidak hanya prilakunya tetapi juga penampakan fisik. Semangat dakwah menjalar keseluruh tubuhnya sehingga ketika berbicara, mimik mukanya tampak garang dan badannya sering bergetar seperti menahan sesuatu. Dia sering menghujat para " the real terorist" di palestina, para "aggresor" di amerika dan para " sipilis" di negara kita yah seperti JIL itulah dan memang tidak ada yang salah dari cara pandangnya semua sesuai dengan apa yang telah di pelajari dan di lakoni baik dari majelis , dari buku maupun dari  lingkungan, namun dia sering memberikan penilaian menurut apa yang dia pahami. Cara pandang seperti teman saya itu adalah cara pandang dari depan yaitu  selalu menilai apa yang tampak didepannya baik berupa kelemahan  maupun kelebihan namun akan lebih sering  tampak segala kelemahan dan keburukan lawan dan hal ini sering menimbulkan konfrontasi baik secara langsung maupun tidak langsung karena dia sering melihat tujuan dia dan yang didepannya bertolak belakang.
 
Berbeda dengan cara pandang tadi, salah satu teman yang lumayan lama aktif dalam kepengurusan masjid dan sering bergaul dengan berbagai macam kelompok keagamaan tampak lebih persuasif, dia beranggapan bahwa  silahkan berjalan menurut keyakinannya selama dalam aqidah yang benar (tidak syirik). Namun untuk diluar Islam dia tampak tidak begitu perduli karena menganggap mereka berada diluar jamaah.  Cara pandang seperti ini adalah cara pandang dari samping yaitu memandang orang seperti dalam satu shaf memanjang dan bersama-sama mengarah kedepan ( tujuan yang sama ) tanpa perlu saling sikut menyikut.
 
Ki Farid, salah satu imam masjid dekat rumah malah lebih bersifat umum yang memandang semua manusia adalah mahluk ciptaan Allah, dan Ki Farid beranggapan bahwa selalu ada garis-garis ketetapan Allah pada setiap mahluknya, dan mudah bagi Allah mempersatukan atau mencerai-beraikan manusia karena Allah maha berkehendak dan tidak ada satupun kejadian di muka bumi ini selain atas kehendak Allah dan salah satu kehendak Allah menurut Ki Farid adalah membiarkan manusia dalam kesesatan selama mereka tidak berusaha mencarinya kecuali atas orang-orang yang dipilih olehNya. Ki Farid memang tekenal dengan keramahannya dan dia sering memberikan pertolongan kepada siapapun dan ke pada agama apapun yang ada didekat tempat tinggalnya. Cara pandang Ki Farid ini adalah cara pandang dari atas melihat orang lain dengan berbagai macam tujuan tetapi tidak mencampuri tujuan mereka.
 
Cara pandang yang lain adalah seperti ustadz Najib, guru ngaji saya. Tidak banyak memang yang mengikuti pengajian ustadz Najib, namun selalu banyak pelajaran  yang bisa di peroleh, dia tidak pernah melihat status, tingkatan maupun agama  seseorang jika salah maka dia akan langsung memperingatkan dengan santun sebatas apa yang bisa dia lakukan. Untuk para muridnya dia sering menuntun tanpa berusaha menggurui, berusaha memberikan berbagai macam sudut pandang yang dinilai sebagai kebenaran tanpa menekankan pada sebuah pembenaran. Hal ini bisa lebih merangsang kreativitas berfikir para murid untuk bisa memberikan penilaian dari berbagai referensi tadi. Cara pandang ustadz Najib ini adalah cara pandang dari belakang yaitu memberikan pandangan kedepan dan membiarkan berjalan sendiri-sendiri tetapi tetap menuntun dari belakang.
 
Dan yang kebanyakan adalah cara melihat dari bawah yaitu mengikuti cara pandang orang yang di idolakannya baik itu ustadz, kiyai, ajengan, syaikh, murobi atau apapun istilah lainnya tanpa pernah mau bersifat kritis dan enggan mempelajari sumber, dasar atau dalil dari para idola mereka dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengambil keputusan dalam sebuah masalah, atau sering di istilahkan 'taqlid buta'.
 
Tapi memang benar semuanya bersifat subjektif dan pembuktianlah yang bisa menjadikannya objektif, karena seperti kata voltaire ' fikiran di buktikan dengan perbuatan, dan segala perbuatan di simbolkan dengan perkataan dan perkataan di wakili oleh bahasa maka bahasalah yang sering menyembunyikan fikiran"
 

Bukankah itu Ghibah

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tahukah kalian, apa itu ghibah" Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: "Yaitu, engkau menceritakan saudaramu apa yang tidak ia suka." Ada yang bertanya: Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada pada saudaraku?. Beliau menjawab: "Jika padanya memang ada apa yang engkau katakan, maka engkau telah mengumpatnya (menjadikannya ghibah) dan jika tidak ada, maka engkau telah membuat kebohongan atasnya (menjadikannya fitnah)." Riwayat Muslim.
 
Ilmu dan pengetahuan biasanya disandingkan dalam satu kata, padahal keduanya mempunyai substansi yang berbeda seseorang yang mempunyai pengetahuan belum tentu mempunyai ilmu dibidang sesuatu yang dia ketahui, begitu juga dengan orang yang berilmu belum tentu selalu menerima informasi atau pengetahuan mengenai ilmu yang dia dalami.
 
Seiring dengan kemajuan dalam bidang telekomunikasi maka penyebaran informasi melalui berbagai media terjadi setiap saat. Sayangnya tidak setiap infomasi yang kita terima mempunyai nilai kebenaran atau mempunyai nilai keilmuan didalamnya. Namun tetap saja kebutuhan akan informasi tersebut tidak bisa dibendung dan hal ini sering dimanfaatkan sebahagian orang untuk menggiring opini publik pada tujuan yang di kehendakinya, sehingga tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa  jika ingin menguasai dunia maka kuasailah berbagai media informasi  dan hal ini tebukti dimana ummat Islam sering terpojok oleh pemberitaan negatif dari berbagai media baik di luar maupun didalam negeri.
 
Menyampaikan informasi mengenai keadaan orang lain jika tidak hati-hati maka akan menjadi dilema karena jika tidak disebut ghibah maka akan disebut fitnah, namun belakangan ini hal tersebut sering diabaikan bahkan dengan menggunakan alasan yang paling logis dan tampak bijaksana seperti " mudah-mudahan dengan membahas hal ini bisa menjadi pelajaran dan bahan renungan agar kelak tidak terjadi lagi dikemudian hari " . padahal pelajaran itu disimpan di hati bukan di mulut.
 
Dalam salah satu kisah celoteh para munafikun, mereka berkata " Cara terbaik menyembunyikan keburukan kita adalah dengan mengungkapkan keburukan orang lain, dan jika kita tidak mendapatkannya maka lekatkan keburukan kita pada mereka sambil kita berpura-pura menasehati mereka dengan logika para dewa"
 
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( QS 60:5)
 
 

Jumat, 17 Oktober 2008

Belajar Merasa

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS 2:115)
 
Suatu ketika Nasruddin bermimpi melayang-layang di luar angkasa bahkan dia tidak bisa membedakan mana bumi atau planet lain semuanya tampak seperti kilauan bintang di kejauhan, Nasruddin bingung menetukan waktu sholat karena dia tidak bisa membedakan antara siang dan malam dan dia juga tidak tahu harus menghadap kemana , dia seperti berputar dalam symphoni jagat raya tanpa  tepi, " kemana arah yang mesti aku tuju  untuk sujud kepadamu ya Rabb, karena aku seperti berada dalam genggaman keagunganmu yang tak berbatas, tak lagi mengerti hari ini , kemaren atau esok lusa , semua seperti sama ", tiba-tiba Nasruddin merasa terlempar jauh dan dia terbangun setelah jatuh dari tempat tidur " ah maafkan aku ya Rabb ternyata aku harus kembali membatasi mu wahai Tuhanku di pojok-pojok mihrab dan dinding-dinding batu ketika aku sujud nanti"
 
Indra yang kita miliki selain bermanfaat untuk berinteraksi dengan dunia luar, juga sering menipu kita tentang realitas dunia luar tersebut, langit yang kita kira berwarna biru ternyata hanyalah pantulan cahaya, bumi yang kita kira diam ternyata berputar menyamai kecepatan peluru sehingga kita menyadari bahwa selain di batasi oleh indera kita juga di batasi oleh ilmu pengetahuan sebagai contoh kita buat dalam logika bahasa pernyataan berikut ini  "orang yang tidak tahu bentuk gajah hampir sama dengan orang yang tidak pernah melihat gajah" dan ketika pengetahuan di perolah maka pernyataannya menjadi " orang yang pernah melihat gajah belum tentu pernah bertemu gajah " walaupun hampir sama tapi jelas berbeda.
 
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa tidak banyak yang berubah dari ilmu pengetahuan kecuali dari sudut mana kita melihat dan menggalinya. Informasi yang di sisipkan berulang-ulang bisa merubah cara pandang kita, sebagai contoh rasa takut atau geli terhadap kecoa, atau ulat atau tikus karena informasi yang kita terima mengatakan bahwa kecoa itu binatang yang menakutkan atau menggelikan, sebaliknya anak  yang berusia satu sampai dua tahun  yang belum mendapatkan informasi tersebut tidak merasa takut atau geli bahkan ada yang menggigit dan meremasnya. Lalu apa sebenarnya rasa takut ?
 
Sifat ikhsan tidak akan pernah diperolah selama otak kita belum memuat endapan ketauhidan mengenai Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita baru mengenal Allah lewat indera seperti mata dengan membaca telinga dengan mendengar nasehat-nasehat, pengajian-pengajian, tetapi kita belum mengenal Allah lewat hati kita, sebagai contoh kita mengenal presiden kita dari melihat di media cetak mendengar apa yang beliau perbuat bagi kita rakyatnya dan ketika orang lain bertanya mengenai president kita akan bisa memberikan informasi dengan baik tetapi apakah sama perasaan kita terhadap president dengan perasaan kita kepada ibu ?  tentu tidak karena sehebat apapun pengetahuan yang kita peroleh mengenai president dan apa-apa yang telah dia perbuat untuk rakyatnya tidak bisa menyamai rasa yang ada di dada terhadap ibu , karena muatan emosi kita terhadap president mungkin ada tetapi tidak terlalu kuat untuk membuat kita perduli.
 
Merasa hebat karena telah banyak mengumpulkan informasi mengenai keislaman dan ketauhidan memang boleh -boleh saja tetapi lebih hebat jika informasi atau ilmu pengetahuan tersebut menjadikan kita lebih bisa merasa.

Atas Nama Penilaian Orang Lain

Didalam salah satu festival film dari Iran di ceritakan bahwa dua orang anak tukang jahit setiap hari berangkat sekolah dengan berlari karena jarak yang ditempuh kedua anak itu cukup jauh dan tidak jarang mereka sampai terlambat kesekolah. Karena terlalu sering di bawa berlari sepatu keduanya menjadi rusak , namun sang ayah hanya bisa membelikan sepatu untuk si kakak karena tabungan mereka tidak cukup untuk membeli dua pasang sepatu dan hal itulah yang menyebabkan  sang kakak berusaha mencari kerja sampingan agar bisa membelikan sepatu baru buat adiknya akan tetapi harga sepatu pada waktu itu terlalu mahal.
 
Ketika lomba lari antar sekolah akan di selenggarakan sang kakak melihat bahwa hadiah bagi pemenang kedua adalah sepasang sepatu dan ukurannya hampir sama dengan ukuran kaki adiknya. Dengan hati yang penuh harap si kakak mendaftar pada acara lomba tersebut. Sang kakak sengaja merahasiakan hal itu keluarganya termasuk adiknya agar kalo kalah terlalu berharap banyak dan kalo menang bisa menjadi kejutan.
 
Pada hari yang telah di tentukan lomba pun dimulai, sang kakak berlari dengan sangat cepat karena memang setiap hari telah terbiasa berlari pulang pergi sekolah. Yang ada dimata sang kakak hanyalah sepatu bagi adiknya. Satu persatu lawan di tinggalkan sampai dia lupa bahwa garis finish semakin dekat dan hadiah sepatu hanya bagi juara dua sedangkan lawan masih jauh di belakang. Para guru dan teman-temannya menyoraki agar dia secepatnya mencapai garis finish tetapi dia hanya ingin jadi juara dua bukan juara satu. Semakin dekat garis finish teriakan penonton semakin membahana dan dia tidak bisa lagi menahan teralu lama. Sorak penonton mengelu-elukan dia sebagai juara tetapi airmatanya menangis melihat sepatu bagi adiknya yang terlewatkan, dia tidak perduli juara atau tidak , dia tidak begitu perduli dengan segala pujian karena yang di butuhkan cuma satu yaitu sepatu bagi adiknya.
 
Terkadang apa yang menurut kita baik belum tentu seperti itu penilaian orang lain terhadap kita begitu juga sebaliknya apa yang dianggap orang baik belum tentu bisa kita terima sebagai sebuah kebaikan, namun ada saat kita sulit menghindar dan terkondisi pada penilaian orang lain lalu mengenyampingkan pendapat kita sendiri atas nama toleransi.
 
Berlakulah lunak dan saling mengasihi. Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang punya hak mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya pasti orang yang punya tuntutan atas haknya akan lari menjauhi orang yang dituntutnya. (HR. Bukhari)
 
Jika bukan karena matahari, mana mungkin orang bisa menilai indahnya cahaya rembulan atau gemerlapnya bintang-bintang tetapi tetap saja panasnya yang selalu menjadi cerita

Kekuatan Niat atau Hanya Prasangka Semata

Tidak banyak yang di peroleh Ina hari dari berjualan kue kering hasil masakan ibunya. Rutinitas seperti ini memang harus dilakukan Ina sepulang sekolah dalam membantu ibunya untuk menambah penghasilan keluarga, wajarlah karena sang ayah telah lama meninggalkan mereka yang telah meninggal dunia karena penyakit demam berdarah. Sebagai anak satu-satunya Ina merasa terpanggil untuk membantu ibunya berjualan kue, sementara ibunya membuka jasa jahitan dirumah. Hari itu tidak seperti biasanya, hujan yang terus menerus mengguyur jakarta berimbas juga pada dagangan Ina, hampir separuh dari dagangannya belum laku terjual sementara hujan belum juga berhenti. Sambil menunggu hujan Ina duduk di pojokan halte bis sambil berharap ada calon penumpang yang berkenan membeli dagangannya. Disisi lain halte tersebut nampak seorang ibu sedang menggendong anaknya yang terus saja menangis entah karena kedinginan atau kelaparan, terbersit keinginan Ina bersedekah dengan memberi kue dagangannya kepada ibu tersebut. Baru saja Ina hendak memberikan kue kepada sang ibu ada seorang lelaki separuh baya mendahuluinya, lelaki tersebut memberikan sebungkus roti kemasan  dan makanan fast food kepada ibu tersebut mungkin sebagai tanda ke prihatinan juga dan hal ini tentu saja membuat Ina menjadi ragu karena kue yang dimilikinya hanyalah kue kering biasa sehingga muncullah rasa rendah diri untuk bersedekah " ya sudahlah ..kan sudah ada yang membantu.." pikir Ina sambil menatap kosong kejalan yang masih di penuhi dengan genangan air.
 
Belum jauh pikiran Ina melayang tiba-tiba cipratan mobil yang berjalan dengan kencang membasahi sebagian baju dan kue Ina. Tidak ada yang bisa di perbuat, mobil itu sudah beralalu menjauh tanpa ada yang bisa menghentikan dan tinggal Ina yang di rudung kesedihan karena hampir semua sisa kuenya tidak bisa dimakan karena telah tercampur air kotor cipratan mobil tadi. "mungkin ini ganjaran sesuatu yang telah diniatkan tapi tidak dilaksanakan...." gumam Ina dalam hati  "..ya sudahlah mungkin Allah memang hendak memberikan sebuah hikmah atas kejadian ini...". Tanpa disadari oleh Ina lelaki yang tadi memberikan makanan kepada Ibu yang menggendong anak , mendekat kearahnya " Kue nya basah semua de..." sapa lelaki tersebut perlahan ....Ina hanya mengangguk " bagaimana kalo sisa kue tersebut saya bayar "   Ina hanya menggeleng " Saya diajarkan oleh ibu untuk membiasakan diri bersedekah bukan menerima sedekah " balas Ina " saya bukan hendak bersedekah tetapi membeli...apakah itu salah", Ina lalu melirik kearah lelaki paruh baya tersebut " tetapi setelah itu di buangkan ?" , mendengar pertanyaan Ina lelaki tersebut tersenyum "bukankah ade juga akan membuang kue yang telah kotor tersebut setelah sampai dirumah , jadi biarkan saja saya membelinya , masalah kue itu akan saya apakan ade sudah terlepas dari tanggung jawab " "masuk akal juga pikir Ina " Ina hanya mengangguk perlahan sambil menyerahkan kue tersebut
 
Terkadang kita sering terkecoh oleh berbagai prasangka yang mewarnai niat kita ketika kita hendak memulai sesuatu dan mengaggap bahwa prasangka itu juga merupakan bagian dari niat, namun demikian juga kita sering di buat takjub oleh jawaban Allah terhadap niat dan prasangka kita tanpa kita duga sebelumnya.
 
Tidak jarang juga kita menggadaikan niat kita ketika berbuat baik dengan berparsangka bahwa kita telah berubah jadi orang baik, padahal Rasulullah telah mengisyaratkan bahwa cermin kita adalah tetangga atau lingkungan artinya jika kita ingin menilai seseorang bertanyalah kepada tetangga atau lingkungannya. terus apakah memang kita beribadah karena kita menyangka akan mendapatkan syurga ? atau sebagai wujud penghambaan kita kepada sang khalik ? Namun apapun itu kita memang tidak pernah dilarang utnuk berharap  karena seperti kata pepatah kita harus menjagkau lebih tinggi dari apa yang telah kita genggam agar kita menyadari bahwa diatas langit masih ada langit. diatas kebaikan masih ada yang lebih baik.

Tidak Selalu Menjadi Jebakan Budaya

Suatu sore di pojok salah satu masjid tampak seorang pemuda dengan mengenakan stelan Jas seperti seorang eksekutif muda yang sedang sibuk berdzikir bahkan saking asyiknya sampai tidak menghiraukan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seorang Ustadz dengan pakain gamis putih bersih mendekati pemuda tersebut sambil mengucapkan salam dia menyapa pemuda tersebut, " Baru pulang kerja ya nak ?" sapa pak Ustadz "tidak stadz , saya dari rumah" jawab si pemuda " atau mungkin mau berangkat kerja ?" , " ya tidak lah stadz kan udh sore gini, paling habis maghrib atau mungkin habis Isya kali baru pulang biar gak bolak-balik" jawab si pemuda dengan santai
 
" tapi kok anak ini aneh, masak ya cuma ke masjid pake stelan jas jadi  mirip orang mau ke gereja " sahut si Ustadz penasaran   " Trus harusnya pake apa dong stadz, soalnya ini pakaian kesenangan saya dan saya berharap suatu ketika jadi eksekutif muda, gito loh stadz" jawab si pemuda cengengesan tapi terus mendawamkan dzikir di bibirnya " Loh kita kan punya pakaian untuk beribadah ya paling tidak seperti saya inilah ", dengan sabar sang ustadz memberi pengarahan " memangnya dulu Rasulullah membeda-bedakan pakaian berdagang dan pakaian sholat, trus pakaian yang ustadz pake itu pakaian orang islam atau orang arab, soalnya teman saya yang beragama hindu di pakistan juga berpakaian seperti ustadz ini bahkan tutup kepala yang biasa di gunakan para kiyai sini tetapi  di Banglades di pakai oleh para tukang becak atau pengangkut sampah atau buruh pada umumnya" balas sipemuda tidak mau kalah.
 
Cuplikan dialog diatas bisa jadi memang merupakan produk budaya yang terkondisi jadi produk agama yang bertajuk identitas, namun tidak juga bisa disalahkan seseorang yang berpakaian seperti orang yang dicintainya, seperti anak saya yang suka meniru cara berpakaian ibunya karena terkadang karakter bisa di bentuk oleh kebiasaan cuma yang menjadi permasalahan adalah banyak diantara kebiasaan itu yang hanya membentuk tampilan fisik. Seperti banyaknya kita membaca referensi sifat sholat Nabi, lalu bagaimana dengan sifat khusyuk Nabi ? sehingga jangan heran kalimatullah "innassholata tanha anil fakhsa' i' wal mungkar" (QS 29:45) tidak pernah benar-benar kita rasakan.
 
Budaya memang di bentuk oleh sebuah kebiasaan pada suatu masyarakat, namun kebiasaan tanpa kesadaran adalah kelatahan sedangkan kebiasaan dengan kesadaran akan membentuk kemampuan. Seseorang yang terbiasa sholat karena dikondisikan oleh orang tuanya tetapi tidak mempunyai kesadaran akan makna sholat yang di jalaninya maka suatu ketika dia akan mengalami titik jenuh dan berkata " sekali-kali sholatnya istirahat dulu ah "
 
Nilai seperti apa yang mesti di berikan kepada seseorang yang dikondisikan oleh budaya tanpa mau tau untuk apa dia melakuakn semua itu, namun jika sebuah keinginan untuk berusaha lebih baik dilakukan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan bahkan menjadi suatu budaya maka hal inilah yang semestinya kita terapkan pada diri kita, keluarga kita dan lingkungan kita
 
Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang sehingga keunggulan bukanlah sebuah perbuatan tetapi sebuah kebiasaan. (Aristotles)

Just Do It

 
.... Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri....... (QS Ar Ra'd : 11)
 

Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
 

Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)
 

Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani)

 
Walaupun mengerjakan pekerjaan pada bangunan yang sama, seorang tukang batu atau tukang kayu memiliki kapasitas kemampuan yang berbeda dengan pelaksana lapangan (civil engineer), maupun perancang bangunan (architect), namun apakah seorang tukang batu atau tukang kayu bisa menjadi pelaksana lapangan atau perancang bangunan ? tentu saja bisa  jika dia kembali menggali potensi dirinya untuk terus menuntut ilmu. Lalu bagaimana jika pertanyaan di balik apakah bisa seorang pelaksana lapangan atau perancang bangunan menjadi tukang kayu atau tukang batu ? bisa saja tapi jelas ada ke engganan untuk turun pada tingkat yang lebih rendah karena pertanyaannya adalah "untuk apa ?".
 
Pada banyak sisi potensi pikiran jauh lebih di hargai dari pada kemampuan fisik walau pada kenyataanya fikiran tanpa perbuatan adalah omong kosong.  "Ketika aku mendengar terkadang aku suka lupa, ketika aku melihat aku berusaha untuk mengingat, namun ketika aku berusaha barulah aku bisa mengerti " (confencius)
 
Banyak hal yang tidak mungkin terjadi bisa di lewati dengan sebuah usaha namun banyak juga yang tidak bisa mendapatkan sesuatu yang mudah untuk di jangkau tetapi terlewatkan karena kita terlalu lama memikirkan cara untuk memulainya. Ketika pertama kali melawan penjajah negeri ini, kita tidak tahu kapan bisa merdeka dengan persenjataan yang tidak seimbang, namun para pahlawan negeri ini melakukan apa yang bisa mereka perbuat hari itu untuk bisa kita nikmati hari ini.
 
Biarkan aku mendengar ketika kau berbicara dan menjadi saksi ketika kau melihat dan terakhir ijinkalah aku melaksanakan apa-apa yang kau fikirkan dengan satu syarat silahkan tinggal kan seluruh harapanmu padaku - kata punggawa (ken arok) kepada sang raja (tunggul ametung) yang kelak menggulingkan kekuasaannya
 
so ...just do it ...jangan gantungkan harapan kita pada apapun selain Allah SWT ...termasuk pada perusahaan tempat kita bekerja sekalipun.