Rabu, 03 Maret 2010

Pemimpin Yang Perduli

Dari atas salah satu gedung di daerah Gatot Subroto terlihat banyak orang berkerubung dibawah, berteriak-teriak, membawa yel-yel yang bertuliskan inspirasi mereka. Didepan mereka terhampar sebuah gedung berkubah tempat para petinggi negeri ini mempertaruhkan harapan rakyat. Ditelevisi terlihat kegaduhan yang sama dengan yang terjadi diluar, semuanya bercerita dengan mengatas namakan rakyat, entah rakyat yang mana. Di negeri lain di ujung sana sedang terjadi gempa dan tsunami jilid dua yang mengakibatkan rakyatnya saling menjarah kebutuhan pokok. Berbagai kejadian di belahan bumi manapun selalu akan berdampak pada peletakan sejarah yang akan datang mengenai kondisi bumi ini beserta isinya, bumi yang sebentar lagi akan mengakhiri masa kerjanya.

Amalan Yang Sederhana

 
"Innamaa amruhuu idzaa arada say'an 'an yakulalahu kun fayakun"  Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. Dunia seperti berputar dalam sekejab. Ayah yang tadinya seorang yang mempunyai jabatan kepala cabang disebuah perusahaan swasta dengan berbagai fasilitas mendadak berhenti bekerja. Perusahaannya bangkrut. Anak-anaknya dahulu telah terbiasa hidup dalam kemapanan untuk ukuran sebuah kabupaten. Hal ini membuat ayah berpikir panjang dan ayah seperti ingin mendidik kami dengan memulai semuanya dari awal. Kami berangkat ke ibu kota tanpa membawa bekal apapun. Rumah beserta isinya dititipkan ayah kepada paman.
 
Dikota kami mengontrak pada sebuah rumah tiga petak, ukuran standard kontrakan di ibu kota. Beberapa waktu berjalan kehidupan kami tidak berubah, sisa uang pesangon tidak bisa bertahan lama. Hari itu aku melihat ayah berpakaian sangat rapi, seperti orang yang sedang berangkat kerja kekantor. Awalnya aku senang karena akan bisa membeli ini dan itu yang aku mau, apalagi aku akan naik kelas lima  begitu juga dengan tiga orang adiku. Ayah selalu berangkat setelah sholat subuh dan pulang setelah larut malam. " Tidak banyak yang bisa di peroleh hari ini bu " desah ayah kepada ibu. Mereka mengira semua anaknya telah tidur, tapi masih terjaga meski tetap dalam keadaan terbaring dan membelakangi mereka. Aku bertekad membantu mereka, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan ku sendiri.
 
Keesokan harinya aku berjualan koran di terminal bis pulo gadung dan terkadang pindah keterminal lain karena di terminallah tempat paling ramai pembeli. Hasil dari jualan koran aku tabung untuk biaya sekolah dan beli buku yang sering di suruh oleh ibu guru. Suatu hari secara tidak terduga aku melihat ayah di terminal kampung melayu. Dia menjadi sopir mikrolet jurusan gandaria. Aku tidak mengerti mengapa ayah memilih perkerjaan ini mungkin juga karena ijzahnya cuma sampai tingkat SMU tetapi Dia mempunyai pengalaman hampir dua puluh tahun berkerja dikantor dan sempat beberapa tahun menjabat sebagai kepala cabang, mengapa tidak dia gunakan ?. Entahlah, yang jelas hari itu aku marasa kasihan dengan perubahan hampir seratus delapan puluh derajat. " Bu, ibu mau kemana ?" tanyaku pada seorang ibu di ujung jalan agar ayah tidak melihatku " ke Gandaria memang kenapa tanya-tanya" jawab ibu itu penasaran. " Ibu naik antrian paling belakang saja ya bu, tolong" pinta saya pada ibu itu. " Loh memangnya kenapa ? bukannya malah jadi lama" ibu itu semakin penasaran", aku hanya  tertunduk " Karena angkutan itu yang membawa adalah ayahku" jawabku dengan pelan. Begitulah terus aku bertanya kepada setiap orang yang lewat. Aku ingin angkutan ayahku selalu penuh agar ayahku senang.
 
Malam harinya ayahku mendapat laporan dari ibu yang di beritahu oleh teman bahwa aku tidak masuk sekolah hari itu. Ayah memukul kakiku karena dikira sibuk bermain seharian sampai lupa sekolah, aku tidak peduli, aku tetap bahagia karena telah bisa membantu ayah. Beberapa tahun berlalu aku tidak berubah menjadi orang hebat seperti di banyak buku. Aku hanyalah pegawai kecil pada sebuah perusahan kecil di Jakarta. Sewaktu ibuku meninggal dunia, aku berusaha merawat ayahku sebaik-baiknya beserta adik-adiku yang mulai bisa mandiri. Mata Ryan masih basah mengenang perjalanan hidupnya. Masjid memang tempat bersilaturahmi paling layak bagi sesama muslim. Saling nasehat menasehati agar kita bisa tetap dijalanNya.
 
Mungkin karena sering di pukul oleh ayahnya dulu , kaki Ryan tampak agak pincang ketika berjalan entahlah yang jelas hampir setiap hari dengan berjalan terbata-bata ia memapah ayahnya kemasjid untuk sholat berjamaah atau berkeliling komplek pada pagi hari menghirup udara segar ciptaan Tuhan. Mungkin tipe orang seperti Ryan bukanlah tipe orang seperti Abdurrahman bin Auf yang rajin bersedekah dengan hartanya atau Utsman bin Affan yang juga pengusaha atau sahabat yang punya amalan hebat seperti Abu Bakar As siddiq dan Umar bin Khattab. Mungkin gambaran sederhana yang bisa disandingkan hanyalah Uwais Al Qarni , sosok pemuda yang pernah dimintai doa oleh Ali ra dan Umar ra atas perintah dari Rasulullah, padahal dua orang sahabat itu sudah dijamin masuk syurga.
 
Salam
 
David Sofyan