Kamis, 10 Desember 2009

Aku Tidak Punya Apa-apa Selain Menggenggam Janji

" puncak..puncak...!! " teriak seorang sopir omprengan di persimpangan Ciawi, Bogor. Wajah itu hampir sama seperti dulu, tegar dan keras. "Gimana khabar Yung ?" teriak saya dari samping, mengejutkannya. " Eh kamu Yan, main kerumah yuk, nanti penumpang saya oper ke teman di depan" tawarnya. Hari itu saya memang berniat mengunjunginya. Mengunjungi seorang sahabat dari Sumatra yang terdampar di kota Bogor. Namanya Syakban, seperti hendak memberitahukan kepada dunia  bahwa dia lahir di bulan itu. Dia lahir ketika usia ibunya menginjak hampir empat puluh lima tahun dan ayahnya meninggal setahun setelah kelahirannya.
 
" Sudah punya anak berapa sekarang Yung , Kok gak pernah ngasih khabar ?" tanya saya kepada Syakban yang biasa dipanggiling Uyung, atau anak uyung yang artinya anak paling kecil yang jarak antara dia dan kakaknya nomor dua terlalu jauh yaitu hampir lima belas tahun. " Baru dua, sepasang, yang tua laki-laki sekarang kelas satu SD dan adiknya yang masih 2 bulan, perempuan" Jawabnya tanpa pernah berhenti tersenyum. " Kamu sendiri gimana Yan " tanya Uyung berbalik. Saya menatap jauh kelereng-lereng sepanjang jalan Ciawi menuju Cipayung tempat kediamannya tidak jauh dari persimpangan menuju daerah wisata Mega Mendung. Tiba-tiba ingatan saya terlempar kemasa dua puluh tahun yang lalu, saat kelas tiga SD.
 
"Siapa yang mengambil layangan saya, kok gak ada disini ?" teriak saya kepada teman-teman sebaya yang baru pulang sekolah. " Kayaknya si Uyung yang mainin tapi dia kalah, trus layangannya putus deh" sahut Iskandar. Uyung dan Iskandar yang biasa di panggil Kandar telah berhenti sekolah sejak kelas dua SD. Mereka membantu orang tua dengan bekerja jadi buruh angkut ikan di dermaga. Ibunya Uyung yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian, tidak sanggup menyekolahkannya. Kakak pertama Uyung yang perempuan bekerja jadi pembantu rumah tangga sedangkan kakak laki-laki nomor dua bekerja sebagai nelayan. Sedangkan ayah Kandar bekerja sebagai pembersih kapal.
 
" Memangnya kamu lihat Dar, siUyung yang mainin" tanya saya lebih lanjut. " Iya, sewaktu kalian sekolah kami main layangan di bukit belakang masjid, tapi layangan si Uyung putus trus dia liat layangan kamu di ikat di pagar depan rumah kamu, jadi dimainin deh sama dia, katanya di pinjam dulu" jawab Kandar agak takut. " Trus sekarang si Uyung mana ?" tanya saya sambil melihat kesegala arah, siapa tahu dia muncul. " Dia ngantarin pakaian kerumah orang, disuruh ibunya" jawab Iskandar.
 
Beberapa saat kemudian tampak seorang anak menjinjing tempayan berisi pakaian yang telah di setrika di kepalanya yang di alas dengan lipatan kain. " Yan besok siang pas pulang sekolah aku tunggu kamu di bukit belakang masjid ya , ntar sore saya mau bikin layangan buat ganti layangan kamu, bambunya sudah saya dapat tadi pagi, jangan lupa ya" teriak seorang anak yang terus berjalan dengan beban yang cukup berat di kepalanya, mungkin itu yang meyebabkan dia tidak mau berhenti , dia adalah Uyung. Karena waktu itu  saya dalam keadaan marah, saya tidak terlalu memeperdulikan ucapan si Uyung.
 
Keesokan harinya, hujan tidak berhenti sejak pagi mengguyur kota kecil di pesisir pantai utara sumatra tersebut. Sepulang sekolah saya menghabiskan waktu di rumah. Janji Uyung unutk bertemu sekitar jam dua tidak saya hiraukan, saya berfikir dia pasti ada dirumah karena hujan tidak berhenti dari pagi. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar " Assalamu'alaikum " seru seorang anak dan saya kenal suara itu. Saya kemudian membuka pintu " wa'alaikum salam, ada apa Dar " tanya saya kepada Iskandar yang datang dengan membawa ikan dalam ember kecil. " Ini ikan yang dipesan ibu kamu tadi pagi, tapi adanya cuma sedikit, soalnya dari kemaren badai di laut lagi mengamuk jadi banyak yang tidak pergi melaut." jawab Iskandar. " Oh ya sudah letakan disana saja nanti saya bawa kebelakang, uangnya nanti saja yah, ibu lagi nggak ada " kata saya sambil menggeser ember tersebut kebelakang pintu
 
" oh ya Yan si Uyung sudah nunggu kamu dari jam setengah dua,  saya sudah  bilang pasti kamu gak bakalan datang karena hujan tapi dia tetap disana katanya dia sudah janji nunggu kamu disana , gak tau sampai kapan, sekarang sudah jam setengah lima berarti sudah tiga jam loh , kasihan dia" seru Kandar sambil permisi pulang. Saya mengambil payung dan bergegas pergi kebelakang masjid seperti janji Uyung kemaren. Sesampai disana Uyung terlihat berdiri letih karena terlalu lama menunggu " Layangannya sudah basah kena tampias air hujan, mungkin tadi waktu saya sholat ashar ada angin agak kencang jadi airnya kena layangan deh " sahut Uyung ketika melihat saya. Tidak ada kata-kata kasar keluar ketika bertemu karena telah lama menunggu , sebaliknya justru dia lebih menyalahkan diri sendiri.
 
"Ya sudahlah, lupain saja, saya kesal kemaren karena kamu mengambil gak pake ngasih tahu dulu sih " kata saya menenangkannya. " Yan kamu tahu saya gak punya apa-apa, tidak punya uang yang bisa bagikan, tidak punya ilmu yang bisa di ajarkan. Apalagi yang bisa di banggakan. saya hanya mampu menggenggam amanah yang telah di ucapkan, mungkin cuma itu saja yang tersisa." katanya dengan sorot mata yang tajam. Beberapa saat kami terpaku diam , bersandar dinding masjid belakang menatap air hujan yang telah membasahi jiwa kami.
 
"Eh kok ngalamun, kamu belum jawab pertanyaan saya !" tanya Uyung mengagetkan saya dalam lamunan masa kecil dulu. Angkot masih terus berjalan tersendat, merayap keatas puncak, tempat peristirahatan orang-orang kaya dari Jakarta. " Saya belum menikah, rencananya sih tahun depan, kamu pasti di undang deh, telat banget yah " jawab saya santai. Ketika memasuki sebuah jalan kecil menuju arah lembah di Cipayung Angkot tersebut berhenti mendadak " Kenapa berhenti?" tanya saya. " Itu anak saya didepan sekolah sedang menunggu saya" jawab Uyung sambil menepikan angkot tersebut dan kemudian turun menghampiri anaknya. Saya mengikuti dari belakang.
 
" Ramli jam segini sudah pulang , kenapa gak langsung kerumah naik angkot lain kan banyak ?" tanya Uyung kepada anaknya " pulang dari jam setengah sembilan soalnya guru ada rapat terus tadi kan ayah kan menyuruh Ramli tunggu disini, kata ayah jangan kemana-mana kalau ayah belum datang" jawab anak itu dengan polos " iya itu kalau Ramli pulang seperti biasa jam sebelas, Ramli jadi kelamaan nunggu ayah deh" sahut Uyung kepada anaknya. Saya mengangkat anak itu dan memangkunya " Sifat ayahnya sekarang menurun kepada anaknya. Orang-orang yang memegang janji, inilah warisan para nabi" kata saya sambil membawa anak itu masuk kedalam angkot.
 
Itulah kunjungan terakhir saya enam tahun yang lalu ke rumah Uyung di Cipayung Bogor. Setelah itu dia sering berpindah-pindah tempat tidak menentu, tidak ada khabarnya sampai sekarang, Hari ini secara tidak sengaja album lama tentang persahabatan,  terbuka kembali. Banyak kisah yang tidak terperi, tentang sebuah kesetian, keikhlasan, pengorbanan, dan kasih sayang. Kemudian waktu menjarah semuanya, kami pun berpencar kesegala penjuru mencari karunia Allah yang tidak pernah berhenti menetes kedalam sanubari.
 
Tahun 1986 ketika saya harus berangkat kejakarta, semua sahabat telah menyalami satu persatu, memohon doa dan restu dan harapan agar bertemu kembali kecuali Uyung. Dia tidak ada diantara mereka. Menjelang keberangkatan dia tetap tidak muncul. Ketika Bis sampai keterminal untuk mengambil sisa penumpang, seorang anak muncul di balik jendela bis " Yan , maaf terlambat tadi nyari benda ini gak ketemu-temu eh gak taunya ada dibawah tempat tidur " kata anak itu yang  tidak lain adalah Uyung "ini dompet bekas mendiang ayah dulu , dikasih ibu sama saya, tapi kamukan tahu saya gak pernah punya uang jadi buat kamu saja lah anggap oleh-oleh dari saya, jangan pernah lupakan saya yah" katanya sambil menjauh karena Bis akan segera berangkat. Menuju negeri yang selalu menjadi harapan orang-orang desa, Jakarta.
 
Salam
 
David Sofyan

Jumat, 04 Desember 2009

Nasehat Dari Anak-Anak Yang Tegar

 
Lama anak saya  memandang kearah wajah saya yang sedang menonton berita pagi di televisi. Dia tidak perduli dengan apa yang terjadi pada kotak ajaib tersebut. " Yah kok mata ayah berair , ayah nangis yah..?" tanyanya penuh selidik. Saya tidak berusaha menjawab, tapi memeluknya sambil mendudukannya di pangkuan. " Anak yang bernama Tegar itu harus tegar menghadapi dunia, menerima tanpa harus mengerti kebencian ayah tirinya yang menyebabkan kakinya terputus setelah di lindas oleh kereta api" kata pembawa acara di televisi. Sang ayah akhirnya di ganjar hukuman sepuluh tahun penjara sedangkan sang anak yang masih berumur empat tahun akan menanggung penderitaan tersebut seumur hidupnya.
 
Berbanding terbalik di Facebook saya mendapat kiriman berita lama yang di rekam lalu di sebar melalui media internet tentang seorang anak yang berusia enam tahun yang mengurusi semua keperluan ibunya mulai dari memasak, menyuapi , memandikan bahkan membuang kotoran ibunya karena sejak dua tahun yang lalu si ibu mengalami kelumpuhan karena terjatuh. Ayah sianak telah lama tidak pulang kerumah setelah beberapa tahun yang lalu pergi merantau ke Malaysia. Anak itu bernama Sinar dan hari itu, sinar sianak tersebut telah menyilaukan mata saya dengan amalnya, dengan cintanya dan dengan kasih sayang untuk ibunya.
 
Banyak para orang tua yang berharap bisa melahirkan seorang anak, tetapi tidak ada seorang anakpun yang meminta untuk dilahirkan, dia murni amanah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW mengatakan bahwa Warisan bagi Allah 'Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya. hadist ini di riwayatkan oleh HR. Ath-Thahawi. Namun Rasulullah juga menasehati yang diriwayatkan oleh Ibu 'Asakir bahwa anak bisa menyebabkan kedua orangtuanya menjadi kikir dan penakut. Pemenuhan masalah ekonomi memang menjadi salah satu penyebab kerenggangan didalam sebuah rumah tangga, baik itu dengan anak karena jarang berkomunikasi maupun dengan istri atau suami karena tuntutan-tuntutan yang diluar jangkauan.
 
Sesuatu yang memisahkan dan membedakan antara seorang anak dengan orang dewasa adalah waktu, sesuatu yang Allah pernah bersumpah atas namanya, bahwa kita berada dalam sebuah kondisi yang menyebabkan kita merugi kecuali orang yang beramal salih, al 'amilussholikhat. Kita adalah mantan anak-anak, sedangkan anak-anak adalah calon orang dewasa. Kesalahan sekecil apapun yang pernah kita lakukan pada masa kecil tidak layak kita wariskan kepada anak kita. Ukiran kebaikan orang tua yang tertanam didada kita harus kita buat lebih indah didada anak-anak kita. Melihat senyum tegar dengan kakinya buntung seperti ingin berteriak kepada saya " Tidak ada gunanya memberitahukan orang lain tentang kesulitan anda , sebagian dari mereka tidak perduli dan sebagian lagi justru senang mendengarkan keluhan anda tanpa mau berbuat apa-apa, tegarlah dan sandarkan hidup hanya kepada Allah"
 

 

Rabu, 02 Desember 2009

Tidak Selalu Pada Apa Yang Kita Mau

 
Hari itu cukup cerah terlihat seseorang melemparkan koran kedalam pagar rumah tetangga, setiap hari dia selalu rutin membawa surat kabar untuk para pelanggannya walaupun tidak pernah ada yang menanyakan khabarnya. Pada zaman modern seperti saat ini, transaksi memang tidak selalu harus bertatap muka. Banyak pedagang yang menjual barangnya dengan memberikan pelayanan yang memudahkan setiap pembeli untuk melakukan transaksi. disudut jalanan terlihat seorang ayah menarik tangan anaknya untuk sekolah, sedangkan si anak menangis dan bersikeras untuk tidak mau sekolah. " Aku gak mau sekolah ! , gurunya galak suka marahin aku" kata anak tersebut kepada ayahnya. " Memang kalau tidak sekolah kamu mau jadi apa nanti ? makanya kalau mengerjakan PR di rumah , bukan disekolah supaya tidak dimarahin guru, gimana sih !" balas sang ayah tidak mau kalah.
 

Di belahan duniamanapun kejadian seperti tadi pasti pernah terjadi, bahwa setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun dengan cara yang sering sekali tidak disukai oleh sianak. Jarang kita temui ada orang yang memulai sesuatu dari sudut padang orang lain dan baru kemudian memberikan alternatif pandangan dari sisinya. Sebaliknya kita sering kali memaksakan apa yang kita anggap baik lalu mengeyampingkan pandangan orang lain atau paling tidak  mengiyakan tanpa menghiraukannya. Saya teringat sebuah buku cukup laris tentang pembentukan karakter dalam memahami orang lain oleh Dale Carneigie. Salah satu kiatnya menyebutkan bahwa agar kepentingan kita didengar maka mulailah berbicara atas nama kepentingan lawan bicara. Setelah dia mengetahui kalau kita telah memahami kepentingannya barulah kita menyampaikan apa yang kita inginkan.
 
Beberapa tahun yang lalu hal ini pernah saya terapkan tanpa sengaja. Sebuah kecerobohan yang membuat terjadinya tabrakan di perempatan lampu merah. Karena sedang terburu-buru, lampu kuning sebagai tanda akan munculnya tanda berhenti (merah) saya terobos. Di sebelah kiri arah melintang sebuah sepeda motor juga menerobos lampu kuning sebelum masuk lampu hijau. walaupun hanya berselang beberapa detik tapi kecelakaan tidak bisa dihindari dan orang tersebut bersembunyi di balik alibi lampu hijau yang sedang menyala, artinya dia melimpahkan kesalahan itu kepada saya.  Karena benturan yang cukup parah , pengemudi motor tersebut meminta ganti rugi sebanyak tiga ratus ribu rupiah., sedangkan uang yang ada di dompet saat itu hanya berjumlah lima puluh ribu rupiah. Sebenarnya keadaan saya jauh lebih parah dari pada bapak tersebut tetapi masalah tidak akan pernah selesai ketika semua orang berbicara mengenai keadaan dirinya
 

"Nampaknya kondisi kita sama-sama parah dan mungkin ini akibat kelalaian saya tapi saya tidak punya uang sebesar yang bapak minta. Saya hanya memiliki uang lima puluh ribu, tentu tidak akan bisa menutupi semua kerugian bapak dan bapak bisa saja memperkarakan hal ini kepada polisi untuk kemudian di buat berita acara dan mungkin saja uang lima puluh ribu ini hanya untuk mengurus biaya perkara, lalu kita berdua tidak mendapatkan apa-apa selain menunggu untuk diproses dan itu akan memakan waktu sedangkan kondisi kita tidak akan berubah. Saya serahkan semua kepada bapak " kata saya secara halus kepada bapak tersebut. Kemarahannya mulai mereda. Seringkali kemarahan membutakan mata dan membuat oarng tidak mau berfikir. Setelah saya lihat keteduhan di wajahnya, saya kemudian menyalami tangannya sambil memberikan uang  lima puluh ribu tersebut. Mungkin saja masih ada rasa kesal yang tersisa , tetapi tidak ada terucap sepatah katapun ketika saya meninggalkannya di lokasi tersebut
 

Segelas ilmu belum tentu lebih besar nilainya dengan setetes amal, setiap hari dalam keadaan apapun belajarlah untuk tetap terus berkembang dan beramal. Andre Gide mengatakan dalil tentang mengenali diri bisa menyesatkan tanpa mengenali potensi yang bisa menghambat perkembangan karena seekor ulat yang sibuk mengenali dirinya tidak akan pernah berubah menjadi kupu-kupu. Orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri tidak akan pernah di pikirkan oleh orang lain dan ketika dia menyampaikan apa yang dia pikir maka orang akan mengira dia sedang bergumam untuk dirinya sendiri.
 
Akhlak memang menempati cerita tersendiri dalam bab kehidupan seorang muslim kepada siapapun. Rasulullah SAW pernah bersabda
"Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar (kejam dan keras), sombong, angkuh, bersuara keras di pasar-pasar (tempat umum) pada malam hari serupa bangkai dan pada siang hari serupa keledai, mengetahui urusan-urusan dunia tetapi jahil (bodoh dan tidak mengetahui) urusan akhirat." (HR. Ahmad) dan "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik." (HR. Abu Dawud)
 

 

Selasa, 01 Desember 2009

Efek Larangan

 
 
Banyak perubahan yang terjadi di muka bumi ini berasal dari keingin tahuan. Rasa ingin tahu mengenai angkasa luar telah membuat orang terbang dan meneliti kesana , inilah yang menjadikan sesuatu yang tidak mungkin pada masa lalu telah menjadi kenyataan. Pemicu paling responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan memang adalah rasa ingin tahu. Tetapi disisi lain rasa ingin tahu terkadang harus membentur larangan-larangan yang dimaksudkan untuk mencegah keburukan yang di timbulkan rasa ingin tahu tersebut, namun semakin dilarang, orang cenderung semakin penasaran dan ingin tahu mengapa hal tersebut dilarang.
 
Dalam sebuah anekdot di ceritakan Pak Saman mempunyai usaha jual beli kambing dan untuk itu dia membuat papan reklame yang berbunyi " Di jual Berbagai Jenis Kambing " dengan gambar kepala kambing  sebagai latar belakang tulisan. Anak-anak sekolah yang biasa lewat sewaktu pulang sering sekali menjadikan gambar kepala kambing tersebut sebagai sasaran lemparan ketapel. Pak Saman sering melarang dan marah kepada mereka tetapi semakin dilarang anak-anak tersebut semakin sering menjadikan papan rekalame tersebut jadi sasaran tembak. Karena kewalahan Pak Saman meminta nasehat kepada Pak Zainudin ustadz muda yang juga merupakan guru mengaji sebagian dari anak-anak tersebut. Pak Zainudin bersedia menasehati anak-anak tersebut tetapi disamping itu Pak zainudin juga memberikan ide pemecahan masalah kepada Pak Saman. Ke esokan harinya tiba-tiba terpampang sebuah papan beberapa meter di samping papan reklame Pak Saman  yang berbunyi " Dilarang Melempar Pada Papan  Ini " dengan  gambar sapi sebagai latar balakang. Melihat hal ini anak-anak sekolah tadi justru memindahkan objek sasaran tembak pada papan baru tersebut. Sejak saat itu papan reklame Pak Saman tidak pernah diganggu.
 
Sifat penasaran memang membutuhkan penyaluran bukan penahanan, itulah mengapa semakin MUI melarang peredaran film "2012" film tersebut justru semakin laku, Hal yang sama pernah terjadi dengan majalah " Playboy" . Efek psikologis ini takutnya justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda sehingga akan muncul sensasi-sensasi baru yang sengaja di kontroversialkan untuk memancing MUI. Banyak orang yang tadinya tidak mengenal Miyabi justru jadi mengenal karena telah  membeli kaset atau CD film porno tersebut. Maksud baik belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Lalu apakah itu berarti kita diam saja ketika ada kemungkaran yang terjadi didepan mata kita ? tentu saja tidak , akan tetapi pastisipasi kita dalam mencegah kemungkaran harus disertai dengan antisipasi, dan itu sangat tidak mudah dilakukan.
 
Di negara kita yang tercinta ini orang yang beragama Islam jauh lebih banyak daripada orang yang mengenal agama Islam. Orang yang mengenal jauh lebih banyak daripada orang yang mempelajarinya, dan orang yang mempelajarinya jauh lebih banyak daripada orang yang mengamalkannya. Ketika ada yang mengatakan bahwa negara Indonesia adalah mayoritas umat Islam tentu kita akan mengerti arah maksud si pembicara adalah yang pertama tadi, apalagi jika yang berbicara adalah non muslim. Dari sini kita akan mengerti bahwa kekurangan terbesar umat ini adalah ilmu. Berbicara dengan ilmu, berbuat sesuatu dengan ilmu, menasehati dengan ilmu , bahkan bersabarpun harus dengan ilmu.
 
Beberapa hari yang lalu, didepan rumah seorang ibu melarang anaknya bermain pasir didepan rumahnya. Anaknya yang masih berusia tiga tahun sedang asyik membuat rumah dari pasir " Andi jangan main pasir didepan rumah nanti kotor loh !" sahut sang ibu dari dalam rumah sambil terus memasak didapur . Tidak beberapa lama kemudian dia di kagetkan karena anaknya sedang membuat rumah dari pasir tersebut diruang tamu. Kita sepertinya telah lama meninggalkan pengajaran dengan contoh, sebaliknya kita justru sering melontarkan pernyataan negasi berupa larangan ketimbang anjuran. Sebenarnya kita telah mendapat sedikit contoh dalam merubah kalimat negasi menjadi kalimat apresiasi seperti yang awalnya " Dilarang Merokok " menjadi " Terimakasih Untuk Tidak Merokok " . Memang tidak banyak hasil yang didapat tetapi memulai sesuatu dari hal kecil seperti merubah cara penyampaian mengandung sedikit nilai pendidikan, sedikit nilai ahlak, sedikit nilai kesopanan yang suatu ketika diharapkan secara perlahan-lahan bisa merubah tingkah laku, Insya Allah