Rabu, 28 Oktober 2009

Kalau Sudah Begini, Kita Ini Adil Gak ?

Hari ini saya masih terus membaca salah satu bab dalam kehidupan yang bernama keadilan. Bab tersebut sering di salah pahami sebagai suatu sifat yang bernilai kuantitatif atau terukur yang searah, artinya seseorang bisa menuntut keadilan tanpa harus berbuat adil atau tanpa memperdulikan keadilan dalam hal lainnya. Sebagai contoh kita bisa menyaksikan para mahasiswa yang berdemonstrasi dan berteriak meminta keadilan kepada penguasa sambil berkonvoi di jalan raya, bukankah mereka juga tidak adil terhadap pengguna jalan ? atau para sopir yang mogok minta keadilan agar tarif bis dinaikan, lalu mereka berbuat tidak adil terhadap penumpang yang terlantar , apakah keadilan mempunyai tingkatan prioritas dimana tingkatan yang lebih penting bisa menghilangkan nilai keadilan yang dianggap kurang penting ?
 
Suatu ketika dalam pengajian, saya pernah bertanya kepada Ustad Abbas mengenai keadilan " Ustadz tolong gambarkan yang dimaksud dengan adil itu seperti apa sih , apakah bersifat relatif atau objectif ? " tanya saya. " Sederhananya adalah perlakukanlah orang lain sama seperti kita ingin di perlakukan, oleh sebab itu keadilan memang identik dengan kejujuran terhadap diri sendiri, berlaku tidak adil sama dengan berlaku tidak jujur pada diri sendiri walaupun tidak ada seorangpun yang sadar dengan ketidak adilan yang kita buat" kata Ustadz Abbas.
 
Saya teringat sewaktu masih kecil, paman memberikan uang lima ribu rupiah kepada saya untuk di bagikan secara adil dengan ke tiga adik . Saya seharusnya membagikan seribu dua ratus lima puluh rupiah perorang , tetapi pada waktu itu saya hanya memberikan seribu rupiah kepada adik-adik saya dengan anggapan bahwa saya adalah anak yang tertua dan uang itupun di berikan kepada saya tanpa memberitahukan besaran angka yang harus di bagikan kepada adik saya. Ketidaktahuan masalah membuat semua tampak wajar dan adil dimata mereka. Keadilan berasal dari dalam diri dan tidak kasat mata, sehingga untuk membuatnya terlihat kita gunakan perangkat yang disebut dengan hukum.
 
Apakah sama mana adil pada kalimat berikut ini " Hukumlah penjahat itu dengan adil" dengan " massa telah mengadili penjahat itu ". Tidak ! yang satu bersifat objektif dan yang satu bersifat subjektif. Hukum adalah keadilan yang di lembagakan sehingga hukum harus mempunyai aturan yang jelas walaupun hasil dari aturan tersebut tidak semuanya sesuai dengan keadilan, akan tetapi jika tidak ada hukum akan sulit menegakkan keadilan, karena yang satu berdasarkan bukti sedangkan yang satu berdasarkan keimanan, yang satu terlihat yang satu tidak terlihat.
 
" hai kamu ketahuan yah sudah tidak adil kepada perusahaan" kata teman saya sambil tersenyum " loh memang kenapa ?" tanya saya " ya iyalah masa ya iya dong, kita kan di gaji untuk bekerja delapan jam sehari , tetapi masih ada waktu yang kita curi untuk menulis , bermain internet dan bertelepon ria" katanya sambil ngeloyor pergi ke pantri untuk membuat kopi. haaa... memang susah untuk berlaku adil, sekecil apapun tindakan pembenaran dari apa yang kita kerjakan dan dengan alasan paling masuk akal apapun akan di pertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah , Tuhan Yang Maha Adil.

Selasa, 27 Oktober 2009

Mengadili Keadilan

Sore itu, sepulang kerja saya membawa kue kerumah untuk dimakan bersama. Sewaktu akan membagi kue kepada anak tiba-tiba anak saya yang tertua menasehati saya " yah , kue buat yara lebih besar dari adek ya, kan Yara udah gede jadi kuenya harus besar juga, soalnya kata guru di sekolah, kalau kita mau ngasih sesuatu kita harus sesuaikan dengan orangnya, itu baru namanya adil yah " kata nya dengan penuh semangat sambil terus mengamati kue lapis yang sedang di potong-potong. Saya senang sekaligus gelisah mendengar sesuatu yang dianggap adil oleh anak saya. Keadilan memang harus disesuaikan dengan kondisi, baik itu keadaan maupun orangnya, dan memang tidak ada yang salah dengan apa yang diajarkan oleh guru anak saya, hanya saja nasehat itu peruntukannya bagi pemberi keadilan bukan penerima keadilan.
 
Keadilan sangat di junjung tinggi didalam Islam itulah sebabnya para orientalis mengatakan " jika agama Nasrani adalah agama kasih sayang maka agama Islam adalah agama keadilan". Mereka berkaca pada pemerintahan Rasulullah di madinah dimana perlakuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassallam terhadap kaum Yahudi dan Nasrani adalah sama dengan umat Islam dalam hal keadilan. Keadilan berbeda dengan hukum, sebab hukum melihat sesuatu secara objectif terlepas dari salah atau benar. Hukum telah memihak kepada  pencuri baju besi milik Ali RA dan menyerahkan baju tersebut pada si pencuri hanya karena Ali tidak bisa membuktkan baju tersebut miliknya. Lalu dimana letak keadilan yang sesungguhnya ? terlepas dari hikmah yang menyebabkan orang tersebut masuk Islam, kita harus menyadari bahwa yang di tegakkan adalah hukum bukan keadilan, sebab pada saat itu keadilan bersifat normatif sedangkan hukum bersifat objectif.
 
Setiap tahun sewaktu pembagian daging kurban, setiap RW mengutamakan warganya sebelum memberikan kepada warga RW lain jika ternyata masih ada kelebihan. Pak Junaedi yang terletak di perbatasan antara RW 03 dan RW 04 tetapi masih masuk RW 03 sering mendapatkan daging kurban dari kedua RW. Tahun lalu sewaktu akan pembagian daging kurban pak Bakar yang merupakan panitia pembagian daging kurban dari RW 03 mengatakan bahwa tidak perlu memberi Pak Junaedi daging kurban karena pasti akan mendapat daging kurban dari RW 04 seperti tahun sebelumnya, tetapi Pak Jumal mencegahnya " Selama kita belum tahu apakah dia telah menerima daging kurban atau tidak maka kita wajib memberinya karena dia adalah warga RW 03 itulah keadilan kecuali jika kita melihat langsung RW 04 memberikan,  maka jatah Pak Junaedi bisa kita alihkan kepada yang lain " kata Pak Jumal. Keadilan memang berdasarkan apa yang kita ketahui bukan berdasarkan apa yang akan terjadi walaupun kemungkinan terjadinya sangat besar.
 
Sebagai umat Islam kita di minta untuk lebih mendahulukan memberikan keadilan ketimbang menuntut keadilan. Objektifitas pemberi keadilan tidak sama dengan objectifitas penerima keadilan. Jika saja anak saya yang kecil yang berumur dua tahun bisa membantah maka tentu dia akan mempertanyakan besar kue yang dimilikinya berbeda dengan apa yang telah di berikan kepada kakaknya, dan jawaban apapun yang akan kita berikan tidak akan pernah bisa memuaskan hatinya. Atau jika kita ambil contoh yang lebih ekstrim, maka lihatlah para suami yang beristri lebih dari satu dan tanyakan kepada istrinya mengenai objektifitas keadilan menurut suami apakah sama dengan menurut mereka , pastilah berbeda. Keadilan memang dekat dengan pemahaman dan pengetahuan. Kita sudah bisa dikatakan tidak adil apabila didalam fikiran,  kita  menyamakan pemikiran anak sekolah dasar dengan anak sekolah mengengah walaupun fikiran kita tersebut tidak pernah disampaikan kepada siapapun, itulah sebabnya di yaumil hisab seseorang itu diadili berdasarkan perbuatan dari apa yang dipahami dan di ketahuinya.
 
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." ( Al Maa'idah ayat 8 )

Kamis, 22 Oktober 2009

Melihat Bencana Dengan Kacamata Siapa ?

" Ustadz , prediksinya nanti mau terjadi gempa lagi, kira-kira siapa lagi yang terkena azabNya, terus ayat mana lagi yang hendak di cocok-cocokan dengan kejadian gempa " kata Subur kepada Ustadz Abbas dengan antusias karena berita mengenai gempa memang sedang hangat di bicarakan selain berita mengenai pembentukan kabinet presiden. " Jika sudah bisa di prediksi bukan azab lagi namanya tetapi keteledoran manusia, Ketika kita sudah tahu daerah itu sering terkena banjir tetapi kita tetap mendirikan rumah disana dan sewaktu kita kebanjiran lalu kita mengatakan ini azab Allah maka hal itu adalah benar tetapi yang diazab adalah kebodohan kita dalam menantang sinyal yang telah di berikan lewat ilmu pengetahuan" kata Ustad Abbas dalam sebuah pengajian
 
Sinyal masalah gempa dan daerah yang di perkirakan akan terkena bencana alam ini telah dilakukan beberapa tahun lalu oleh badan geologi, hanya saja kepastian kapan terjadi hanya Allah yang mengetahui. Jika sebuah informasi telah di terima lalu kira-kira tindakan apa yang mesti dilakukan kita sebagai masyarakat atau pemerintah sebagai penyelenggara negara ? Pada kenyataannya kita sebagai masyarakat tidak pernah mau mengeluarkan biaya untuk sesuatu yang belum pasti terjadi walaupun peringatan telah di berikan seperti pindah lokasi atau memperkuat pondasi rumah. Lalu mengapa ketika bencana terjadi kita masih bertanya "mengapa" ?
 
" Ustadz , apakah benar bencana diakibatkan oleh dosa-dosa manusia, karena logikanya negara Israel atau Amerika Serikat yang lebih banyak dosanya tidak terkena kok malah tempat-tempat yang terlihat Islami seperti serambi mekah Aceh, atau Padang yang mayoritas penduduknya muslim yang terkena gempa " tanya Farid, seorang anak muda yang sering menjadi imam di masjid karena suaranya yang bagus.
 
" Bencana adalah musibah dan musibah tidak melulu disandang para pendosa tetapi bisa di kenakan kepada siapa saja yang Allah mau  seperti kata Allah dalam surah Al Baqarah ayat 155-156 "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Itulah yang disebut musibah sebagai ujian namun disisi lain bencana juga bisa sebagai peringatan agar yang tekena musibah kembali kejalan Allah dan segera meminta ampun kepadaNya seperti kata Allah lewat surah Al A'raaf ayat 168  "Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)." kata Ustadz Abbas sambil menarik nafas. Usianya yang sudah kepala tujuh membuat bicaranya terdengar pelan.
 
Terlalu sering kita membanding-banding kan sesuatu yang kasat mata terlihat tanpa meneliti lebih jauh lagi, kita mungkin belum sadar  bahwa disetiap negara yang kita anggap kafir pasti ada umat muslim yang bermukim disana yang keterpojokan mereka bisa jadi membuat doa mereka lebih mustajabah di banding negara yang mayoritas muslim tapi sering lupa kepada Tuhannya. Seperti teriakan anak-anak palestina ditanah yang di jajah oleh Israel atau himpitan warga muslim kulit hitam di Amerika Serikat, atau penindasan minoritas muslim di Cina dan Thailand. Bukankah doa-doa orang yang teraniaya lebih di ijabah oleh Allah. Bagaimana mungkin Allah menimpakan bencana alam, sementara bencana yang lebih besar seperti bencana Aqidah telah mendera mereka terlebih dahulu.
 
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  ( At Thaagabun ayat 11)
 

Di alam semesta ada sunnatullah yang menempel kepada  taqdir Allah. Jika kita menyakiti seseorang maka kita pasti akan disakiti oleh orang lain itu adalah sunnatullah sedangkan kapan kita akan disakiti adalah masalah taqdir Allah. Jika kita tidak menjaga kelestarian alam sekitar kita maka alam akan berbalik menyerang kita dan itu adalah sunnatullah, sedangkan kapan alam akan memuntahkan "amarahnya" adalah masalah taqdir Allah. Sebaliknya jika kita berbuat baik maka kitapun akan mendapatkan kebaikan ( hal jaza'ul ikhsani illal ikhsan (QS 55:60) itu adalah sunnatullah kapan kita akan memperoleh kebaikan ? itu adalah masalah taqdir Allah. Semua itu bukan tentang apakah kita bisa mengubah taqdir Allah atau tidak, tetapi lebih pada masalah apakah kita bisa memahami sunnatullah atau tidak

Selasa, 20 Oktober 2009

Ukiran Diatas Kertas

Ukiran Diatas Kertas
 
Waktu menentukan peletakan bab dalam buku sejarah yang lebih banyak di rekam lewat media kertas. Buku menjadi saksi dari kejeniusan para pengagas sains, keindahan kata para pujangga, permainan logika para filsafat, pencerahan nilai para spritualis dan sketsa pemetaan tubuh oleh para medis. Waktu telah membuat warna menjadi kusam dan teori menjadi usang, tetapi ukiran yang terpahat disana menjadi prasasti ide-ide yang tidak pernah mati. Buku seperti nisan berjalan bagi sang penulis. Walaupun orangnya sudah tiada tapi namanya tetap terukir disana. Menulislah wahai para pencari ilmu sehingga terwariskan apa yang engkau cari lewat pernyataan, pertanyaan dan sangkalanmu.
 
Sebagai jendela ilmu buku telah melalap habis isi kepala para pemikir yang kesusahan memuntahkan segala teori lewat lidahnya disamping itu   bahasa verbal disekat oleh dimensi ruang yang mengakibatkan perpindahan ilmu menjadi terisolasi. Tulisan yang termuat dalam sebuah buku , saat ini telah memampu menembus berbagai negara dan benua, meneriakan segala isi kepala para penulisnya. Orang yang suka membaca belum tentu suka menulis, tetapi untuk menulis sesuatu seseorang harus membaca. Dengan menulis seseorang akan membuka berbagai pintu-pintu ilmu sebagai referensi untuk diceritakan dan di citrakan kepada pembacanya.
 
Ukirlah kisahmu diatas sehelai kertas, didalam sebuah note, khabarkan kepada dunia bahwa kamu pernah ada. Sutu ketika nanti kita akan terpana bahwa kita juga mampu melakukannya yaitu menitipkan prasasti disetiap mata yang memandang dan disandingkan dengan maestro sains, para mastro sastra, atau  para maestro ekonom meskipun hanya pada sebuah rak atau sebuah file.
 
"Aku bukanlah aku yang aku tahu karena aku bisa jadi aku dikepala semua orang yang ingin tahu, aku berubah sesuai dengan persepsi yang memasukiku. Pengakuanku akan berubah sesuai dengan waktu, lewat lidah orang memilikiku dan engkau tidak berhak melarangnya walaupun aku berasal darimu. Suatu ketika nanti bisa saja  akan menjadi ispirasi yang membuatku terpojok dan tak berguna lagi tapi paling tidak pernah menjadi berarti .....aku adalah ukiranmu diatas kertas "
 
 

Jumat, 16 Oktober 2009

Keadilan dan Kejujuran

" Dosa tertua adalah kesombongan ,  bibit dari segala kejahatan adalah ketidak jujuran dan tonggak hidup yang paling susah didirikan adalah keadilan, " kata pak Yanuar kepada anaknya Farid diatas sepeda yang dia kayuh menuju rumah. Pak Yanuar adalah kepala sekolah dasar dan pemuka masyarakat di daerahnya. Dia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat daerah sewaktu pemilihan umum lima tahun sekali. Pak Yanuar mempunyai dua orang anak laki-laki, yang tertua bernama Hamzah dan yang nomor dua bernama Farid. Kedua anaknya masih duduk dibangku Sekolah menengah pertama. Hamzah kelas tiga dan Farid kelas satu.
 
Tanpa diduga Pak Yanuar akhirnya masuk dalam deretan tim elit nasional itu, anggota legislatif, jabatan yang di perebutkan banyak orang dengan mengorbankan harta benda, tentu saja untuk mendapatkan reward yang lebih besar, pertanyaanya dari mana ? Pak Yanuar berusaha melepaskan diri dari berbagai kepentingan yang memerlukan suaranya untuk melonggarkan pengawasan pada aparat eksekutif. Di dunia politik kolusi menciptakan konspirasi adalah cerita basi dan tidak sedikit yang telah menjadi korban birokrasi tersebut.
 
" Hai rid, kok ayahnya jadi anggota legislatif jadi malah jualan koran, emang gaji legislatif lebih rendah dari gaji kepala sekolah ?" kata teman sekolah Farid yang melihatnya mengantar koran sewaktu akan berangkat sekolah. "Gak juga ,iseng aja", jawab Farid dengan santai. Berbeda dengan Farid, kakaknya, Hamzah justru berbanding terbalik , sejak ayahnya jadi anggota dewan dia jadi lebih dermawan dimata teman-temannya alias sering mentraktir makan. Walaupun berbeda dalam hal pengeluaran tetapi Pak Yanuar tidak pernah membedakan di dalam memberikan belanja buat anaknya.
 
Waktu berlalu tanpa terasa , setelah lima tahun menjabat, Pak Yanuar tidak terpilih untuk periode selanjutnya dan tidak mungkin kembali kepada jabatan lama karena telah di isi oleh orang lain. Hamzah anak pertama telah duduk di bangku perguruan tinggi dan membutuhkan banyak biaya sedangkan Farid duduk di bangku kelas 2 Sekolah menengah atas. Atas beberapa referensi Pak Yanuar berhasil menadapat posisi lama sebagai kepala sekolah sekolah menengah atas di luar kota. Untuk biaya kuliah anaknya Pak Yanuar menjual mobil yang di peroleh dari hasil gaji sebagai anggota legislatif meskipun dia juga mendapat kendaraan dinas. Setelah semua dikembalikan kepada negara Pak Yanuar pindah keluar kota bersama keluarga. Farid ikut serta sedangkan Hamzah kost di Jakarta.
 
Ketika akan berangkat pertama kali ke sekolah tempatnya bekerja Pak Yanuar dikagetkan dengan sebuah sepeda motor didepan rumahnya. Ternyata sepeda motor itu adalah hadiah dari Farid  untuk semua kejujuran ayahnya dalam memegang amanah sebagai anggota legislatif.
" Dulu ayah pernah mengatakan kepada Farid tentang keadilan dan kejujuran dan Farid tidak menghiraukannya" Kata Farid kepada ayahnya, kemudian dia melanjutkan " Ketika Farid lihat ayah bekerja keras mememegang prinsip tadi, maka saat itulah Farid mendapat pengajaran yang sesungguhnya, lalu keadilan seperti apa yang bisa Farid perbuat dimana ayah bersusah payah bekerja lalu Farid menghambur-hamburkan uang hasilnya ?...tidak ...Farid bekerja sama seperti ayah...sepeda motor itu adalah uang jajan yang ayah berikan selama lima tahun ayah menjabat sebagai anggota legislatif.....ayah telah memberikan kebanggaan kepada Farid dan itu sudah cukup" kata Farid dengan mata berkaca-kaca
 
Pak Yanuar hanya tersenyum sambil memandang motor baru didepannya " Bapak berusaha sekeras mungkin menampik pemberian orang sewaktu menjabat dulu, dan Allah telah membalasnya dengan pemberian yang indah Farid, terimakasih nak, Tegakkanlah kejujuran dan keadilan di hatimu, luruskanlah, tolong ingatkan kakakmu kalau dia lupa...tidak ada manusia yang sempurna dalam menyikapi sesuatu" kata Pak Yanuar sambil menarik nafas panjang dan pergi kesekolah bersama motor barunya

Kamis, 15 Oktober 2009

Tanggung Jawab Bersama

Ramadhan yang lalu memang penuh warna, apapun yang tergores didalamnya akan menjadi kisah yang menghiasi hari-hari kita dalam beribadah dan bermuamalah. Apapun tindakan kita yang diniatkan lillahita'ala  maka akan dinilai sebagai ibadah. Qiamul lail yang paling banyak dilakukan manusia memang ada di bulan ini yang disebut sebagai tarawih yang artinya istirahat karena dilakukan istirahat atau jeda beberapa saat setelah salam baik itu setiap dua raka'at maupun setiap empat raka'at. Ada beberapa masjid yang setiap raka'atnya sang imam membaca ayat yang panjang, mungkin di targetkan setiap hari satu juz sehingga jika ternyata puasa genap tiga puluh hari maka genap pulalah AlQur'an di khattam kan.
 
Ketika imam membaca suatu ayat apalagi yang panjang, apa kira-kira yang bisa membuat jama'ah menjadi khusyuk ? Kalau di bilang suasana masjid mungkin bisa, tetapi faktor ekstenal yang lebih banyak mempengaruhi kekhusyuk'an jama'ah adalah bacaan sang imam. Nagham Munsyari Rashid , Sudesh dan Al Gomidy sering dipakai oleh beberapa imam masjid untuk memberikan efek terapi pada telinga  sehingga bisa menggetarkan hati kita ketika sholat. Karena kalau mau jujur tidak banyak dari kita yang mampu memaknai ayat yang dibaca oleh imam, sehingga mengharapkan kekhusuyukan dari pemaknaan memang agak sulit dan memompa kekhusyukan dari dalam diri (internal) tidak setiap saat bisa dilakukan. Tidak salah dikatakan bahwa imam juga memegang peranan penting dalam masalah kekshusyukan jama'ah.
 
" Wah sholat tarawih susah khusyuknya, bacaan imamnya gak bagus , trus panjang lagi, mana dibelakang pada ribut, udara panas, lengkap deh" kata Ucup, " loh justru disitulah nilai ibadahnya" kata Subur berusaha memberikan kesan bahwa bersusah-susah dalam sholat tarawih adalah bagian ibadah juga, terlepas dari bersusah-susah tersebut justru menghilangkan kekhusyukan kita. Kita tidak mungkin bisa melegalkan kesalahan karena keadaan. Sebaliknya kita dituntut untuk bisa menciptakan keadaan yang mampu menghilangkan  kesalahan atau paling tidak meminimalkannya dan hal ini harus didukung oleh semua pihak termasuk para pengurus masjid.

Selasa, 13 Oktober 2009

Pembiasaan Diri

Seorang teman pernah bertanya " Pelajaran apa yang bisa di petik dari sebuah kisah ?" . Saya hanya diam, saya berfikir tentulah didalam kepalanya telah terkumpul beribu jawaban dari para ahli karena dia seorang kutu buku. Teman saya itu seorang yang tekun belajar dan rajin berolah raga terutama olah raga beladiri. Saya menemukan perbandingan yang lumayan menyentuh nalar ketimbang jawaban naratif atau argumen-argumen yang bersifat pribadi, saya bertanya kepada dia " sebenarnya buat apa kita belajar ilmu beladiri, karena pada kenyataannya ketika terjadi pertarunagn yang sesungguhnya gerakannya hampir sama dengan yang tidak atau belum pernah belajar ilmu beladiri " kata saya sok menganalisa " kata siapa , paling tidak dengan sering latihan kita terbiasa mendapatkan gambaran serangan lawan walaupun latihan-latihan kita setiap hari belum tentu sama dengan serangan lawan yang sesungguhnya" jawabnya meyakinkan.
 
Ya, sebenarnya itulah jawaban yang paling mendekati kenyataan " keterbiasaan " sama seperti kata pepatah " ala bisa karena biasa ". Ketika kita telah terbiasa berlatih ilmu beladiri walaupun serangan lawan sangat berbeda dengan apa yang kita latih sebelumnya, paling tidak kita bisa membaca arah serangan dan berusaha menghindarinya. Kisah menempati posisi yang hampir sama dengan perbandingan diatas. Ketika kita sering membaca atau menerima informasi mengenai sesuatu maka tidaklah sama penyelesaiannya dengan seseorang yang belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya walaupun kisah yang kita baca berbeda cerita dengan apa yang kita alami
 
Membiasakan diri melakukan hal-hal positif akan menciptakan aura positif pula pada diri kita. Didalam Islam kita sering diajari berdzikir kepada Allah secara berulang-ulang. Proses pengulangan tersebut menciptakan efek keterbiasaan sehingga yang awalnya berat dilakukan akan menjadi tidak merasa terbebani lagi ketika kita telah membiasakan diri melakukannya. Itulah pula sebabnya mengapa puasa pada bulan Ramadhan dilakukan sebulan berturut-turut karena jika kita ingin terus menindak lanjuti hasil puasa pada bulan lain tidak akan terlalu berat lagi, tetapi banyak yang mengabaikannya dan kembali kepada kebiasaan semula. Membiasakan melakukan hal kecil yang bermanfaat hari ini  mungkin bisa menolong kita suatu hari nanti dalam menciptakan sesuatu yang besar, siapa tahu.

Sebuah Pelajaran dari Sholat

Sudah lama kami tidak berkunjung kerumah Pak Soleh, guru agama sewaktu masih sekolah dulu. Sekarang Pak Sholeh sudah pindah ke Ciawi, Bogor dan mengajar di sekolah madrasah disana sambil membuka pengajian pada sore harinya. Lebaran adalah susana yang sangat tepat untuk memperkokoh kembali tali silaturahmi, kebetulan hari itu saya beserta Sugianto, Ali, Kamin dan Jaja  baru pulang dari rumah teman di Cipayung, Bogor, maka seperti kata pepatah ' sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui ' kami pun mampir ke rumah Pak Soleh. " Assalamu'alaikum, ada Pak Sholeh " sapa kami kepada seorang pemuda di depan rumah Pak Soleh, mungkin tetangga atau saudaranya. " Wa'alaikum salam, Pak Soleh masih ada di musholah belakang belum pulang dari menunaikan sholat Dzuhur" jawab pemuda tadi. " Ya udah sekalian saja kita ke musholah, kita kan belum sholat Dzuhur " Kata Jaja yang di iyakan oleh yang lain. Setelah di tunjuki arah kemusholah kamipun permisi kepada pemuda tadi.
 
Sewaktu kami tiba, Pak Soleh masih sholat, dan kamipun berwudhu lalu sholat berjama'ah sendiri, tidak bermakmum pada Pak Soleh karena takut mengganggu kekhusyu'annya disamping itu kami juga mengira dia saat itu sedang sholat sunnah ba'da Dzuhur karena tidak ada orang lain disana. Ternyata setelah kami selesai sholat, Pak sholeh masih belum selesai juga. Antara berdiri, rukuk, sujud dan duduk iftirasy sama lamanya. Setelah selesai kami menghampirinya  dan Pak sholeh sempat kaget sewaktu bertemu kami , murid lamanya. " Tadi kami datang Pak Soleh masih sholat ..eh pas kami selesai sholat Pak Soleh masih belum selesai juga " kata Sugianto menerangkan waktu kedatangan kami. " Tadi waktu berjama'ah ada banyak kepentingan jama'ah yang harus kita kedepankan, padahal perasaan ingin berdua itu belum hilang ,nah sholat sunnah adalah waktunya " kata Pak Soleh menerangkan, " Loh bukannya sholat sudah ada bacaannya " tanya Jaja penasaran " benar tapi sholat bukan sekedar membaca tapi juga merasakan, jika ingin khusyu' jangan membaca sebelum merasakan ketenangan dan merasa seperti berhadapan dengan sesuatu, sebenarnya tidak ada bacaan disana yang ada hanyalah pujian dan doa dan salah satu adab dari memuji dan berdoa adalah tidak tergesa-gesa " kata Pak Soleh dengan tenang sambil tersenyum memegang pundak si Jaja.
 
"maling..maling.." teriak penduduk diluar musholah yang sedang mengejar seorang pencuri, kami keluar untuk melihat dan ternyata pencuri itu telah tertangkap. Dia ketahuan hendak mencuri sepeda motor yang di parkir di depan rumah seorang warga. " Ampun pak...ampun..tolong jangan pukul saya..." keluh si pencuri yang di hajar masa, utung ada hansip yang mengamankannya untuk di bawa ke pos polisi terdekat. Pak Soleh memangdang kearah kami " Pernahkan kalian melihat ada yang minta ampun seperti itu kepada Allah ?" tanya Pak Soleh. " Mungkin nanti kalau sudah masuk neraka baru minta ampun kayak gitu Pak...sekarang sih gak ada ..lagi pula nanti kelihatan  aneh lagi Pak" jawab Kamin. Pak Soleh hanya tersenyum mendengarnya " Tuhan memang belum menjadi sesuatu yang nyata bagi sebagian orang, laksana patung yang disembah dan diam dalam kesendirianNya, itulah sebabnya dalam agama Islam , Allah tidak bisa dipersepsikan dengan segala sesuatu laitsa kamitslihi sai'uun, DIA maha melihat apa kita perbuat, masalahnya apa yang kita sebut sebagai keimanan itu adalah keyakinan atau sekedar pernyataan" kata Pak Soleh menerangkan sama seperti waktu dikelas.
 
Dari musholah kami menuju rumahnya, " Bu nih ada tamu, murid bapak dulu " kata Pak Soleh kepada istrinya " tolong siapin makan siang bu biar sekalian makan sama anak-anak ini " pinta Pak Soleh, " Pak tadi , waktu kepasar dompet ibu jatuh jadi gak sempat belanja deh, ada sayur tahu doang beli dari Kang Karyan yang biasa lewat, tapi masih ngutang" desah istrinya pelan, tapi kami masih bisa kami dengar " Ya sudah gak apa-apa  hidangkan apa yang ada sajalah, yang penting bisa menjamu tamu kita bu" sahut Pak Soleh menenangkan istrinya. Baru saja makanan di hidangkan pintu diketuk " Bu ...ini masakan yang saya bilang tadi tolong dicicipin ya...kalau gak enak diem-diem aje namanya juga lagi belajar  " kata Ibu muda yang datang membawa semangkok opor Ayam " Terimakasih Bu Rina..jadi repot-repot, kan tadi cuma bercanda " sahut istrinya Pak Soleh yang kemudian masuk menghidangkan opor tadi kehadapan kami " Nih ada tambahan rezeki, silahkan di coba " katanya sambil masuk kedalam. Pak Soleh hanya diam, dia tidak berusaha menasehati kami padahal apa yang kami saksikan adalah salah satu cara kerja Allah terhadap hambaNya, mungkin Pak Soleh ingin kami menelaah sendiri kejadian tersebut atau dia tidak ingin ujub dalam kedekatannya dengan Sang maha pencipta.
 
Kami pulang dari rumah Pak Soleh sehabis sholat Ashar dan menuju perapatan Ciawi menuju kampung rambutan. Kami menunggu bis di dekat sebuah klinik 24 jam karena disana tidak ada pemberhentian bis. Kami menunggu bis dari arah Sukabumi yang menuju Kampung rambutan atau Pulo Gadung. " Bu ani nemu dompet dipasar " teriak seorang anak perempuan kepada seorang ibu yang sedang menggendong anak kecil " Alhamdulillah ternyata ada juga rezeki untuk berobat, tapi yang punya siapa nanti dia nyariin lagi" kata sang ibu kepada anaknya " Gak ada apa-apa bu ini mah dompet belanja doang, " kata anak tersebut sambil memberikan dompet itu kepada ibunya. " mmm iya sih cuma ini ada fotonyanya di plastik luar mungkin ibu ini yang punya dia kali yah, ya udhlah tak pinjam dulu deh nanti biar Allah yang ganti" kata ibu tersebut sambil memasukan dompet tersebut kekantongnya, saya sempat melihat wajah di cover luar dompet itu samar seperti wajah istrinya Pak Soleh, tapi kami hanya diam saja , sesuatu berkecamuk didada, antara mendiamkan atau melibatkan diri dalam masalah tersebut dan kami memilih mendiamkan.
 
Sampai menjelang maghrib kami belum juga mendapat bis, kalaupun ada selalu saja penuh, mungkin Allah tengah mendiamkan kami karena hanya diam saja ketika mengetahui ada sesuatu yang bisa diluruskan fikir kami. Sehabis sholat maghrib kami mencari alternatif lain yaitu menuju terminal Baranangsiang untuk langsung ke Pulo gadung, akhirnya kami baru dapat bis setelah Sholat isa lewat terminal Baranangsiang Bogor. dan sampai dirumah jam 9 malam, saat itu kami telah berburuk sangka kepada Allah karena mengira Allah telah menghukum kami ternyata ayah saya sampai jam 10 malam masih terjebak di tol jakarta-Bogor sepulang dari Bandung sejak jam 2 siang. Dia mengatakan telah terjadi kemacetan total karena ada tabrakan antara truck dan minibus.
 
Keeseokan harinya saya menelpon Pak Soleh dan menceritakn kejadian kemaren sepulang kami dari rumahnya. " Sudah lupakan saja masalah dompet itu kami sudah mengikhlaskannya dan ternyata ada yang lebih membutuhkannya, untuk kalian semua satu yang bapak pesan yaitu jangan pernah meletakkan Allah dikepala kalian melalui apa-apa yang kalian fikirkan tapi letakkanlah dihati kalian Karena Allah dekat dengan nurani orang-orang yang beriman, karena orang yang benar memandang Allah didalam sholatnya insyaAllah akan benar pula memandang Allah di luar sholatnya " katanya diujung telepon dan saya hanya mengiyakan dari jauh.
 
Saat ini ketika saya berhadapan denganNya, saya tidak lagi pernah memfokuskan fikiran, karena semakin fikiran di fokuskan semakin berontaklah dia, bahkan selama sholat kita tidak lagi fokus kepada Allah tetapi lebih sering fokus pada bagaimana caranya khusyuk, sama seperti orang yang terburu-buru sholat hanya untuk mendengarkan ceramah yang berisi bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah, padahal dia baru saja mengabaikan Allah lewat sholatnya. Sholat bukanlah membaca tapi memuji dan berdoa, sholat adalah merasa, sholat adalah kepasrahan bukan ketergesa-gesaan inilah ibadah yang pertamakali dihisab di yaumil akhir.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Kita Ada Dimana ?




Apa yang diharapkan dari sebuah kehendak ? Apapun yang kata yang telah kita susun dan bagaimanapun kita mengungkapkan sesuatu, maka tidak akan mampu menggambarkan cerita dibalik sebuah kehendak. Ketika Allah telah berkehendak, maka tiba-tiba akal dan fikiran manusia berusaha menyesuaikan posisi pandangannya menurut kadar akalnya tentang kehendak Sang maha pencipta.

Kita bisa saja mengatakan itu sebuah musibah, yang lain berkata itu sebuah cobaan. Yang satu mengajak membantu yang lain mengajak introspeksi. Yang satu hanya menonton yang lain sibuk menyalahkan. Yang satu tergerak menggalang bantuan yang lain terpana kebingungan. Yang satu tidak perduli yang lain berusaha mengumbar simpati. Allah hanya diam mengamati. Kita adalah kumpulan jiwa yang sibuk mengurus diri sendiri. Musibah adalah sapa untuk bisa saling peduli. Tuhan seperti bersabda lewat pergerakan alam " Silahkan kalian tidak perduli kepadaKU karena AKU telah mempersiapkan masa pertanggung jawaban nanti tapi berpeganglah pada sekelilingmu karena ada disana ada saudara untuk sekedar perduli kepadamu"