Rabu, 27 Januari 2010

Bersyukur Dalam Kesulitan

Setelah lama berputar-putar keliling Jakarta tanpa hasil, Taksi yang dikemudikan Pak Zumhari akhirnya di pesan seseorang dari komplek perumahan mewah, "Alhamdulillah, ternyata rezeki Allah tetap menghampiri hambanya" kata Pak Zumhari didalam hati. Menit berlalu dengan cepat berganti jam , tapi orang yang hendak menyewa belum keluar juga. Pak Zumhari tetap menunggu sambil sesekali menanyakan kepada penghuni rumah itu. Memasuki jam ke dua kesabaran Pak Zumhari hilang, dia meminta uang tunggu sebesar dua puluh ribu rupiah selama dua jam menunggu. Pihak rumah tidak ada yang mau memberi karena merasa belum membatalkan order. Pak Zumhari menunggu satu jam lagi dengan harapan orang tersebut keluar, tetapi kekesalan dan umpatan keluar dari mulut Pak Zumhari berbeda seratus delapan puluh derajat dengan syukur yang dipanjatkannya tadi.
 
Hari itu Pak Zumhari tidak bisa memenuhi setoran dan akibatnya dia bisa tidak membawa uang kerumah untuk belanja harian. " Ternyata Allah belum memberikan kita rezeki hari ini" keluh Pak Zumhari kepada istrinya. " Pak, si Amin sakit, dari kemaren panasnya tidak turun-turun, bahkan beberapa kali muntah, bawa kedokter Pak " sahut istrinya memberitahukan mengenai keadaan putra mereka. " Uang kita tidak cukup untuk biaya rumah sakit, sedangkan puskesmas malam begini mana buka bu " jawab Pak Zumhari. "Tapi bapak mau melihat kondisi anak kita begini terus ?, bawa sajalah Pak, masalah uang kita pikirkan nanti" kata sang istri mulai panik. Akhirnya mereka membawa anaknya kerumah sakit. Sesampainya di rumah sakit , mereka segera mendaftar untuk memasukan anak mereka keruang pemeriksaan tetapi mereka dihadang oleh kenyataan harus membayar jaminan sebesar satu juta rupiah.
 
Perdebatan terjadi antara pihak rumah sakit dengan Pak Zumhari. Memberikan jaminan adalah salah satu dari peraturan rumah sakit dan Pak Zumhari tidak bisa berbuat apa-apa, rasa kemanusian sekarang hanya jadi barang dagangan yang di pertontonkan di tivi-tivi. Sewaktu Pak Zumhari akan membawa anaknya pulang, tiba-tiba pihak rumah sakit memanggil dan mempersilahkan mereka memasuki ruang pemeriksaan karena sudah ada yang menjamin biaya pengobatan. Tidak hanya uang muka tetapi seluruh biaya pengobatan tersebut di tanggung oleh seseorang yang tidak dikenal." Alhamdulillah ya Rob pertolonganMu telah datang" jerit hati Pak Zumhari.
 
Beberapa saat kemudian beberapa orang polisi mendatangi rumah sakit, mengabarkan bahwa salah satu perampok yang melakukan aksi kejahatan di dareah tersebut melarikan diri kearah rumah sakit. Ciri-ciri yang di sebutkan Petugas kepolisian sama dengan orang yang memberikan bantuan kepada Pak Zumhari, tentu saja khabar ini kembali mencemaskan hatinya. " Ya Allah mengapa rasa syukur hamba selalu di ikuti oleh rasa cemas "  kata Pak Zumhari dalam hati sambil menangis. Rumah sakit hendak membekukan dana yang telah di pergunakan untuk membiayai pengobatan anaknya sampai ada konfirmasi dari pemilik dana yang sebenarnya.
 
Keesokan harinya Perampok tersebut berhasil di tangkap dan kekantor polisi untuk mengurus segala keperluan dan mengambil dana yang tersisa , korban perampokan tersebut mendatangi rumah sakit, sehubungan dengan kejadian penggunaan dana yang salah arah. Setelah mendengarkan asal mula kejadian pemilik uangtersebut mengikhlaskan dananya untuk biaya pengobatan Pak Zumhari, tidak hanya itu Pak Zumhari diminta untuk menjadi supir pribadinya. Orangtersebut ternyata orangtua dari penumpang yang hendak menyewa taksinya tadi pagi, tetapi orang tuanya mendadak meninggal setelah pingsan beberapa saat. hal itulahyang menyebabkan Pak Zumhari harus menunggu lama dan akhirnya dibatalkan.
 
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (Al Baqarah ayat 214)
 
Salam
 
David Sofyan

Selasa, 26 Januari 2010

" Mahluk " Yang Tidak Mungkin Tidak Ada

Dipesisir-pesisir pantai Sumatera, gelombang samudra Hindia perlahan-lahan telah berhasil mengikis daratan, disamping abrasi oleh tangan-tangan manusia sendiri. Bahkan pasir yang telah terkikis itu masih saja di ekspor ke negara tetangga, agar tetangga tercinta tersebut lebih leluasa beraktifitas, termasuk mengawasi kita agar tidak nakal. Waktu beserta alam semesta telah bekerja sama meminimalkan satu sisi dan memaksimalkan sisi yang lain. Kepadatan penduduk telah berhasil merubah paradigma lebar menjadi tinggi yang di tandai dengan bermunculannya gedung-gedung pencakar langit, dan dengan kalkulator tangan lebih cepat menghitung dari pada kepala. Menara Pisa yang dibangun dengan tangan manusia tergantikan dengan menara plaza-plaza yang dibangun oleh tangan-tangan besi.
 
Seiring perkembangan zaman akal manusia lebih berkembang dari pada insting, karena segala sesuatu ditimbang dengan nalar dan logika. Mata batin sudah tidak berfungsi lagi karena keniscayaan menggunakan mata kepala sudah tidak bisa diganggu gugat. "Dahulu guru mengaji saya dikampung mampu melihat siapa tamu-tamu yang akan datang walaupun belum ada alat komunikasi cangih seperti sekarang" kata Ustadz Abbas disela pengajian. Banyak hal yang tidak mungkin bisa terjadi dimasa lalu, jika di timbang dengan akal orang saat ini, sama seperti tidak mungkinnya manusia bisa menjelajah angkasa luar oleh akal orang dimasa lalu. Waktu seperti bermain dalam hal " mungkin atau tidak mungkin".
 
Jika saat ini orang yang membuat sesuatu mungkin terjadi didominasi oleh ahli sains dan tehnologi maka pada masa lalu hal-hal yang tidak mungkin terjadi dilakukan oleh ahli-ahli ibadah, yaitu para Nabi dan Wali Allah. Artinya ketidak mungkinan bisa terjadi oleh dua hal yaitu hati yang bersih atau otak yang cemerlang. Sebagian orang mengistilahkan dengan perpindahan dari dimensi spritual kepada dimensi material, dampaknya adalah kita akan sering mendapati orang yang berspritual dengan berlandaskan material, seperti mahalnya tarif seorang penceramah ketika wajahnya sudah muncul di televisi.
 
"Tidak mungkin dia melakukan itu, setahu saya dia anak yang baik dan ramah kepada semua orang" kata seorang ibu kepada tetangganya ketika mengetahui anaknya melakukan tindakan kriminal. " Mana mungkin sih guru itu melakukan tindakan seperti itu, dia kan selalu perhatian dengan murid-muridnya" kata orang tua murid menanggapi pelecehan seksual oleh seorang guru. Dimensi materi telah merubah dan menciptakan berbagai kamuflase kebaikan yang hanya bisa dilihat dan dijamah. Orang yang berteriak " mari kita berbuat baik" lebih dihargai dari pada orang yang diam-diam membersihkan selokan agar tidak mampet yang bisa mengakibatkan banjir didaerah tersebut, atau orang-orang yang beratribut keagamaan dan menghadiri ceramah jauh lebih dihargai dari pada tukang sampah yang sibuk membersihkan bekas minuman dan makanan yang mereka buang sembarangan sewaktu ceramah.
 
Mahluk seperti apa sebenarnya yang bernama "kebaikan" itu , mungkinkah ada yang mau memeliharanya walaupun tidak ada yang menghargai, mengapa masih ada caci maki dari mulut umat Muhammad SAW yang justru terkenal dengan ketinggian ahlaknya, siapa tahu jika umat Islam mau memelihara mahluk ini mata batin kembali terbuka dan ketidak mungkinan-ketidak mungkinan masa lalu bisa muncul kembali seperti ketidakmungkinan mimpi orang sekarang yang ingin melintasi waktu kemasa lalu.
 
Salam
 
David Sofyan

Minggu, 10 Januari 2010

Menghubungkan Dua Kutub Yang Bersebrangan

 
".....Dalam keadaan apapun fikiran seseorang tidak akan pernah bisa kosong, bahkan orang yang mengosongkan fikiran sebenarnya sedang bekerja dengan berusaha keras merasakan bahwa fikirannya sedang kosong, padahal usahanya itupun hasil dari sebuah fikiran dalam meminimalkan visualisasi di kepala. Hidup itu penuh dengan rincian, apa yang kita fikirkan secara umum ternyata harus kita jalani secara bertahap dan terperinci. Perencanaan terhebat sekalipun tidak bisa merinci setiap gerak dan respon kita terhadap sesuatu. Ada Yang Maha Meliputi sedang bekerja mendisain setiap langkah kita, menuju kehendakNya..."
 
"..Tahun baru Islam diambil dari tahun hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah. Tidak ada rencana sebelumnya. Allah mengatur segalanya, lewat umpan makar kafir quraisy yang hendak membunuh Rasulullah. Mungkin kata yang tepat adalah di hijrahkan oleh Allah, karena hijrah tersebut bukanlah murni kehendak Rasulullah. Disisi lain posisi Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib adalah menyamakan kehendak tanpa pernah  bertanya "mengapa dan bagaimana " hijrah tersebut dilakukan, sebuah posisi tunduk terhadap kemauan Allah dan Rasulnya. Abu Bakar bertugas menemani Rasulullah dan Ali menggantikan posisi Rasulullah yang hendak di bunuh oleh  kafir quraisy..."
 
"Tunggu dulu pak saya mau tanya !" teriak seorang murid , memotong keterangan yang disampaikan oleh gurunya. " Silahkan " jawab sang guru. " Berarti sebenarnya kita ini berada dalam cengkraman taqdir dong, berpindah dari satu kehendak Allah kepada kehendak Allah yang lain, atau dari satu taqdir kepada taqdir Allah yang lain ?" tanya murid tersebut penasaran. Pak guru menarik nafas dalam-dalam, dia teringat dengan perdebatan panjang antara kaum jabariyah dan qadariyah. Masalah taqdir akan bersinggungan dengan keadilan, karena jika semua telah ditentukan untuk apalagi ada pertanggung jawaban kata kaum qodariyah, bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah nasib mereka sendiri[1]. Dilain sisi banyak hadist-hadist shahih yang menunjukan kekuatan taqdir yang bersifat absolut, bahkan dalam salah satu hadist Nabi SAW dikatakan bahwa seseorang telah di taqdirkan masuk syurga atau neraka [2]. Mungkinkah kedua kutub ini bisa bertemu ?. Bisa,  asal dipahami secara menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong atau parsial.
 
" Semua memang telah di taqdirkan tetapi kita bisa mengusahakannya lewat doa " jawab Pak guru dengan singkat. Dia merujuk pada paham Ahlussunnah yang berada diantara dua sisi paham diatas yaitu Allah SWT telah menetapkan takdir atas manusia akan tetapi manusia tersebut bisa merubah takdirnya melalui izin Nya dengan usaha dan doa [3], paham inilah yang banyak dianut oleh mayoritas ummat islam saat ini. Merasa kurang puas dengan jawaban Pak guru, murid tersebut kembali bertanya " Pak bukankah usaha dan doa si hamba juga sudah di taqdirkan ?" [4]
 
" Sebenarnya istilahnya bukan di taqdirkan tapi telah tertulis di Lauh Mahfudz" jawab Pak guru sambil mengambil kapur tulis dan membuat sketsa di papan tulis , karena pastilah akan ada pertanyaan susulan yang akan di ajukan oleh murid-muridnya dengan jawabannya tadi. Banyak ulama yang menghindari masalah ini karena nalar kita sering kali berbenturan dengan dalil, padahal jika diungkapkan secara ilmiah, maka tidak ada yang berbenturan, hanya saja di perlukan kemampuan visualisasi dalam menggambarkan. Tetapi kebenaran hanyalah milik Allah semata, sebagai manusia kita hanya berusaha menjalani dan memamhami apa yang telah ditetapkan olehNya. " Apakah yang tertulis itu tidak semua di taqdirkan " sahut salah seorang murid.
 
"Bagi Allah ya , tetapi bagi kita belum. Masalahnya sederhana saja. Bukankah Allah terlepas dari dimensi ruang dan waktu. apa yang menurut kita kemaren, besok, lusa, seribu tahun lagi tidak berpengaruh apapun bagi Allah, karena Allah telah mengetahui apa yang akan kita kerjakan, pikirkan, rencanakan dan Allah telah mencatat dimuka  serinci-rincinya segala kejadian yang kita perbuat dari sejak kita lahir sampai meninggal dunia termasuk doa-doa yang kita panjatkan , ibaratnya Allah telah menyimpan keping DVD  kita , walaupun pemutarannya bagi kita baru berlangsung sekarang. itulah sebabnya mengapa umar menghindari desa yang terkena penyakit dan pilihan umar ini telah di tulis di muka oleh Allah sebagai sebuah keputusan bahkan sebelum Umar bin khattab RA di lahirkan [5]. Karena zaman pada waktu itu belum mengenal film atau drama maka Rasulullah kesulitan menggambarkan situasi ini tetapi hal ini sudah tersirat dari Hadis riwayat Ali ra [6]." Jawab Pak guru panjang lebar, seperti telah mempertemukan kutub yang selama ini selalu bersebrangan yaitu Jabariyah dan Qadariyah.
 
" Jika kita telah berusaha tapi kita gagal maka kegagalan itu murni karena hasil usaha kita atau bagian dari keputusan Allah ?" tanya sang murid seperti hendak mempertegas apa yang telah dia pahami dari penerangan Pak guru.
 " hampir sama seperti lagu, bahwa dunia ini hanyalah panggung sandiwara , kita hanya bermain, sedangkan  skenario utamanya dipegang oleh Allah, skenario utama itu seperti sakit dan sehat, hidup dan mati, berhasil dan gagal, perjodohan, keturunan atau anak dan sebagainya. Di wilayah itu Allah memerintahkan kita untuk berdoa. Dan untuk mengawal tadirNya Allah menetapkan sunnahNya di alam semesta agar alam selalu terkendali demi kepentingan manusia" jawab Pak guru mengahiri pelajaran hari itu mengenai Taqdir Allah.
 

Tentu tidak semua orang setuju dengan pendapatnya. Tapi Pak guru tersebut membiarkan muridnya berusaha mencari tahu sendiri sisanya jika waktunya telah tiba , selama tidak keluar dari kerangka Al Qur'an dan As Sunnah, sebagai pedoman utama ummat Islam. Kepada Allah lah kita kembalikan segala prasangka kita agar kita tidak terjebak dalam pengingkaran atas segala keadilanNya.
 
Salam
 
David Sofyan
 

Note :
 
[1] QS : Ar Ra'ad ayat 11
[2]1 Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. (Shahih Muslim No.4781)
[3] Tiada sesuatu yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tiada yang dapat menambah umur kecuali amal kebajikan. Sesungguhnya seorang diharamkan rezeki baginya disebabkan dosa yang diperbuatnya. (HR. Tirmidzi dan Al Hakim) 
[4] Al An 'aam ayat 59
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
[5] Hadis riwayat Abdullah bin Abbas ra: 
" Bahwa Umar bin Khathab pergi ke Syam dan ketika telah tiba di sebuah dusun bernama Sarghi, beliau bertemu dengan penduduk Syam yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah ra. dan para pengikutnya. Mereka memberitahukan bahwa telah berjangkit di Syam suatu wabah penyakit. Ibnu Abbas ra. berkata: Maka Umar berkata: Coba panggilkan sahabat muhajirin yang pertama. Maka aku panggil mereka lantas beliau meminta saran mereka dan memberitahukan kepada mereka bahwa wabah telah berjangkit di Syam. Ternyata mereka berselisih pendapat menanggapi berita itu. Sebagian di antara mereka berkata: Engkau pergi untuk suatu urusan besar dan kami tidak setuju jika engkau kembali. Sedangkan sebagian yang lain berkata: Bersama engkau masih banyak rakyat dan para sahabat dan kami tidak setuju bila engkau mengajak mereka menuju ke wabah tersebut. Umar berkata: Tinggalkan aku dan tolong panggilkan sahabat Ansar! Aku pun memanggil mereka. Ketika dimintai pertimbangan, mereka juga bersikap dan berbeda pendapat seperti halnya orang-orang Muhajirin. Umar berkata: Tinggalkan aku! Lalu ia berkata lagi: Tolong panggilkan sesepuh Quraisy yang dahulu hijrah pada waktu penaklukan dan sekarang berada di sini. Aku memanggil mereka. Ternyata mereka saling bersepakat dan berkata: Menurut kami sebaiknya engkau kembali bersama orang-orang dan tidak mengajak mereka mendatangi wabah ini. Umar lalu berseru di tengah-tengah orang banyak: Aku akan mengendarai tungganganku untuk pulang esok pagi. Lalu mereka pun mengikutinya. Abu Ubaidah bin Jarrah ra. bertanya: Apakah untuk menghindari takdir Allah? Umar menjawab: Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, hai Abu Ubaidah! Umar memang tidak suka berselisih dengan Abu Ubaidah. Ya, kita lari dari satu takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di suatu lembah yang memiliki dua lereng, yang satu subur dan yang satu lagi tandus, apakah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur itu bukan berarti engkau menggembalakanya karena takdir Allah? Begitu pun sebaliknya, kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakanya karena takdir Allah juga? Lalu datanglah Abdurrahman bin Auf yang absen karena suatu keperluannya lalu berkata: Sungguh aku mempunyai pengetahuan tentang masalah ini, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya, kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri daripadanya. Ibnu Abbas berkata: Mendengar itu Umar bin Khathab memuji Allah kemudian pergi berlalu. (Shahih Muslim No.4114)
[6] Dari Ali bin Abi Tholib ra:
"Kami sedang mengiringi sebuah jenazah di Baqi Gharqad (sebuah tempat pemakaman di Madinah), lalu datanglah Rasulullah saw. menghampiri kami. Beliau segera duduk dan kami pun ikut duduk di sekeliling beliau yang ketika itu memegang sebatang tongkat kecil. Beliau menundukkan kepalanya dan mulailah membuat goresan-goresan kecil di tanah dengan tongkatnya itu kemudian beliau bersabda: Tidak ada seorang pun dari kamu sekalian atau tidak ada satu jiwa pun yang hidup kecuali telah Allah tentukan kedudukannya di dalam surga ataukah di dalam neraka serta apakah ia sebagai seorang yang sengsara ataukah sebagai seorang yang bahagia. Lalu seorang lelaki tiba-tiba bertanya: Wahai Rasulullah! Kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang berbahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah! Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang berbahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara. Kemudian beliau membacakan ayat berikut ini: Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar. (Shahih Muslim No.4786)

Kamis, 07 Januari 2010

Posisi Harapan

Tahun demi tahun terus berganti, ada harapan yang selalu tersembunyi dibalik setiap pergantian waktu. Matahari diatas kepala tetap setia untuk datang menghampiri dan bumi yang kita pijak tetap setia untuk tidak berganti arah rotasi. Tidak ada yang berubah dari volume air laut, karena alam selalu mampu menakar keberadaannya demi kepentingan manusia. Berapa banyak janji yang telah diikrarkan manusia untuk berubah, tidak mampu menandingi konsistensi perubahan usia.
 
"Hati-hati dijalan nak, semoga kamu bisa menjadi orang yang berhasil" , kata seorang ibu kepada anaknya disebuah terminal bis antar kota. " Pak kalau pulang dari kota jangan lupa bawa oleh-oleh ya" kata seorang anak kepada ayahnya disudut lain terminal itu. Terminal bis selalu ramai di kunjungi, tidak hanya oleh para penumpang tetapi juga para pedagang. Hidup seperti terminal bis, ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang menjemput dan ada yang mengantar, tidak lebih dari sebuah pemberhentian sementara. Kira-kira apa ukuran keberhasilan yang dimaksud si ibu kepada anaknya ? hampir sama dengan jawaban sebagian besar orang tua, maka jawabannya adalah sebuah kemapanan, baik dalam pengumpulan harta maupun dalam posisi jabatan atau profesi.
 
Masih di terminal bis tadi seorang ibu bertemu dengan kawan lamanya, yang mungkin telah bertahun-tahun tidak bertemu. " Eh yanti, gimana khabarnya, kelihatannya tampak sukses , udah punya anak berapa ?" tanya seorang ibu yang berperawakan agak kurus. " Elly ya kok agak kurusan, apa lagi diet ketat nih ? hehehe, anakku sekarang sudah dua yang besar jadi dokter dan adiknya sebentar lagi jadi sarjana hukum, kalau anakmu gimana Ly ?" tanya ibu yang berdandan mirip ibu-ibu pejabat itu. " Anakku sudah tiga tapi cuma pegawai biasa. Yang tertua  buka toko kelontong didekat rumah dan yang kedua cuma jadi guru madrasah. sedangkan yang terakhir baru naik kelas tiga SMU" jawabnya dengan pelan, mungkin agak minder.
 
Jika kita bicara jujur , manakah yang lebih membuat kita bangga sebagai orang tua , mempunyai anak seorang dokter atau seorang guru ? bukankah berbau sangat materi ? tetapi itulah kenyataannya. Pernah saya mengajukan pertanyaan tersebut pada seorang ustadz, dan dia tidak menjawab tetapi hanya tersenyum tak mampu menipu diri antara sebuah idealisme dan tuntuan materialisme. Loh memangnya salah anak kita menjadi dokter bukankah itu pekerjaan mulia ? tentu saja , tidak ada pekerjaan yangtidak mulia jika diniatkan karena Allah semata, tetapi tentu semua paham dengan maksud pertanyaan tersebut bahwa di balik pilihan tersebut ada sebuah ego bersembunyi dengan sangat indah.
 
Bagaimana kalau kita buat pertanyaan lebih spesifik, pilih taqwa atau kaya ? . Seorang teman sempat gerah dengan pertanyaan ini dan mengajukan pertanyaan baru sebagai komplain " apa orang taqwa gak boleh kaya atau orang kaya gak ada yang bertaqwa ? apakah taqwa itu identik dengan miskin ?" tanyannya dengan nada tinggi. saya hanya tersenyum lalu membuat pertanyaan baru yang tidak ada hubungannya dengan hal diatas. " Hendra kalau sekiranya kamu dapat uang seratus juta , lalu tetanggamu ada yang sakit keras dan butuh dana sebesar seratus juta rupiah ,apakah kamu akan berikan dana tersebut " tanya saya dengan nada santai . " ya gak semualah, mungkin separohnya kan itu juga udah bagus, bukannya zakat cuma dua setengah persen atau anggaplah sepuluh persen , kan tetap lebih besar " jawabnya sambil tertawa. Bisa dibayangkan baru sekedar pengandaian kita sudah pelit bagaimana jika menjadi kenyataan tentu lebih jauh panggang dari api. Sekarang baru kita sadari bahwa sebesar apapun perubahan yang kita inginkan, hampir semuanya berasal dari luar ( outer )  sebaliknya hal tersebut tidak banyak berpengaruh pada karakter atau sifat pribadi kita. Lalu dimana letak keimanan itu ?