"Bintang kecil dilangit yang biru....amat banyak menghias angkasa...aku ingin......." anak saya terus bernyanyi sendiri sambil menggendong bonekanya, saya baru pulang menunaikan sholat maghrib di masjid dekat rumah. Tiba-tiba dia keluar rumah dan memandang kelangit setelah itu dia masuk lagi dan berkata " yah langitnya kok warna hitam bukan biru ?"
Terkadang dalam keseharian, tanpa kita sadari kita termakan pakem budaya, kebiasaan istilah atau senandung-senandung yang konteksnya tidak sesuai dengan kenyataan atau bersifat majazi. Lalu secara tidak sengaja pula kita disadarkan oleh anak-anak kita yang justru dalam taraf belajar terhadap alam sekitarnya. Pencarian mereka terhadap terhadap kemungkinan-kemungkinan bisa juga mengajak kita untuk tersenyum seperti tebakan keponakan yang masih kelas dua SD kepada anak saya " ayo berat mana besi satu kilo sama kapas satu kilo " , anak saya yang belum mengerti jenis berat benda tentu saja menjawab dalam takaran rasa yaitu besi.
Logika bahasa memang selalu menjadi warna tersendiri dalam kehidupan kita . Didalam tafsiran ayat-ayat sucipun kita sering terjebak didalam lingkaran logika ini dan menimbulkan banyak persepsi. Kearifan kita memang sangat diperlukan dalam menjalankan apa yang kita pahami dan menghargai apa yang dipemahami oleh orang lain walaupun terkadang pemahaman kita bisa bersifat sangat situasional seperti cerita teman kepada kami sewaktu dia menonton valentino rosi dalam suatu balapan.
".......satu persatu lawannya berhasil di lewati. Ketika Valentino rosi berada pada posisi ke empat sedangkan jarak finish tinggal lima ratus meter dia melakukan manuver hingga melewati posisi ketiga dan kedua dan posisi tersebut tidak berubah sampai pertandingan selesai" kata teman tersebut menyelesaikan ceritanya " berarti valentino rossi menang dong " sahut teman yang lain, tentu saja tidak karena kalo ditelaah sedikit ini hanyalah permainan bahasa.