Sore itu terjadi sebuah drama penahanan. Pak Sadeli memang telah lama tidak bertegur sapa dengan Pak Amin , tetapi anehnya kedua orang tua itu kerap bertemu di masjid untuk menunaikan sholat berjama'ah, mungkin karena masjid lain terletak cukup jauh dari pemukiman mereka. Permasalahan mereka berkisar pada tanah sengketa, tetapi masalah itu tidak usah di bahas, kita fokuskan saja pada tingkah Pak Sadeli mengahiri perseteruannya.
Sehebat apapun gejolak Api pasti akan bertekuk lutut pada siraman air, Pak Sadeli telah memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di kampung sekalian meneruskan hobi lamanya berternak ayam kampung, namun untuk bisa lenggang mulus kekampung Pak Sadeli tidak mau menyisakan bara yang telah terbakar lama. Hanya saja ada satu masalah yaitu Pak Sadeli tidak pandai merangkai kata-kata untuk memulai sapa-menyapa dengan Pak Amin di samping itu dia juga tidak suka melibatkan orang lain, "tapi memang segala sesuatu membutuhkan permulaan untuk bisa diahiri dengan pembiasaan" pikir Pak Sadeli.
Ketika Pak Amin masuk kemasjid hendak melaksanakan sholat maghrib berjama'ah, terdengar suara " Assalamu'alaikum Pak Amin" belum sempat Pak Amin menjawab tiba-tiba Pak Sadeli telah merangkulnya dari samping " Ayo Pak silahkan" sambil terus menggandeng tangan Pak amin kearah shaf depan, setelah itu diam, bahkan Pak Amin tidak berkata sepatah kata pun , bingung, kesal, kaget bercampur aduk tidak karuan , tidak lama kemudian suara imam terdengar memulai takbir. Ketika telah selesai sholat kembali Pak Sadeli menjabat tangan Pak Amin " kalo ada yang mengatakan jauh di mata dekat di hati, eh kita yang sudah tua ini malah dekat dimata jauh dihati, maafkan sajalah saya Pak mungkin semua ini kekhilafan saya " sahut Pak Sadeli , beberapa hari kemudian sewaktu akan berangkat pulang, baru saya tahu kalau kalimat itu di hafal oleh nya dari pagi hari yang di ilhami dari buku peri bahasa cucunya. Tapi ada satu yang jelas yaitu Pak Amin telah tertawan oleh rasa malu, oleh rasa kesal, oleh rasa dendam, dan oleh rasa penyesalan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata selain diam sambil menyaksikan Pak Sadeli berlalu dari masjid.
Kita sering mendengar cerita bagaimana Rasulullah menawan musuh-musuhnya dengan kebaikan dari lemparan batu yang dibalas dengan perhatian beliau dengan bersilaturahim ketika sipelempar sakit , dari yang mencaci maki yang kemudian dibalas oleh beliau dengan memberi makan bahkan disuapi ( kisah yahudi buta), dan banyak lagi sunnah yang tak terlihat itu, yang entah mengapa jarang di sunnahkan untuk dilaksanakan, padahal itulah amaliyah ahlak yang orang melihatnya saja sampai tergetar akan kedahsyatannya. semua orang yang berada di masjid waktu itu hanya bisa terperangah melihat adegan tersebut, seperti menyaksikan potongan paragraph terakhir dari buku roman kehidupan