Setelah beberapa tahun mengikuti pengajian, seorang teman mengeluarkan catatan mengenai apa saja yang telah dipelajari selama ini, sesuatu yang saya sendiri jarang mencatatnya. Hampir semua teman pengajian yang berjumlah kurang dari dua puluh orang menyenangi masalah Fiqih karena standard, rujukan dan penilaiannya jelas. Ustadz Najib juga bisa menilai dalam praktek kekurangan para muridnya dalam masalah fiqih tersebut. Walaupun agak tersendat-sendat pelajaran Nahwu-shorof pun mengalami sedikit kemajuan demikian juga halnya dengan pelajaran-pelajaran lain, yang tolak ukurnya bisa dilihat secara kasat mata.
Sewaktu teman membuka bukunya yang sangat komplit tersebut, ada satu bab yang susah dilihat tingkat kemajuannya, bahkan Ustadz Najib mengabaikan bab ini dalam penilaian ahir semester ( penilaian non formal, karena pengajiannya juga tidak mengikat itulah sebab mengapa jumlah pesertanya saya bilang kurang dari dua puluh, karena setiap pertemuan memang selalu naik turun tetapi tidak pernah lebih dari dua puluh ). Bab tersebut adalah bab ahlak, bab yang berisi cara-cara memperindah ahlak, dan cara-cara menghindari ahlak tercela. Kalaupun Ustadz Najib bertanya pada abab ini, pertanyaannya tidak lebih dari hafalan cara-cara tadi dan dalil yang mendukung, sedangkan hasil mempelajari bab tadi seperti tersembunyi seolah ustadz Najib sedang berkata " Allah lah yang maha mengetahui".
Pandi yang berperawakan agak tinggi adalah satu-satunya diantara murid yang paling susah menangkap pelajaran dan selalu datang terlambat, bahkan anak-anak lain suka di buat kesal karena harus mengulangi materi sampai beberapa kali hanya karena Pandi kurang mengerti. Saya mungkin bodoh dan kalau di buat skala penilaian paling tinggi cuma poin enam tapi entah mengapa poin yang sudah kelewat rendah itu masih susah juga di kejar Pandi, jadi silahkan tebak sendiri kira-kira berapa poin Pandi.
Tetapi anehnya Ustad Najib terlihat sangat sayang kepadanya, pertanyaan-pertanyaan Pandi yang jarang berkembang tidak pernah diabaikan. Cuma ada satu yang saya suka dari Pandi yaitu wajahnya yang selalu ceria, dan senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya, pokoknya tampak selalu senang sampai saya bingung, sebenarnya dia itu senang mentertawakan kami karena selalu menggerutu kepadanya atau karena memang senang karena ditertawakan , sama saja kelihatannya.
Suatu hari karena habis menghadiri kondangan saudara, saya terlambat datang ke pengajian. Seharusnya posisi terlambat ini milik spesial Pandi , tetapi karena suatu hal posisi ini aku rebut secara tidak sengaja darinya. Ketika hendak masuk gang musholah tempat Ustadz Najib biasa ngajar, saya melihat Pandi baru tiba. Dia tidak langsung masuk tetapi merapihkan sandal anak-anak lain yang berantakan bahkan ada yang masuk got dekat musholah, tidak ketinggalan dia memungut sampah yang berserakan dan setelah itu baru dia masuk sambil mengucapkan salam. Pak Jumal yang tinggal tepat didepan musholah mengatakan bahwa setiap akan masuk Pandi selalu merapihkan dan membersihkan pekarangan musholah. Mungkin itu sebabnya dia menyengajakan diri terlambat, entahlah.
Saya baru sadar mengapa Ustadz Najib begitu menyayanginya, mungkin dalam bab mata pelajaran lain kami berkejar-kejaran diatas angka lima meninggalkan Pandi yang tidak pernah resah dengan angka-angka. Tetapi untuk penilaian bab yang tidak pernah dilakukan oleh Ustadz Najib karena memang sulit untuk di buktikan, telah tersemat di leher seorang pria yang selalu diledekin teman-temannya, nilai yang tidak akan pernah di ungkapkan karena mungkin bagi sebagian orang terlihat sangat sepele tetapi jelas nilai itu telah tergores di langit atas musholah.