Entah siapa yang pertama kali memulai kebiasaan ini yang jelas salah satu penggerak aktivitas di dunia adalah benda keramat bernama uang. Jika di zaman prasejarah seperti yang kita baca di buku waktu sekolah dulu bahwa yang mempunyai kekuasaan adalah yang paling kuat, maka point itu sekarang telah bergerser menjadi yang paling kaya, benda keramat yang bernama uang tersebut telah merombak berbagai peradaban. Bahkan paradigma kita sebagai orang tua hampir sama dengan orang tua kita dulu yang ketika menanyakan cita-cita anaknya menjadi apa ? maka apapun pilihan sang anak , takaran terakhir adalah berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari profesi yang dicita-citakan tersebut sehingga sang anak kelak jadi makmur, tidak susah.
Bagaimana seandainya di perkotaan seperti ini orang tua mendengar cita-cita anaknya seperti " Ibu saya ingin jadi petani " atau " Ayah aku kalo sudah besar ingin jadi nelayan", pasti ada sedikit miris di hati mendengarnya, kalaupun mau berbesar hati maka pasti ada embel-embel dengan mengatakan " ya gak apa-apa asal jadi petani yang kaya " atau " boleh jadi nelayan tapi nelayan yang sukses yang punya kapal sendiri dan banyak anak buah ". Lalu salahnya dimana ? tidak ada karena semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Saat kecil profesi petani dan nelayan bukanlah jadi pilihan, tetapi ketika sudah beranjak dewasa bisa jadi profesi tadi menjadi kenyataan yang harus dijalani.
Menyekolahkan anak sampai keperguruan tinggi walaupun secara filosofi agar anak menjadi orang yang pintar tetapi secara kasat mata bisa dipastikan bahwa maksud terselubung adalah agar mudah mendapatkan pekerjaan yang layak dan hal ini juga pernah kita alami sewaktu masih sekolah atau kuliah, artinya secara singkat yaitu menjadi pintar agar mudah bekerja pada orang lain ( employee) dan kita belum terbiasa dengan wacana sekolah yang tinggi agar bisa mempekerjakan orang lain ( employer) sehingga jika ada yang menyimpulkan bahwa pemilik perusahaan belum tentu pintar dan orang pintar belum tentu bisa memiliki perusahaan adalah sah-sah saja karena memang kenyataanya seperti itu.
Didalam Islam cerita mengenai uang tidak jauh dari sekedar mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari dan menyisihkan jika telah melebihi kebutuhan sedangkan cerita profesi tidak lagi menyangkut masalah uang tapi masalah tanggung jawab, seperti tanggung jawab hakim, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, tanggung jawab pemimpin , adab dan kesopanan berdagang dan sebagainya. Kaya dan Miskin adalah dampak dari proses, bukan tujuan , dan dampak tersebut melekatkan predikat baru yaitu Muzaki dan Mustahik, cukup sederhana sebenarnya.
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla". (HR. Ahmad)