Rabu, 16 Januari 2008

Mencari Sebuah kekhusyukan


"Sholatlah kamu karena sesunguhnya sholat bisa mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar", kalimat tersebut mungkin tidak asing di telinga kita , kalimat yang mungkin sering didengungkan oleh para penceramah, khotib atau para ustadz baik yang udh kondang atau yang belum, pertanyaanya adalah apakah sholat kita sudah mampu mencegah kita dari yang mungkar dan mengajak kita kepada yang ma'ruf ? pastilah kita akan sulit menjawab, dan itu merupakan hal yang lumrah karena memang doktrin beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan lain-lain terpatri di dada kita sebagai sebuah kewajiban, dan kewajiban itu mau gak mau harus dilaksanakan dengan cara yang kita mengerti (alakadarnya) sehingga secara pribadi jika kita ditanya manfaatnya maka hasilnya tidak ada selain rasa capek walaupun dimulut akan muncul pernyataan idealis dari hakikat sholat yang sebenarnya kita sendiri gak pernah paham.

Pernahkah kita sholat sambil menangis atau paling tidak melihat orang lain sholat sambil menangis, apakah bisa kita katakan sholat itu khusyuk ? bisa jadi ya bisa juga tidak tapi banyak para ulama mengatakan bahwa ulama-ulama terdahulu (shalafus sholeh) sering menangis dalam sholatnya, sehingga jika kita buat kesimpulan sederhana bahwa menangis bisa membuat kita menjadi khusyuk. Tangisan di timbulkan oleh rasa haru baik berupa penyesalan, kekecewaan, kebahagian yang ingin di salurkan atau di lampiaskan atau di adukan pada seseorang atau sesuatu sehingga menimbulkan ketenangan di hati. Intinya adalah rasa haru di dada membutuhkan tempat mengadu atau bersandar walaupun tidak ada kata-kata yang keluar karena adakalanya ketika seseorang menangis dia tidak mau mengungkapkan masalahnya hanya ingin menumpahkan rasa haru tersebut. Ketika seseorang membutuhkan tempat untuk bersandar dan dia melakukan sholat dengan tujuan bersandar kepada Allah SWT maka pada saat itu muncul rasa IHSAN, rasa melihat, membutuhkan atau diperhatikan oleh Allah SWT dan rasa inilah pintu dari sebuah kekhusyukan.

Tapi apakah kekhusyukan mesti menunggu seseorang bermasalah sehingga ada rasa haru yang harus di lepaskan dengan cara sholat ? tidak mesti seperti itu menangis hanyalah untuk memunculkan rasa IHSAN, jika rasa ini sudah sering muncul maka tangisan akan hilang dengan sendirinya tergantikan dengan dzikir karena IHSAN=DZIKIR akan tetapi bagi seseorang yang memang sulit khusyuk dalam sholat menangis adalah jalan terbaik walaupun banyak orang menampikkan hal ini di karenakan ego yang mengkristal didalam hati. Kristal-kristal ini akan berubah menjadi karang yang sangat sulit di hancurkan walupun dengan wirid ribuan kali. Rasakanlah perbedaanya ketika ada rasa haru yang tak tertahankan sehingga kita menumpahkannya dengan menangis dalam sholat yang membuat tubuh kita luruh bersimpuh di hadapan sang maha pencipta dan bandingkan dengan jika kita mencoba berkonsentrasi memusatkan seluruh perhatian berharap kita bisa mengkhusyukan diri. Sholat sulit untuk di khusyuk-khusyukan karena kekhusyukan muncul dari rasa bukan fikiran. Semakin kita mencoba memusatkan fikiran semakin memberontaklah fikiran kita mengelana entah kemana sehingga sewaktu sholat kita sibuk mencari cara khusyuk di dalam fikiran dan melupakan kekhusyukan itu sendiri dan melupakan untuk siapa kita khusyuk.

Pada saat sekarang ini banyak kita temukan buku atau pelatihan cara sholat khusyuk yang diambil dari pengalaman spritual si pelatih atau si penulis buku dengan harapan cara-cara yang di munculkan bisa di terapkan juga pada orang lain. Kekeringan dan kegersangan spritual maupun kepenatan hidup membuat pelatihan-pelatihan ini menjadi tumbuh subur. Bahkan belakangan ini pelatihan ini justru di dominasi oleh menengah keatas yang mulai jenuh dengan pola hidup gaya metropolitan dan beralih mencari pelatihan penenang jiwa semacam yoga, meditasi, dzikir dan juga sholat khusyuk, sehingga tidaklah mengherankan jika kita jumpai pelatihan ini berlangsung di hotel-hotel mewah dengan harga yang cukup mahal. Sementara itu disisi lain banyak sudah masjid megah di bangun tanpa penghuni yang mungkin penuh hanya sekali dalam seminggu (jum'at), banyak jama'ah nya yang sholat seperti di kejar waktu berlomba dengan dunia , sholat sudah tidak lagi menemukan ruhnya, dan seolah-olah ruh sholat pindah kehotel-hotel mewah. Makna kekhusyukan sekarang telah menjadi bias.

Kekhusyukan semestinya dilandasi dengan syariat yang telah di terapkan sebelumnya, fenomena seseorang mencari ketenangan dengan mendekatkan diri pada tuhan dengan berbagai metode adalah syah-syah saja selama tidak meninggalkan aturan yang telah di tetapkan sebelumnya. Sebaik-baiknya tempat ibadah adalah masjid dan sebaik-baiknya sholat adalah dengan berjama'ah. Ketika kekhusyukan diletakan pada tempat yang benar maka cerminannya terlihat justru bukan pada saat ibadah ritual tetapi ketika berinteraksi dengan masyarakat atau orang lain dan cermin itu bernama ikhlas, tawadhu, qona'ah, istiqomah, amanah dan lainnya yang merupakan cermin dari ahlak Rasulullah SAW. Sebab jika kekhusyukan hanya pada sebatas mencari ketenangan jiwa, maka kekhusyukan pun selesai pada saat ritual di lakukan dan ini tidak ada bedanya dengan umat hindu, budha dan agama lain, kekhusyukan seperti itu bernama meditasi, yoga, tapabrata,nyepi dan lain-lain yang bersifat sangat personal baik sebelum maupun sesudah beribadah. Hal itulah yang membedakan umat Islam dengan umat lain sehingga Allah SWT menyebutnya sebagai Khairu Ummah (ummat terbaik).

Jika pada saat ini banyak kita temukan pengajian-pengajian, dzikir berjama'ah dan disisi lain kemaksiatan merajalela dan di lumrahkan sebagai bagian dari peradaban kebudayaan maka sudah saatnya kita mencari kekhusyukan yang telah lama hilang dan di kembangkan oleh agama lain dan di kemas sebagai sebuah komoditi yang bernama "Program relaksasi " atau penenang jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar