Kamis, 07 Januari 2010

Posisi Harapan

Tahun demi tahun terus berganti, ada harapan yang selalu tersembunyi dibalik setiap pergantian waktu. Matahari diatas kepala tetap setia untuk datang menghampiri dan bumi yang kita pijak tetap setia untuk tidak berganti arah rotasi. Tidak ada yang berubah dari volume air laut, karena alam selalu mampu menakar keberadaannya demi kepentingan manusia. Berapa banyak janji yang telah diikrarkan manusia untuk berubah, tidak mampu menandingi konsistensi perubahan usia.
 
"Hati-hati dijalan nak, semoga kamu bisa menjadi orang yang berhasil" , kata seorang ibu kepada anaknya disebuah terminal bis antar kota. " Pak kalau pulang dari kota jangan lupa bawa oleh-oleh ya" kata seorang anak kepada ayahnya disudut lain terminal itu. Terminal bis selalu ramai di kunjungi, tidak hanya oleh para penumpang tetapi juga para pedagang. Hidup seperti terminal bis, ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang menjemput dan ada yang mengantar, tidak lebih dari sebuah pemberhentian sementara. Kira-kira apa ukuran keberhasilan yang dimaksud si ibu kepada anaknya ? hampir sama dengan jawaban sebagian besar orang tua, maka jawabannya adalah sebuah kemapanan, baik dalam pengumpulan harta maupun dalam posisi jabatan atau profesi.
 
Masih di terminal bis tadi seorang ibu bertemu dengan kawan lamanya, yang mungkin telah bertahun-tahun tidak bertemu. " Eh yanti, gimana khabarnya, kelihatannya tampak sukses , udah punya anak berapa ?" tanya seorang ibu yang berperawakan agak kurus. " Elly ya kok agak kurusan, apa lagi diet ketat nih ? hehehe, anakku sekarang sudah dua yang besar jadi dokter dan adiknya sebentar lagi jadi sarjana hukum, kalau anakmu gimana Ly ?" tanya ibu yang berdandan mirip ibu-ibu pejabat itu. " Anakku sudah tiga tapi cuma pegawai biasa. Yang tertua  buka toko kelontong didekat rumah dan yang kedua cuma jadi guru madrasah. sedangkan yang terakhir baru naik kelas tiga SMU" jawabnya dengan pelan, mungkin agak minder.
 
Jika kita bicara jujur , manakah yang lebih membuat kita bangga sebagai orang tua , mempunyai anak seorang dokter atau seorang guru ? bukankah berbau sangat materi ? tetapi itulah kenyataannya. Pernah saya mengajukan pertanyaan tersebut pada seorang ustadz, dan dia tidak menjawab tetapi hanya tersenyum tak mampu menipu diri antara sebuah idealisme dan tuntuan materialisme. Loh memangnya salah anak kita menjadi dokter bukankah itu pekerjaan mulia ? tentu saja , tidak ada pekerjaan yangtidak mulia jika diniatkan karena Allah semata, tetapi tentu semua paham dengan maksud pertanyaan tersebut bahwa di balik pilihan tersebut ada sebuah ego bersembunyi dengan sangat indah.
 
Bagaimana kalau kita buat pertanyaan lebih spesifik, pilih taqwa atau kaya ? . Seorang teman sempat gerah dengan pertanyaan ini dan mengajukan pertanyaan baru sebagai komplain " apa orang taqwa gak boleh kaya atau orang kaya gak ada yang bertaqwa ? apakah taqwa itu identik dengan miskin ?" tanyannya dengan nada tinggi. saya hanya tersenyum lalu membuat pertanyaan baru yang tidak ada hubungannya dengan hal diatas. " Hendra kalau sekiranya kamu dapat uang seratus juta , lalu tetanggamu ada yang sakit keras dan butuh dana sebesar seratus juta rupiah ,apakah kamu akan berikan dana tersebut " tanya saya dengan nada santai . " ya gak semualah, mungkin separohnya kan itu juga udah bagus, bukannya zakat cuma dua setengah persen atau anggaplah sepuluh persen , kan tetap lebih besar " jawabnya sambil tertawa. Bisa dibayangkan baru sekedar pengandaian kita sudah pelit bagaimana jika menjadi kenyataan tentu lebih jauh panggang dari api. Sekarang baru kita sadari bahwa sebesar apapun perubahan yang kita inginkan, hampir semuanya berasal dari luar ( outer )  sebaliknya hal tersebut tidak banyak berpengaruh pada karakter atau sifat pribadi kita. Lalu dimana letak keimanan itu ?
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar