Siapapun pasti akan memaklumi bahwa sebuah status mebutuhkan sebuah pencirian. Ciri tersebut bisa didapat dari ilmu, dari ketrampilan dari sikap maupun dari penampilan. Saya teringat ketika pertama kali kuliah, banyak mahasiswa senior menggunakan istilah-istilah akademisi yang membuat dia terlihat berbeda dari mahasiswa baru. Pengunaan istilah-istilah asing sering kita jumpai di mulut para pengusaha, para eksekutif, para akademisi yang seolah-olah ingin mengatakan " seperti inilah tingkatan kemampuanku "
Ketika saya melontarkan masalah ini dalam sebuah perbicangan kecil dengan beberapa orang teman, ada yang bertanya " apakah pencirian itu juga dilakukan oleh aktivis keagamaan , sebut saja seperti ustadz, kiayi, pendeta, biksu dan sebagainya ", saya justru bertanya balik sebagai jawaban secara tidak langsung " memang yang terlihat tidak seperti itu ?". Tidak puas sampai disitu teman lain ikut menambahkan " memangnya surga masih membutuhkan ciri secara fisik ?"
Paradigma berfikir bahwa status membutuhkan pencirian memang sudah menjadi tradsisi di masyarakat, kalaupun pencirian itu harus kita terapkan pada diri kita maka tidak lain adalah sikap dan ahlak yang baik, satu-satunya ciri yang di legitimasi oleh Rasulullah
Rasulullah Saw ditanya tentang sebab-sebab paling banyak yang memasukkan manusia ke surga. Beliau menjawab, "Ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik." Beliau ditanya lagi, "Apa penyebab banyaknya manusia masuk neraka?" Rasulullah Saw menjawab, "Mulut dan kemaluan." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Renungan Pendek -Jakarta 07/04/09