Selasa, 27 Januari 2009

Untuk Temanku Ardiyansah

Sambil berteduh disebuah halte bis, saya memandang kearah jalanan yang mulai tergenang air. Terlihat orang hilir mudik, ada yang sekedar mencari tempat berteduh, ada juga yang tetap berjalan santai dengan payung ditangan. Sekelompok pengamen bernyanyi di pojok kanan halte entah berusaha mempersiapkan lagu untuk penampilan berikutnya atau hanya sekedar menghibur diri. " Dunia ini....panggung sandiwara....ceritanya mudah berubah" alunan lagupun terdengar di iringi gitar dan beberapa alat musik buatan seperti galon air mineral yang berfungsi sebagai gendang.  
 
Entah mengapa pikiran saya tiba-tiba melayang jauh kemasa kecil sewaktu masih kelas satu sekolah dasar, memang tidak banyak yang bisa diingat dari peristiwa masakecil kecuali kilasan-kilasan yang cukup membekas termasuk kehilangan seorang teman. Ardiyansah nama teman saya tersebut. Sehari-hari dia tinggal bersama ibu dan seorang adik perempuan, sedangkan ayahnya jarang pulang karena bekerja sebagai nelayan memang membutuhkan waktu dua sampai tiga minggu untuk mencari ikan baru bisa mendarat dan menjual hasil tangkapan.
 
Ardiyansah sering sekali mengeluhkan ibu nya yang seperti tidak sayang kepadanya. Apapun tindakan nya yang kurang berkenan dihati sang ibu, maka dia selalu mendapat omelan bahkan tidak jarang mendapat pukulan dan hal tersebut tidak berlaku bagi adik perempuannya. Dia mengatakan bahwa nasibnya sama seperti dalam film Ratapan Anak Tiri yang kami tonton di dirumah tetangga seminggu sebelumnya, tetapi bedanya adalah bahwa ada atau tidaknya ayahnya perlakuannya tetap sama dan sang ayah hanya diam saja melihat ibu memarahinya walupun pada hal-hal sepele seperti telambat menimba air di sumur untuk mandi adiknya.
 
Sehari setelah keberangkatan ayahnya, Ardiyansah mendadak sakit panas tetapi dia berusaha mendiamkan karena menganggap penyakitnya hal biasa dan tetap mengerjakan rutinitas pekerjaan rumah yang menurut ukuran saya waktu itu terlalu berlebihan/overload. Setelah empat hari panasnya tidak juga turun dan kondisi badannya mulai melemah tetapi ibunya seperti tidak mau tahu dimana pekerjaan rumah tetap harus dikerjakan. Siang itu hujan turun sangat deras, adik perempuannya terjatuh dan terluka dan ibunya minta supaya dibelikan obat di warung. Sebenarnya kondisi Ardiyansah jauh lebih parah dari pada adiknya tapi ketidakmautahuan yang membuatnya jadi berbeda.
 
Ardiyansah memaksakan diri berjalan diantara guyuran hujan. Payung kecilnya tidak mampu menahan terpaan air hujan dari samping yang dibawa angin, sehingga sebagian tubuhnya basah , menggigil dan obat ditangannya jatuh. Mengetahui obat untuk anak perempuannya basah walaupun pada kenyataannya obat(merah) tersebut masih utuh karena kemasan dalam terbungkus plastik tetap saja omelan yang diterimanya, tetapi kali ini Ardiyansah menangis. Dia tidak tahu lagi kepada siapa dia mengabarkan rasa sakitnya, selain mulutnya yang bergumam memanjatkan doa dan tertidur di beranda depan rumahnya.
 
Ibu Ardiyansyah terdengar berteriak memanggilnya tetapi tidak ada suara sahutan, Ardiyansah tetap terbaring kaku. Temanku itu telah meninggalkan kami untuk selamanya, meninggalkan diskriminasi yang menimpanya, meninggalkan derita yang dideranya. Dia tidak mendapatkan toleransi dari penyakit demam berdarah menghinggapi tubuh kecilnya dan sang ayah tidak tahu kabarnya ada dimana ( maklumlah belum ada handpone seperti saat ini).
 
Dua minggu setelah ayahnya pulang, saya mendapatkan cerita bahwa Ardiyansyah adalah anak dari istri kedua ayahnya tetapi ibunya meninggal sewaktu melahirkannya. Ibunya yang tidak rela dimadu melampiaskan amarahnya pada Ardiyansah, seorang anak yang tidak pernah tahu permasalahan orang tuanya. Sahabatku semua ironi ini masih sering terjadi dimanapun , terutama didesa-desa, dimana masalah ekonomi  sering memicu ketidak harmonisan. Tataplah mata anak-anak kita dan bercerminlah dipantulan airmatanya, siapatahu kita baru sadar ternyata kita adalah orang tua yang buruk rupa.