Jumat, 24 Oktober 2008

Cerita Pandang Memandang

Setelah shalat Maghrib biasanya saya dan beberapa rekan sering diskusi secara santai samabil menunggu waktu Isya dan pembahasan waktu itu adalah cara memandang tujuan beragama pada orang kebanyakan. Berbagai wacana bertaburan mewarnai diskusi walaupun semuanya bersifat subjektif , ya gak apa-apalah buat nambah wacana saja. dan saya bingkai lewat sebuah narasi pendek
 
Setelah beberapa tahun secara tidak disengaja saya bertemu teman lama pada suatu majelis,  tampak  terjadi banyak perubahan pada dirinya tidak hanya prilakunya tetapi juga penampakan fisik. Semangat dakwah menjalar keseluruh tubuhnya sehingga ketika berbicara, mimik mukanya tampak garang dan badannya sering bergetar seperti menahan sesuatu. Dia sering menghujat para " the real terorist" di palestina, para "aggresor" di amerika dan para " sipilis" di negara kita yah seperti JIL itulah dan memang tidak ada yang salah dari cara pandangnya semua sesuai dengan apa yang telah di pelajari dan di lakoni baik dari majelis , dari buku maupun dari  lingkungan, namun dia sering memberikan penilaian menurut apa yang dia pahami. Cara pandang seperti teman saya itu adalah cara pandang dari depan yaitu  selalu menilai apa yang tampak didepannya baik berupa kelemahan  maupun kelebihan namun akan lebih sering  tampak segala kelemahan dan keburukan lawan dan hal ini sering menimbulkan konfrontasi baik secara langsung maupun tidak langsung karena dia sering melihat tujuan dia dan yang didepannya bertolak belakang.
 
Berbeda dengan cara pandang tadi, salah satu teman yang lumayan lama aktif dalam kepengurusan masjid dan sering bergaul dengan berbagai macam kelompok keagamaan tampak lebih persuasif, dia beranggapan bahwa  silahkan berjalan menurut keyakinannya selama dalam aqidah yang benar (tidak syirik). Namun untuk diluar Islam dia tampak tidak begitu perduli karena menganggap mereka berada diluar jamaah.  Cara pandang seperti ini adalah cara pandang dari samping yaitu memandang orang seperti dalam satu shaf memanjang dan bersama-sama mengarah kedepan ( tujuan yang sama ) tanpa perlu saling sikut menyikut.
 
Ki Farid, salah satu imam masjid dekat rumah malah lebih bersifat umum yang memandang semua manusia adalah mahluk ciptaan Allah, dan Ki Farid beranggapan bahwa selalu ada garis-garis ketetapan Allah pada setiap mahluknya, dan mudah bagi Allah mempersatukan atau mencerai-beraikan manusia karena Allah maha berkehendak dan tidak ada satupun kejadian di muka bumi ini selain atas kehendak Allah dan salah satu kehendak Allah menurut Ki Farid adalah membiarkan manusia dalam kesesatan selama mereka tidak berusaha mencarinya kecuali atas orang-orang yang dipilih olehNya. Ki Farid memang tekenal dengan keramahannya dan dia sering memberikan pertolongan kepada siapapun dan ke pada agama apapun yang ada didekat tempat tinggalnya. Cara pandang Ki Farid ini adalah cara pandang dari atas melihat orang lain dengan berbagai macam tujuan tetapi tidak mencampuri tujuan mereka.
 
Cara pandang yang lain adalah seperti ustadz Najib, guru ngaji saya. Tidak banyak memang yang mengikuti pengajian ustadz Najib, namun selalu banyak pelajaran  yang bisa di peroleh, dia tidak pernah melihat status, tingkatan maupun agama  seseorang jika salah maka dia akan langsung memperingatkan dengan santun sebatas apa yang bisa dia lakukan. Untuk para muridnya dia sering menuntun tanpa berusaha menggurui, berusaha memberikan berbagai macam sudut pandang yang dinilai sebagai kebenaran tanpa menekankan pada sebuah pembenaran. Hal ini bisa lebih merangsang kreativitas berfikir para murid untuk bisa memberikan penilaian dari berbagai referensi tadi. Cara pandang ustadz Najib ini adalah cara pandang dari belakang yaitu memberikan pandangan kedepan dan membiarkan berjalan sendiri-sendiri tetapi tetap menuntun dari belakang.
 
Dan yang kebanyakan adalah cara melihat dari bawah yaitu mengikuti cara pandang orang yang di idolakannya baik itu ustadz, kiyai, ajengan, syaikh, murobi atau apapun istilah lainnya tanpa pernah mau bersifat kritis dan enggan mempelajari sumber, dasar atau dalil dari para idola mereka dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengambil keputusan dalam sebuah masalah, atau sering di istilahkan 'taqlid buta'.
 
Tapi memang benar semuanya bersifat subjektif dan pembuktianlah yang bisa menjadikannya objektif, karena seperti kata voltaire ' fikiran di buktikan dengan perbuatan, dan segala perbuatan di simbolkan dengan perkataan dan perkataan di wakili oleh bahasa maka bahasalah yang sering menyembunyikan fikiran"