Senin, 16 November 2009

Seperti Gas, Beban Tergantung Wadahnya

Ahad pagi , sekitar jam enam sampai jam delapan,  jalanan tampak masih sepi di komplek perumahan yang sebagian warganya adalah karyawan pada suatu instansi baik itu swasta maupun negri. Tidak banyak terlihat aktifitas diluar rumah dan ini berbeda dengan hari kerja, dimana rutinitas telah menjadikan manusia bergerak secara otomastis menuju sumber matapencarian. " Bal main sepeda yuk " ajak Raihan kepada adiknya Iqbal. Baru saja mereka akan mengeluarkan sepeda dari dalam pagar tiba-tiba pot bunga yang agak besar terjatuh " Bal tolong pindahin pot bunga itu, biar aku yang ngeluarin sepedanya " Pinta Raihan. Beberapa saat kemudian tampak Iqbal berusaha memindahkan pot bunga tersebut dengan kesusahan. Didalam pagar kakaknya Raihan yang biasa di bantu adiknya Iqbal juga tampak kesusahan mengeluarkan sepeda. Berat pot bunga dan sepeda memang berbeda tapi kesulitan yang di timbulkannya sama karena kapasitas orang yang mengangkatnya hampir sama beratnya dengan benda yang diangkat.
 
Setiap manusia pernah menghadapi masalah dan tingkatan masalah setiap orangpun berbeda satu sama lain. Apa yang dianggap berat oleh seseorang bisa jadi mudah bagi orang lain. Beban pot yang diangkat oleh Iqbal pasti dianggap ringan oleh Raihan yang berusia 8 tahun, tetapi sebaliknya beban sepeda jika di pikulkan akan semakin berat bagi Iqbal yang masih berusia 5 tahun. Beban hidup yang menjadi masalah setiap orang terus berubah seiring dengan perubahan dirinya, baik itu perubahan fisik, perubahan pengetahuan, perubahan keimanan maupun perubahan ketrampilan. Tanpa beban seseorang tidak bisa merasakan perubahan yang ada pada dirinya. Tetapi dengan beban semua kendala tampak menjadi masalah, karena beban memang selalu terkondisi berada pada sisi negatif dalam hidup.
 
"priiiiiittt" tiupan pluit Pak Agus terus menemani hari-harinya sebagai polisi lalu lintas. " Sangat sulit membangun imej seorang diri, karena polisi adalah sebuah pekerjaan yang berada pada sebuah sistem. Jabatan ini di pandang begitu menakutkan. Setitik nila sudah bisa menghancurkan segelas susu, tetapi setitik susu tidak bisa merubah bentuk segelas nila " Kata Pak Agus sambil menarik nafas panjang memikirkan sikap sinis masyarakat dengan jabatan yang di pikulnya. Posisi ditakuti menjadi beban bagi polisi yang ingin mengabdi kepada masyarakat, sebaliknya sikap di takuti justru membanggakan bagi para preman yang banyak memeras dan meresahkan masyarakat.
 
Kita beralih kesisi lain, beberapa tahun lalu Pak Ismet yang bekerja sebagai pedagang eceran kebutuhan rumah tangga mengeluh dengan beban biaya rumah tangga sewaktu dagangannya lesu, ketika usahanya menginjak usia sepuluh tahun Pak Ismet telah berubah menjadi distributor alat-alat rumah tangga dan sewaktu tertimpa krisis Pak Ismet mengeluh dengan modal yang terpakai untuk membayar gaji pegawai. Bebannya tidak lagi hanya menafkahi keluarga tetapi juga karyawan, sama besarnya dengan amanah yang di titipkan Sang pemberi beban.
 
Berbeda dengan Pak Agus dan Pak Ismet, Pak Beny yang pegawai swasta dan berpenghasilan dua juta rupiah sebulan sering mengeluh karena tidak bisa menabung untuk membeli rumah karena gajinya setiap bulan hanya pas untuk kebutuhan sehari-hari. Sewaktu terjadi krisis ekonomi, perusahan tempatnya bekerja gulung tikar dan Pak Beny berhasil mendapatkan pekerjaan di tempat lain dengan penghasilan lebih rendah, tetapi kebutuhan rumah tangganya tetap tertutupi, masalah yang dikeluhkannya tetap satu yaitu belum mampu membeli rumah. Ternyata kebutuhan sehari-harinya di pangkas dan disesuaikan dengan gaji yang di terimannya. Ketika saya tanya mengapa dahulu kebutuhannya tidak dipangkas sewaktu gajinya lebih baik dari sekarang buat tabungan membeli rumah, Pak beny hanya tersenyum dan mengatakan bahwa rasa cukup itu selalu berfluktuasi sesuai dengan penghasilan yang di pegang. Mungkin maksudnya rasa cukup dan mencukupkan itu berbeda. Apapun jawabannya Allah telah menetapkan beban seseorang itu sesuai dengan kemampuannya. Mudah untuk mengatakannya tetapi sulit itu menyakininya apalagi sewaktu kesulitan mendera kita.
 
"Yah mau ngajak Isa ke dokter atau mau melayat kerumah Pak Gusman kemaren sore istrinya meninggal dunia, dananya tinggal segini  nih " kata istri mengingatkan bahwa dana sangat minim dan tidak mungkin dibagi dua, karena kita pasti maklum biaya ke dokter anak cukup mahal mengingat penyakitnya adalah penyakit dalam yaitu ada flek di paru-paru. Teringat sedikit dana cadangan di Bank minggu lalu di pinjam teman untuk menikah " Ya sudah kita silaturahmi dulu ke rumah Pak Gusman lalu kerumah sakit, masalah menyumbang kita wakilkan saja lewat doa, bagaimana lagi kondisi belum memungkinkan " jawab saya sambil menghitung hari, ternyata gajian masih lama, sedangkan kita masih harus bertahan......ahhh... hidup memang pilihan.
 

 

1 komentar: