Senin, 22 Juni 2009

Kondisi Kejiwaan


Temaram lampu-lampu menghiasi pinggiran jalan di kota Jakarta. Waktu menunjukan pukul 23.00 waktu Indonesia bagian barat. Rumah sakit itu mulai sepi. Beberapa orang terlihat tidur diatas bangku panjang yang pada siang hari biasanya di penuhi para keluarga dan pelayat. Malam itu kakak ipar meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Saya dan ayah mertua menunggu petugas mengurus jenazah, agar  bisa di bawa pulang dan dimakamkan keesokan harinya. Pak Amin penjaga mayat tampak mulai mengantuk, saya mendekati dan berbicang ringan dengannya seputar jenazah untuk menghilangkan rasa kantuk. " Biasanya de, pegawai baru disini takut pertamakali mengurus jenazah , takut karena suatu ketika akan mengalami hal yang sama, sehingga biasanya orangnya baik-baik, terus ibadahnya rajin, tetapi lama-kelamaan rasa biasa tersebut menumpulkan rasa takut dan sekaligus mengendurkan ketekunan beribadah mereka apalagi yang senior ." kata pak Amin
 
Keesokan harinya hal senada saya dengar dari penjaga makam bahwa kebiasaan telah membuat sesuatu yang luar biasa jadi tampak tak berarti. Siksa kubur bagai dongengan anak kecil bagi mereka yang terbiasa merokok sambil meminum kopi diatas batu nisan. Padahal mereka itu seperti berdiri diantara dua alam, yaitu alam dunia dan alam kubur. Jika ketakutan telah hilang dari dada mereka bagaimana pula dengan orang masih termagu pada gemerlap ibu kota. Dalam bentuk lain rasa biasa ini bisa bersanding dengan rasa jenuh. Seorang teman yang bisa menghadiri pengajian setiap Ahad pagi selama hampir empat tahun , belakangan ini mulai jenuh dan lebih suka bercanda dirumah bersama anak-anaknya sambil sesekali berlibur keluar kota " Bosan Vid , gitu-gitu aja, sama saja kayak di tivi , iman itu tergantung orangnya juga sih, walupun gak kesana ibadah mah jalan terus" kata teman tersebut seperti membela diri pada sesuatu yang saya sendiri tidak terlalu mempermasalahkan.
 
Pada sebuah pengajian saya bertanya kepada ustadz Sulaiman yang biasa dipanggil untuk ceramah di berbagai tempat tentang rasa jenuh ini. " Yah namanya juga sudah pekerjaan mau gimana lagi, terkadang jika dalam satu hari kita dipanggil pada tiga tempat maka temanya ya itu-itu juga, dalilnyapun itu-itu juga, karena terlalu sering di ucapkan jujur saja sering kali dalil tersebut tidak menggigit lagi pada hati yang membacanya, termasuk saya, karena ustadz juga manusiakan ?" katanya sambil tersenyum. Saya mengangguk setuju dan senang dengan keterus terangan beliau. Ustadz Sulaiman memang terkenal ramah dan dihormati di daerah kami. Saya teringat dengan kisah Ruth Sahanaya penyanyi ibukota yang beberapa tahun lalu di wawancara harian ibukota ketika lagunya "kaulah segalanya" ngetop. Dia mengatakan selama hampir tiga bulan setiap hari diminta menyanyikan lagu yang sama, sampai titik kulminasi dimana ketika dia kembali dipanggil untuk menyanyikan lagu tersebut dia mendadak pusing dan mau muntah.
 
Faktor-faktor psikologi sangat jarang disentuh oleh para ulama dan para ustadz. Padahal untuk kalangn level bawah seperti saya ini faktor tersebut sangat dominan mempengaruhi siklus keimanan. Mungkin ada benarnya nasehat seorang teman bahwa setiap orang di anjurkan mempunyai pembimbing spritual yang bisa berinteraksi "one by one " yang mengerti kondisi dan suasana kejiwaan jama'ahnya satu persatu. Sehingga solusi yang diberikan tidak bersifat umum dan asal tetapi langsung menghujam ke pokok permasalahan orang yang bermasalah tersebut. Ketika Rasulullah ditanya apa amalan yang paling pokok , maka beliau menjawab pererat tali silaturahmi , pada saat lain dengan pertanyaan yang sama beliau menjawab bersedekahlah begitu pula ketika yang lain bertanya maka jawaban beliau bisa berbeda beda tergantung kondisi ke jiwaan sipenanya.
 
Mudah-mudahan kita bisa mendapati para ulama yang bisa menjadi guru, sahabat dan ayah bagi para jamaahnya yang sabar membimbing kita satu persatu, dan tidak hanya kejar target, kejar tayang maupun kejar setoran, aaamiiinnn ....Insya Allah
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar