Minggu, 17 Mei 2009

Rintihan Tanpa Suara

Barang langka mahal harganya. Semakin unik suatu barang semakin tinggi nilainya. Tapi berhenti dulu , kedua kalimat tadi mungkin tidak bisa 'diamini' semua orang selain yang memang menyukai kelangkaan dan keunikan apalagi jika dipersempit hanya pada benda . Namun demikian secara umum kelangkaan dan keunikan pasti akan menyedot perhatian orang banyak. Di kota besar seperti Jakarta, silaturahmi dengan kerabat, saudara atau teman lama juga bisa merupakan suatu kelangkaan, mungkin hanya lebaran yang mampu membuka arah jalan kesana sedangkan diluar itu sangat susah. Adapun kejadian atau kegiatan yang bisa mengumpulkan kerabat atau teman diluar hari raya misalnya  acara arisan, pernikahan, pengajian dan ta'ziah atau menjenguk kerabat kita yang meninggal dunia.
 
Dua bulan yang lalu sewaktu ibu saya meninggal dunia, setelah diamanah Allah kanker di kepalanya selama dua tahun, saya bertemu dengan banyak kerabat yang pada hari biasa belum tentu bisa terwujud. Bahkan ada yang datang dari kampung walaupun belum pernah menginjakan kaki di Jakarta, namun tetap dilakukan untuk memberikan penghormatan terakhir untuk almarhumah ibu. Saudara tersebut bertanya mengapa banyak sekali pengemis yang ditemuinya dipersimpangan jalan sejak dari bandara sampai kerumah. Dia bahkan berseloroh " Fakir miskin ada dimana-mana tetapi pengemis hanya ada di Jakarta".
 
Saya harus mengakui di kampung saya memang banyak fakir miskin tetapi tidak ada yang sudi jadi pengemis. Tiga puluh tahun yang lalu, teman yang merupakan tetangga di kampung ditinggal mati oleh ayahnya sedangkan adik-adiknya yang berjumlah dua orang masih kecil-kecil. Teman tersebut berumur lima tahun sedangkan kakaknya berumur tujuh tahun. Keduanya bekerja sebagai buruh di pelabuhan mengangkut ikan yang datang yang dibawa oleh nelayan. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah tetangga sekitarnya, padahal tetangga sekitar juga bekerja sebagai nelayan dan pedagang. Dipasar-pasar anak-anak meninggalkan bangku sekolah agar bisa mencari nafkah sebagai kuli angkut barang dari dalam pasar ke tukang becak didepan pasar tersebut bahkan tidak jarang tukang becak tersebut adalah ayahnya. Mereka seperti tidak mengenal kata 'meminta-minta'.
 
Fakir miskin belum tentu jadi pengemis dan pengemis belum tentu hidup dalam kemiskinan. Didalam Al Qur'an kita diminta untuk menyantuni fakir miskin , memang tidak pernah ada kata-kata menyantuni pengemis tetapi itu juga tidak menjadi alasan untuk mengabaikan mereka. Diluar kewajiban kita untuk memberi kepada siapapun tanpa mempertanyakan status yang meminta, kita harus mampu memaknai bahwa menjadi fakir miskin mungkin sudah sebuah ketentuan tetapi menjadi pengemis merupakan suatu pilihan.
 
Diluar sana banyak tangan-tangan yang tidak mau menengadah kecuali kepada tuhannya sampai izrail menyapa mereka. Kita dipaksa oleh Allah untuk mencari rintihan tanpa suara tersebut dan tidak menjadikan keheningan mereka sebagai alasan untuk tidak memberi. Jika yang menengadah tangan didepan mata kita bisa terabaikan, lalu bagaimana caranya agar kita bisa perduli pada yang hanya mau mengepalkan tangan meremas perutnya yang telah lama tidak terisi.