Selasa, 04 Maret 2008

Realitas Dzikir


Berfikir saat berdzikir atau berdzikir saat berfikir ? Realitas berfikir seharusnya didasari atas dzikrullah, sedangkan realitas berdzikir adalah pengesaan Allah . Orang yang berfikir saat berdzikir akan tersesat dalam ribuan sketsa di kepala dan visual-visual yang muncul justru lebih banyak menjauhkan dirinya dari tujuan dzikir yang sebenarnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan berdzikir saat berfikir adalah proses penetralan atau meredam frekwensi otak sampai ketitik nol bahwa apaun yang kita fikirkan harus berakhir pada ridha Allah SWT dan ini sangat tidak mudah dilaksankan. Ketenangan hati bisa dicapai dengan berbagai cara jika kegundahannya bersifat materi atau duniawi. akan tetapi jika kegelisahan yang muncul dikarenakan sebuah pencarian jati diri dalam mengenal tuhannya, maka dzikir adalah jalan keluarnya. Permasalahannya metode seperti apa yang bisa mendekatkan kita kepada Allah SWT ?

Bunyi-bunyian adalah salah satu terapi menenangkan hati, ketika kita mendengar aluanan musik yang mendayu-dayu maka saat itu suasana hati kita seperti ikut terseret oleh nada tersebut. Didalam lagu-lagu kebangsaan hampir semua memakai nada-nada tinggi untuk menggugah semangat juang, begitu juga dalam keagamaan seperti nyanyian di gereja atau lantunan pujian di wihara kesemuanya akan memunculkan nada-nada yang bisa mungubah suasana hati yang oleh para terapist (ahli terapi) hal ini dijadikan sebagai salah satu efek terapi. Didalam islam hal seperti ini pun bisa kita dapati dalam dzikir atau sholat berjamah, artinya bunyi secara temporer bisa membawa sesorang kedalam suasana syahdu, sedih, ceria dan bersemangat. Namun tidak sedikit yang terperangkap dalam spritualitas bunyi-bunyian seperti ini dimana kekhusyuan hanya di peroleh ketika lantunan kalimat tauhid secara berjamah menggelegar atau keindahan bacaan sang imam di masjid atau tangisan sang ustad di dalam dzikir berjamaah. dan ketika kesemuanya itu tidak ada maka hatipun terasa hambar.

Berdzikir juga tidak memerlukan jubah kebesaran, realitas dzikir bisa menghilangkan eksistensi diri dihadapan Allah, disisi lain ada segelintir orang yang terperangkap dalam simbol-simbol keagamaan dan merasa lebur dalam kelompoknya dan berusaha memfanakan diri dihadapan Allah, bagaimana mungkin dia bisa menyatu sementara dia baru saja mengidentifikasikan dirinya dari hamba Allah yang lain dengan jubahnya dan berdalih tidak ada ria didalamnya. Persepsi kita terkadang dibentuk oleh lingkungan, jika ada orang yang baru masuk Islam yang berasal dari agama Budha dan memakai atribut keagamaanya sewaktu sholat , maka syahkah sholatnya ? secara fiqih syah akan tetapi hal ini jelas-jelas menimbulkan keresahan orang disekitarnya karena persepsi mereka terhadap baju yang islami yaitu baju koko atau gamis padahal secara fitrah Islam tidak memiliki atribut apapun.

Secara bahasa berdzikir berarti mengingat atau menghadirkan eksistensi Allah, dan hal ini semestinya dilakukan kapanpun dan dimanapun, namun belakangan dzikir talah memasuki sebuah kelembagaan dengan berbagai atributnya, apakah itu salah ? tidak, namun jika asas kepatutan hanya pada salah dan benar maka akan terjadi penyempitan makna dan kesadaran tidak akan pernah mucul secara mandiri sehingga sewaktu individu tersebut lebur kedalam masyarakat yang bukan berada dalam komunitasnya maka perubahan ahlak tidak akan muncul secara significan, dan pada masanya kesyahduan dzikir seperti ini akan mengalami titik jenuh. Namun pengandaian-pengandaian tadi akan gugur jika kalimat tauhid telah menghujam di qolbu dengan atau tanpa komunitas seperti harumnya nama Uwais Al Qarni walau tidak pernah bertemu nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar