Apa yang kita lihat , pegang , dengar dan rasakan adalah hasil dari dunia indera, tanpa panca indra maka tidak pernah ada dunia luar, bahkan apa yang kita fikirkan saat ini adalah buah dari dunia luar, lalu apa jadinya jika ke 5 indera ini tidak ada apakah masih berlaku sebuah etika. Bukankah segala materi yang membentuk nilai di masyarakat berasal dari persepsi di kepala kita sehingga jika kita menutup mata dan telinga maka persepsi tadi bisa berubah seketika, lalu etika beragama seperti apa yang hendak diterapkan pada orang buta dan tuli dan kejahatan seperti apa yang bisa mereka ciptakan ?
Jika kita melempar batu dengan ketinggian satu meter, lalu apa yang dirasakan orang yang duduk dua meter diatas kita, hal itu bisa bebarti bahwa sekeras apapun usaha kita bisa tidak berarti bagi orang lain disisi lain apakah sama perasaan kita kepada seseorang ketika ada koin yang terjatuh dari ketinggian 1 meter kearah tubuh kita dengan ketinggian 100 meter walaupun keduanya dilakukan tanpa sengaja. artinya kita lebih sering mempertanyakan dampak suatu aksi dari pada alasannya ketika bersinggungan dengan diri kita lalu jika semua kembali kepada persepsi dikepala masih bisakah kita mengatakan kebaikan dan keburukan ada diluar diri kita ?
Ketika nafsu amarah kita melonjak namun kita berada pada ruangan hampa , apa yang terjadi pada nafsu amarah tadi ? samakah jika ada orang disekeliling kita. Sedekah baru lebih bernilai jika ada yang mau menerima. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar pernah terjadi tidak ada rakyat yang mau menerima zakat karena semua memposisikan diri pada pihak pemberi, bukankah nilai kebaikan menjadi berkurang seiring dengan berkurangnya nilai yang akan di perbaiki, sehingga ketika kita mencela keburukan orang lain artinya kita seperti mencela diri sendiri karena ketidakmampuan meningkatkan nilai kebaikan kita sehingga pantulan keburukan orang tersebut tidak terlalu terlihat, bukankah menutupi keburukan orang lain juga merupakan nilai lebih. jika semua kembali kepada diri maka kalimat "Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya" tidak terlalu berlebihan.
Jika kita melempar batu dengan ketinggian satu meter, lalu apa yang dirasakan orang yang duduk dua meter diatas kita, hal itu bisa bebarti bahwa sekeras apapun usaha kita bisa tidak berarti bagi orang lain disisi lain apakah sama perasaan kita kepada seseorang ketika ada koin yang terjatuh dari ketinggian 1 meter kearah tubuh kita dengan ketinggian 100 meter walaupun keduanya dilakukan tanpa sengaja. artinya kita lebih sering mempertanyakan dampak suatu aksi dari pada alasannya ketika bersinggungan dengan diri kita lalu jika semua kembali kepada persepsi dikepala masih bisakah kita mengatakan kebaikan dan keburukan ada diluar diri kita ?
Ketika nafsu amarah kita melonjak namun kita berada pada ruangan hampa , apa yang terjadi pada nafsu amarah tadi ? samakah jika ada orang disekeliling kita. Sedekah baru lebih bernilai jika ada yang mau menerima. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar pernah terjadi tidak ada rakyat yang mau menerima zakat karena semua memposisikan diri pada pihak pemberi, bukankah nilai kebaikan menjadi berkurang seiring dengan berkurangnya nilai yang akan di perbaiki, sehingga ketika kita mencela keburukan orang lain artinya kita seperti mencela diri sendiri karena ketidakmampuan meningkatkan nilai kebaikan kita sehingga pantulan keburukan orang tersebut tidak terlalu terlihat, bukankah menutupi keburukan orang lain juga merupakan nilai lebih. jika semua kembali kepada diri maka kalimat "Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya" tidak terlalu berlebihan.