Didalam konteks beragama kesesatan merupakan lawan dari kesadaran, seseorang dikatakan sesat jika dia telah menyimpang dari ajaran yang telah di tetapkan baik berupa perilaku maupun pemikiran, sehingga orang tersebut layak untuk di sadarkan. Tapi apakah orang yang berusaha untuk menyadarkan orang lain tersebut memang telah sadar sepenuhnya ?, jika belum lalu apakah makna kesadaran yang sebenarnya ? berikut ini adalah macam dari bentuk kesadaran dan contoh sederhana penerapannya.
Kesadaran Horisontal
Ketika terjadi kemaksiatan pada suatu tempat maka perbuatan tersebut akan melibatkan tiga pelaku utama. Yang pertama adalah sang pelaku maksiat, yang kedua adalah orang yang tidak melakukan tetapi juga tidak perduli dengan kegiatan sang pelaku dan yang ketiga adalah orang yang tidak melakukan tetapi ada kesadaran untuk mengingatkan sang pelaku. Jika kita sederhanakan maka ketiga pelaku tersebut kita sebut sebagai orang yang tidak sadar, yang setengah sadar dan orang yang sadar.
Etika beragama menganggap bahwa orang yang melakukan kemaksiatan baik itu besar atau kecil adalah orang yang tidak sadar bahwa di telah menghina dirinya di hadapan Tuhannya. Secara harfiah dia sadar bahwa yang dilakukannya itu buruk dan akan menimbulkan dosa bahkan dia juga sadar kalau Tuhan selalu memperhatikan apa yang dia lakukan. Sipelaku ini tidak sadar bahwa dia telah meniadakan sifat-sifat ke-Maha-an Tuhan dan juga secara tidak sadar dia juga telah memposisikan dirinya sebagai sang penentang.
Pelaku kedua yaitu orang yang setengah sadar terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya, dia sadar perbuatan itu tidak baik tetapi dia tidak sadar bahwa Allah telah menakdirkan dia ada disana sebagai pemberi peringatan. Kewajiban memperingatkan jatuh kepada orang-orang di sekitar peristiwa kejahatan atau kemaksiatan sehingga di butuhkan kesadaran, takaran kesadaran ini juga dinamakan takaran keimanan. Ketika dia sadar perbuatan tersebut salah dan sadar bahwa dia mempunyai kewajiban untuk memperingatkan tetapi tidak mempunyai keberanian maka orang tersebut telah mengugurkan kesadaran keduanya dan itulah selemah-lemah iman.
Pelaku ketiga adalah orang sadar dengan perbuatan tidak baik dan sadar untuk mau memperingatkan kesalahan orang lain walaupan hasilnya tidak selalu sama dengan apa yang di inginkan. Pelaku ketiga ini telah memasuki kesadaran horisontal secara utuh dalam mengamalkan amar ma'ruf nahi munkar dalam kaitannya dengan hablum minnannas (walaupun masih banyak kasus lain yang bisa di jadikan faktor utama kesadaran).
Kesadaran Vertikal
"Beribadahlah kepada Allah seperti engkau sedang melihatnya tetapi jika tidak mampu maka yakinlah bahwa Dia selalu melihatmu " penggalan hadist mengenai Ihasan tersebut mungkin sudah sering di perdengarkan dalam ceramah, khotbah jum'at atau pengajian-pengajian, tetapi apakah rasa itu benar-benar telah tumbuh di hati atau baru sekedar pengetahuan. Mengetahui keberadaan Tuhan adalah berbeda dengan merasakan keberadaan Tuhan. Pengetahuan di kepala mengenai beradaan Tuhan dan syaria'at yang di turunkanNya telah melahirkan banyak sarjana ahli tafsir, ahli fiqih, ahli hadist dan ahli-ahli lain. Sedangkan Perasaan keberadaan Tuhan yang timbul di hati mungkin hanya melahirkan ketaqwaan namun demikian inilah setinggi-tinggi predikat disisi Allah SWT dan salah satu wujud predikat ini adalah munculnya kesadaran horisontal diatas, sehingga jika kita buat kesimpulan sederhana maka kesadaran vertikal lebih bersandar pada perasaan dari pada pemikiran.
Sebagai contoh sederhana mungkin kita mengetahui bahwa masakan padang terkenal enak berdasarkan cerita dan informasi yang kita dapat maka tumbuhlah keyakinan bahwa memang masakan padang enak dan inilah yang disebut ilmul yaqin, namun kita baru sekedar tahu tetapi belum benar-benar merasakan. Sewaktu kita dapat merasakan makanan tersebut dan ternyata memang enak rasanya maka bertambahlah keyakinan kita. Karena proses penambahan keyakinan ini melibatkan fisik atau panca indra maka dinamakanlah ini dengan ainul yaqin. Ketika ilmul yaqin bertemu dengan ainul yaqin maka muncullah perasaan kebenaran dari informasi dan rasa yang telah di dapatkan rasa inilah yang disebut dengan haqqul yaqin (keyakinan sejati/hakiki) sehingga sewaktu akan makan rasa ini selalu muncul tanpa diminta. Rasa seperti inilah yang diharapkan tumbuh pada diri kita dalam konsep berkeTuhanan.
Konsep menumbuhkan rasa ini memang tidak mudah dilakukan, banyak sudah teori-teori berserakan dari pengalaman spiritual orang lain yang bisa di jadikan model dalam menumbuhkan rasa ini. Namun kesemuanya itu barulah pada tahap Ilmul yaqin dan untuk masuk pada tahap selanjutnya di perlukan latihan-latihan dan belajar dari konsep yang mungkin sudah pernah di terapkan orang lain dan berhasil , Tetapi apakah konsep yang tepat bagi orang lain juga bisa di terapkan pada diri kita ? Mungkin kita tidak asing lagi dengan dzikir, uzlah atau khalwat atau mengasingkan diri, kontemplasi,meditasi dan lain-lain yang kesemuanya di muarakan dalam menciptakan rasa dihati dan di harapkan juga memberikan efek ketenangan. Proses dalam merasakan itulah merupakan pintu gerbang ainul yaqin, karena kita sadar ketenangan, kebahagian, kesedihan, kesusahan adalah berasal dari Sang maha pencipta dan kita tidak mempunyai kemampuan apa-apa selain pasrah dan menyesuaikan kehendak kita dengan kehendakNya.
Ketika basirah (matahati) terbuka dan sadar dengan kekuasaan Allah SWT dan munculnya rasa sungkan ketika beribadah, mudah merasa tersentuh terhadap kejadian disekitarnya, mulai mempelajari makna kehidupan dan pasrah dengan ketentuan qada dan qadar dari Allah SWT maka pada saat itulah orang tersebut mencapai taraf Ainul Yaqin, kesadaran vertikal mulai utuh dan harus disempurnakan terus secara bertahap dan istiqomah sehingga ketika kita di panggil oleh Yang Maha Kuasa kita telah mencapai haqqul yaqin dan mati dalam husnul khotimah. Sekarang kita sadar bahwa banyaknya ibadah yang dilakukan seseorang tidak menjamin kedekatannya dengan Allah SWT selama dia melaksanakan ibadah tersebut tanpa kesadaran. Tidaklah mungkin jika orang tersebut sholat secara sadar tapi masih melakukan kemaksiatan, karena Allah menjamin bahwa sholat yang dilakukan secara sadar akan mencegah kita dari yang mungkar dan mengajak kita kepada yang ma'ruf. Tidaklah mungkin jika puasa yang dilakukan secara sadar masih menimbulkan kerakusan dan ketamakan, korupsi dan lain-lain karena puasa yang dilakukan secara sadar dapat menjaga kita dari sesuatu yang halal (berlebih-lebihan)dan syubhat (meragukan) apalagi yang haram . Begitu juga dengan ibadah yang lain seperti zakat, haji dan lain-lain.
Kesadaran horisontal dan vertikal ini bisa dimiliki oleh siapapun dan oleh agama apapun ketika orang tersebut telah mencapai kemampuan spiritual yang tinggi yang membedakan adalah objek fikir beribadah dan sebagai umat islam seharusnya kita bersyukur bahwa jika di usahakan, maka kemampuan pencapaian spiritual ummat islam bisa lebih tinggi dari ummat lain mengapa ? karena ketika ummat lain berhasil mencapai objek fikirnya maka mereka berhenti sampai disana. Sedangkan ummat Islam terus menanjak tanpa batas dan tepi karena Allah tidak akan pernah bisa di jangkau. Allah maha luas tetapi juga maha meliputi. Ketika ruh spiritual kita menjelajah ruang tanpa batas maka muncullah sensasi luar biasa yang mengakibatkan banyak orang lupa dan menganggap mereka bagaian dari Tuhan