Selasa, 10 Agustus 2010

Cinta Dalam Sepotong Wacana

Pengetahuan berasal dari pengalaman yang di bakukan untuk di informasikan kepada orang lain. Belajar membuat mobil berarti merunut ulang pengalaman sang penemu mobil, tetapi belajar tidak akan menghasilkan mobil, karena mobil itu ada karena di buat atau karena hasil dari berkerja. Hadist adalah sunnah yang dibukukan, jadi belajar memahami sunnah mestilah melalui hadist, tapi hadist bukanlah sunnah. Hadist baru bermanfaat setelah di amalkan. Apa yang di sebutkan tadi adalah gambaran sederhana antara mengetahui dan mengalami. Lalu apa yang telah kita ketahui tentang masalah keTuhanan ? dan proses apa yang telah kita alami dalam menanamkan keyakinan kita ? belum banyak yang bisa menjawab selain membeberkan rentetan teori yang bersifat " tahu"

" Anak-anak, kasih sayang Allah itu kepada manusia jauh lebih besar dari pada kasih sayang orang tua kepada anaknya" kata Pak Zaenuddin, guru agama sekolah dasar  sewaktu mengajar masalah tauhid. " Apakah kalian bisa membedakannya ?" tanya Pak Zaenuddin lebih lanjut. Semua anak-anak dalam kelas menggelengkan kepala. " Baiklah pertanyaannya Bapak ganti, apakah kalian bisa merasakan kasih sayang Allah ?". " Bisa ! " teriak murid serempak. " Bagaimana caranya ? coba kasih contohnya Mira, ?" Tanya Pak Zaenuddin kepada Mira, anak yang duduk paling depan. " Kita telah diberikan mata untuk bisa melihat, kita juga bisa menghirup nafas dan lainnya merupakan wujud kasih sayang Allah kan Pak " jawab Mira setengah bertanya untuk meyakinkan jawabannya. " Benar apa yang dikatakan Mira, anak-anak, tapi coba kalian jujur, yang mana yang lebih kalian rasakan antara kasih sayang  ayah dan ibu di rumah atau kasih sayang Allah ?" kembali Pak Zaenuddin bertanya sambil tersenyum, karena hal ini masalah rasa dan bukan lagi bersifat teori yang mendoktrin. Anak-anak terdiam, mereka takut untuk mengatakan bahwa mereka lebih merasakan kasih sayang orang tua dari pada kasih sayang Allah, sesuatu yang bukan lagi bersifat pengetahuan  tapi pengalaman.
Menyatakan apa yang dirasakan jauh lebih susah dari pada menyatakan apa yang diketahui. Kita bisa menjelaskan tentang keindahan suatu alam tapi kita susah menjelaskan betapa senang hati kita melihat keindahan tersebut. Membandingkan apa yang kita ketahui dengan apa yang kita rasakan bukanlah perkara mudah. Jika rukun Islam berkenaan dengan pengetahuan maka rukun iman berkenaan dengan perasaan. Kita bisa saja telah mengetahui banyak hal tentang keIslaman tetapi hal itu tidak menjamin turut sertanya keimanan dalam hati kita, seperti firman Allah dalam surah Al Hujuraat ayat 14 : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  Kata 'kami telah tunduk' lafaznya adalah 'aslamna yang sebagian penafsiran mengartikan kami telah ber-Islam. Artinya ketundukan pada segala aturan yang telah di tetapkan belum menjamin tumbuhnya sebuah keimanan, apalagi jika aturan itu dilakukan dengan terpaksa.
Perpaduan Rukun Islam dan rukun iman atau pengetahuan dan perasaan akan memunculkan rukun Ihsan, atau keyakinan. Rukun ini sering terlupakan dan dianggap sebagai pelengkap semata, padahal pada rukun inilah inti ketauhidan, Murroqobatullah, selalu marasa diawasi Allah. seperti firman Allah dalam surah Al Hadiid " wahuwa ma'akum 'aina ma kuntum wallahu bima ta'maluna bashir " Dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada, Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan." Lalu apakah setelah kita membaca ayat ini kita kemudian bisa langsung merasakan bahwa Allah sedang melihat kita ? belum tentu.
Beberepa tahun yang lalu seorang teman yang beragama nasrani yang sedang berusaha mendalami agama lain karena merasakan kehampaan dalam agama yang dianutnya pernah bertanya " Kamu bersaksi bahwa Allah adalah tuhan dan Muhammad adalah utusanNya, apakah kamu pernah menyaksikanNya ?" , saya kemudian menjawab bahwa kita bisa menyaksikan segala kebesaranNya yang ada dimuka bumi, karena semua itu adalah ciptaanNya. Kemudian dia bertanya lagi " Berarti kamu hanya bersaksi atas kebesaran ciptaanNya, kamu tidak pernah bersaksi atas ZatNya ? apakah kamu berani bersaksi bahwa Allah sedang menyaksikanmu saat ini ?". Saat itu saya baru sadar bahwa kekuatan syahadat yang begitu besar sebagai inti ketauhidan telah lama di tinggalkan. Bukankan Allah berkata bahwa Dia lebih dekat dari pada urat leher kita, lalu jika sedekat itu saja kita tidak bisa merasakan, lalu Tuhan seperti apa yang kita saksikan selama ini, apakah sudah mendekati penyaksian Bilal dalam teriakan "ahadnya"  ketika hendak siksa ?
Pak Zaenuddin kemudian bercerita tentang kasih sayang orang tua yang di perolehnya dari dunia maya (internet). "Anak-anak, ketika terjadi gempa bumi di Cina, banyak orang yang sibuk menyelamatkan diri. Seorang ibu beserta anaknya yang berusia beberapa bulan terperangkap didalam sebuah gedung. Kemungkinan untuk lolos dari reruntuhan bangunan sudah tidak ada. Beberapa hari kemudian ibu tersebut di temukan dalam keadaan tertelungkup, seperti bersujud sambil mendekap anaknya yang berada di bawah. Ibu tersebut meninggal dunia karena kepala dan badannya remuk tetapi anak yang berada didalam dekapannya masih hidup dan dalam keadaan sehat. Ada pesan buat sianak yang di letakan didalam balutan baju si anak lewat sebuah handphone  dari ibunya tersebut : ' Anakku, jika pada akhirnya  kamu  bisa selamat, ketahuilah bahwa aku sangat menyayangimu. ' ". Pak Zaenuddin berhenti sebentar untuk melihat respon anak muridnya. " Apakah kalian bisa merasakan kasih sayang ibu itu kepada anaknya ?" tanya Pak Zaenuddin. Mata anak muridnya banyak yang berkaca-kaca menahan haru dan berteriak serempak " Bisaaaaa !". " Apakah kalian bisa merasakan kasih sayang Allah ada disana ?" tanya Pak Zaenuddin mencoba membangkitkan nalar anak muridnya. " Bukankah Allah yang menjaga anak itu sampai beberapa hari walaupun ibunya telah tiada ?" lanjutnya. Para murid hanya diam dan mulai menyadari bahwa ada cinta diatas cinta yang bermain dalam kisah itu. Cinta yang bukan lagi sebagai wacana, tapi realita yang mengisi relung-relung hati kita hari ini dan sampai kapanpun.
Salam
David Sofyan

1 komentar:

  1. Sangat menyentuh hati :'(
    Sesungguhnya Allah itu MAHA penyayang.mengapakah sukar sekali kita merasakannya. Mungkin banyaknya dosa lagi di diri kita ini. Hingga sukar merasakan Allah itu sgt dekat dgn kita lebih dkat dari urat leher.. ampuni kami ya Allah.. :'(
    Teruskan menulis karya2 yang bagus seperti ini.. moga dirahmatiNya..

    BalasHapus