Minggu, 31 Mei 2009

Memaknai Nama


" Ayo lari geng cari tempat berteduh, siapa tahu hujannya makin deras" kata saya kepada Ugeng sepulang dari rumah saudara di kota Bogor. Kota ini memang cukup dekat dari Jakarta, karena itulah salah satu tempat wisatanya yaitu kawasan puncak selalu ramai dikunjungi oleh orang dari Jakarta. Negara kita memang di anugahkan oleh Allah tanah yang subur dan indah, yang jika dikelola dengan baik bisa mendatangkan devisa yang tidak sedikit bagi negara. Untuk kawasan Jabodetabek, maka Bogor adalah primadona wisata alam, selain dekat kawasan ini masih bisa di golongkan dalam kategori tempat yang sejuk meskipun belakangan ini kesejukan itu mulai berkurang. Rumah saudara Ugeng ada di sekitar Cidahu, beberapa kilometer dari Ciawi menuju Sukabumi.

Sudah menunggu beberapa lama angkutan yang kosong belum ditemui sedangkan gerimis perlahan-lahan mulai membasahi pakaian. Kami menjauh dari jalan raya menuju ke perumahan penduduk untuk mencari tempat berteduh. Ditengah pemukiman berdiri masjid cukup indah dan itulah tempat terbaik untuk berteduh. " Assalamu'alaikum, kehujanan kang, ayo masuk kedalam" kata seorang pemuda. Ternyata waktu itu sedang ada kajian hadist oleh seorang ustadz yang berpenampilan mirip syaikh dari temur tengah, sangat berwibawa. Ada sekitar dua puluh peserta yang mengikuti kajian. Hujan turun dengan deras, dan waktu kami tidak sia-sia karena ada ilmu yang bisa di petik di masjid tersebut. Setelah selesai mengikuti pengajian hujan mulai reda, kami sempat berkenalan dengan beberapa jama'ah. " Di sini rupanya banyak arab melayu" bisik Ugeng kepada saya, karena hampir semua nama mereka berbau timur tengah. Abu Sulaiman, Muhammad Hamim, Salman Alfarisi, Abu Fatoni, Ummu Hurairoh, Ummu Zahrah, Zainuddin albantani.

Selidik melalui pertanyaan yang bersahabat, ternyata banyak yang memang dengan sengaja mengganti nama, mencari keberkahan kata salah seorang, sedangkan yang lain mengatakan nama adalah sebuah doa dan banyak alasan lain yang membuat saya seperti nampak tersudut di pintu agama, anda tahulah nama saya, plesetan kaum nasrani terhadap nabi Daud kata mereka. Saya hanya tersenyum dan Ugeng buru-buru keluar takut namanya diartikan macam-macam.

Didalam angkot seorang anak membawa keranjang belanjaan buat dagangan esok hari katanya. Saya bertanya siapa namanya " Nama saya Sukarno, kata ayah, saya harus hebat seperti presiden" sahut anak tersebut. Ternyata ada tersembunyi harapan orang tuanya terhadap nama anak tersebut. Dan hampir semua orang tua pastilah seperti itu memberikan nama yang terbaik buat anaknya, yang mungkin dimaknai secara sempit bagi orang lain. Walaupun pepatah mengatakan "apalah arti sebuah nama" tetapi tanpa nama seseorang tidak akan pernah bisa berarti.

Suatu hari kami menanyakan hal ini kepada Ustad Najib, " Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bukanlah nama nabi, dan nama itu tidak pernah menjadi apa-apa sebelum mereka masuk Islam, Perbuatan merekalah yang menjadikan nama mereka berarti, orang yang meniru nama mereka sebenarnya ingin meniru perbuatan mereka, yang kemudian dijawantahkan lewat nama. Nama Ibrahim bukanlah siapa-siapa sampai Allah menyematkan nama tersebut kepada NabiNya. Sukarno bukanlah siapa-siapa sampai dia mempejuangkan namanya menjadi orang nomor satu dinegeri ini, demikian juga tokoh-tokoh hebat lainnya, dan tidak pernah ada orang hebat karena meniru nama orang lain, tidak dimata masyarakat tidak juga dimata Allah selain amal perbuatannya

Wajah Baru


Hari ini memang berencana mengganti penampilan. Bukan berarti yang lama terkesan usang, tetapi buat sekedar penyegaran dan ini juga karena ada sedikit waktu luang untuk merombak sana-sini. Didalam facebook saya pernah mengoceh sendiri dengan mengatakan bahwa tidak pernah ada teman lama atau teman baru, yang ada hanya pertemuan dalam waktu yang berbeda. Semua pasti menyadari bahwa kita semua dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, dimensi dimana bisa saja saat ini kita sedang disaksikan oleh alam lain sebagai mahluk yang paling pandai bersandiwara.

Perubahan penampilan ini , diharapkan memberikan kesan bahwa blog ini diperuntukkan bagi siapa saja yang mau dan suka bersilaturhami dalam persahabatan, cinta dan kasih sayang. Kesalahan adalah ciri khas manusia, dan belajar dari kesalahan adalah sebuah keharusan, walaupun pada akhirnya memang tidak pernah ada keharusan untuk bisa lepas dari kesalahan tersebut karena hasil bukan lagi ditentukan oleh kita.

Rabu, 27 Mei 2009

Rumah Penyakit



Walaupun namanya sama tetapi penyaksian sering berbeda disana
Rumah sakit, padahal rumah itu jelas tidak pernah sakit
Memuat penyakit dan orang sakit
Menjadi saksi kematian dan kelahiran
Rumah yang tidak pernah sakit itu pun sering menyakiti hati orang
Rumah itu seperti tempat tangisan
Menangis bahagia kerena baru saja mendapatkan amanah titipan dari Yang Maha Kuasa
Menangis sedih karena Yang Maha Kuasa baru saja mengambil titipan tersebut
Keduanya menangisi sesuatu yang bukan milik mereka tetapi diakui menjadi bagian dari diri mereka, darah mereka
Rumah itu juga menajdi saksi betapa bebalnya manusia
Semakin sering dia melihat kematian semakin sirna rasa takut di dadanya dan mutilasipun terjadi.
Disana organ-organ titipan itupun di perdagangkan

Rumah yang tidak pernah sakit itu jelas telah membuat orang miskin menjadi sakit
Karena rumah itu juga trampil memainkan angka-angka yang membuat penyakit lama kambuh seketika
Rumah itu adalah rumah pemakaman dan persalinan
Jika kurang waspada persalinan bisa jadi pemakaman
Apakah anda sudah pernah kesana ?

Renungan Pendek, Jakarta 27/05/2009

Selasa, 26 Mei 2009

Sinyal Yang Tidak Pernah Putus


Hujan gerimis membasahi jalan, waktu menunjukan pukul lima lewat empat puluh lima menit, sebentar lagi adzan maghrib segera terdengar. Biasanya bulan ini telah memasuki musim kemarau, tetapi belakangan ini musim seperti sudah tidak teratur lagi. Ada yang mengatakan ini adalah akibat dari pemanasan global. Pada malam hari jakarta mungkin telah mengkonsumsi beberapa juta megawatt agar masyarakatnya leluasa beraktifitas, tidak hanya dirumah, tapi di pabrik-pabrik dan tempat-tempat hiburan malam, hiburannya para kaum hedonis yang dimanjakan Allah dengan uang.
 
Terkadang saya heran mengapa dalam hal yang satu itu Allah sangat menyayangi mereka, teman mengatakan itu adalah istidraj Allah Subhanahu wata'ala kepada mereka, tetapi saya pribadi lebih menganggap itu adalah wujud kasih sayang Allah kepada mereka, soalnya hati kecil saya gak mau jadi seperti anggapan para penceramah yaitu " senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang" , ketika kaum hedonis diberikan kesenangan kita bilang mereka kena istdiraj , tetapi ketika mereka mendapat musibah maka kita bilang mendapat peringatan atau laknat Allah. Ya terserahlah karena hanya Allah  yang maha tahu, tapi hati-hati,  soalnya hati kecil kita tidak bisa di bohongi bahwa mungkin saja ada selipan rasa iri disetiap penilaian kita.
 
"Baru pulang mas Yanto ?" kata saya ketika berpapasan dengan tetangga sewaktu hendak menunaikan sholat maghrib di masjid. " Iya lagi banyak kerjaan nih, bukankah bekerja itu juga ibadahkan mas David" katanya seperti menjelaskan mengapa dia datang terlambat, " ya sudah kalo sempat langsung nyusul aja ke masjid mas Yanto, ayo duluan " kata saya bergegas meneruskan perjalanan. Ada yang menjadi pertanyaan yaitu bekerja seperti apa yang dinilai sebagai ibadah, dan tidak sedikit yang menjadikan alasan ini untuk terus larut dalam pekerjaannya. Segala pekerjaan yang baik yang diniatkan karena Allah semata maka adalah bernilai ibadah, tapi benarkah setiap hari kita berangkat kerja kita telah berniat karena Allah, atau mungkin ada yang beranggapan bahwa bekerja mencari nafkah untuk keluarga otomatis dinilai sebagai ibadah walau tidak didahului oleh niat ? padahal semua amal ibadah tergantung dengan niatnya, mungkin malah sudah banyak yang hafal bunyi dalilnya sehingga tidak benar semua pekerjaan bernilai ibadah jika tidak didahului oleh niat, sama seperti ibadah mahdhoh.
 
Jika kita setiap memulai sesuatu diniatkan karena Allah sambil membaca bismillah, maka bisa diartikan pekerjaan tersebut bernilai sebagai pengingat kepada Allah atau dzikrullah, inilah yang diartikan dengan selalu berdzikir setiap saat, sehingga tidak hanya bermakna sempit yaitu sekedar mendawamkan dzikir baik dihati maupun dilisan karena itu memang sebaik-baiknya dzikir disamping membaca Al Qur'an tentunya. Pembiasaan ini akan menyebabkan kita seperti selalu merasa nyambung, ibarat handphone sinyalnya selalu ada dan tidak pernah terputus sehingga kapanpun bisa dihubungi, lewat ilham dan menghubungi lewat do'a
 
 
 

Informasi yang Dhoif


"Ada dua manfaat yang bisa diambil dari orang lain ", kata Ustadz Abbas didalam  sebuah kajian ba'da maghrib. " Yang pertama adalah jika kita melihat kesalahan orang lain maka jadikanlah itu sebagai contoh agar kita terhindar dari kesalahan yang sama", sambil menarik nafas cukup dalam, kemudian dia melanjutkan " Yang kedua adalah  jika kita melihat kebaikan orang lain maka hal itu bisa dijadikan sebagai contoh untuk melakukan hal yang sama" Ustadz Abbas diam sejenak " Tidak ada manusia yang selamanya benar, dan tidak ada juga manusia yang selamanya salah, karena itulah mengapa ada yang dinamakan dengan pembelajaran, yaitu belajar dalam memaknai sesuatu"
 
Beberapa tahun yang lalu ketika berkunjung kerumah saudara seorang teman di daerah jasinga Bogor, kebetulan teman tersebut telah sampai duluan sedangkan saya dan seorang teman lain menyusul belakangan dan tersasar, kami bertemu dengan seorang bapak untuk menanyakan lokasi desa yang dimaksud. Saat itu cuma ada tiga orang pria sedangkan pemukiman warga sangat jarang di temui karena masih termasuk daerah terpencil. Orang pertama adalah bapak yang akan kami tanya dan yang dua orang lagi sedang mempersiapkan padi yang hendak di bawa pulang karena waktu itu sudah mendekati maghrib. " Saya pernah dengar nama tempatnya tapi kurang tahu arah kesana karena saya lebih lama di kota Jasinga dikampung sini de " kata bapak itu kepada kami " Coba adek tanya sama yang dua orang itu karena mereka sering berpergian dari satu desa kedesa lain yah masih desa-desa sekitar sini sih karena mereka jadi pedagang keramik dari tanah liat kalo musim panen belum tiba " kata bapak tersebut melanjutkan.
 
Jalan didepan ada persimpangan , jika salah arah maka akan mundur jauh kebelakang dan memakan waktu, apalagi hari menjelang maghrib dan mencari alternatif tempat bertanya sangat sulit bererati harus mundur kedesa sebelumnya. Kesalahan kami adalah tidak mulai bertanya pada desa pertama yang ditemui karena merasa jalan hanya satu arah , dan ketika mengetahui bahwa didepan ada persimpangan sedangkan dikiri kanan hanya sawah dan hutan  maka harapan satu-satunya tinggal dua orang pemuda yang dimaksud oleh si bapak ini. " Cuma ada satu masalah dek terhadap dua orang ini, yang memakai topi orangnya suka berbohong yang satu lagi orangnya sangat pelupa, semua saya serahkan kepada adik saja buat memutuskan" kata bapak tersebut sambil permisi pergi meninggalkan kami.
 
Yang satu suka berbohong dan yang satu pelupa, kalau dalam hadist maka kedua informasi orang ini bernilai dhoif, sah dan tidak diragukan lagi kedhoifannya. Sewaktu kami bertanya kepada keduanya mereka menunjuk pada arah yang berlawanan, lengkap sudah mesalah. Apakah pembohong selamanya berbohong dan apakah sipelupa bererati tidak pernah ingat, tentu tidak seperti itu, tetapi  pertanyaannya saat ini mereka seperti itu atau tidak ? saya dan teman jadi berdebat sendiri. Teman lebih suka  memilih si pelupa karena ada kemungkinan dia tidak lupa saat itu, sedangkan saya lebih memilih perkataan si pembohong menurut bapak tersebut karena saya beranggapan apa manfaatnya dia membohongi kami. Akhirnya teman setuju dengan pendapat saya dan Alhamdulillah ternyata arah yang kami tuju benar.
 
Beberapa waktu yang lalu sewaktu kajian hadist , saya bertanya kepada ustadz yang mengajar " apakah ada kemungkinan hadist dhoif yang berasal dari rawi yang nilai suka berbohong adalah hadist yang benar", ustadz tersebunt hanya tersenyum " kemungkinan selalu ada tetapi kemungkinan itu ditinggalkan dalam pengambilan hukum, sedangkan untuk fadhilah amal imam Nawawi membolehkan" jawab Ustadz tersebut denagn bijaksana " Loh kalau ada riwayat yang sahih untuk bisa diamalkan kenapa mesti mencari-cari yang dhoif" kata salah satu peserta pengajian. " Prasangka seperti itu kurang bijak karena tidak ada satu orang ulama pun yang dengan sengaja mencari-cari hadist dhoif untuk diamalkan, tetapi hadist itu telah beredar dan diamalkan , dan kemudian hari baru diketahui bahwa hadist itu dhoif , tetapi karena hanya bersifat amaliyah ada ulama yang membolehkan , itulah yang dimaksud dengan membolehkan bukan mencari-cari kemudian melegalkan, itu hanya prasangka sebagian saudara kita" kata Ustadz tersebut.
 
Selesai pengajian teman berucap " Ciri khas manusia ....kadang disalahkan , kadang menyalahkan, kadang dinilai buruk tetapi lebih sering menilai buruk orang lain, kadang merasa salah tetapi lebih sering merasa benar, pengen dipercaya tapi susah mempercayai orang lain". yah itulah kelebihan manusia dibanding mahluk Allah yang lain.
 
 
 
 

Selasa, 19 Mei 2009

Memilih Ijtihad Ulama

Seorang teman datang berkeluh kesah, karena sebagai orang yang baru mendalami agama Islam dia sudah dihadapkan dengan berbagai ikhtilaf diatara para pendakwah, sampai dia bertemu dengan hadist mengenai pecahnya Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kegelisahannya menjadi-jadi karena hampir semua golongan merasa yang paling benar. Sebagai orang yang baru mendalami agama, semua rentetan dalil yang diajukan masing-masing golongan nampak indah  dan masuk akal, dan inilah yang membuatnya menjadi bingung untuk memilih.
 
Saya hanya mendengarkan keluh kesahnya. Kemudian saya bercerita mengenai peperangan diantara para sahabat yaitu  Ali bin Abi Thalib RA dengan Aisyah RA istri nabi yang merupakan mertuanya. Juga peperangan Ali dengan Muawiyah bin Abu Sofyan. Perang itu telah memakan korban. Didalam Islam membunuh berarti harus dibunuh. Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Membunuh adalah salah satu dosa besar dan tidak mungkin sahabat terdekat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam tersebut tidak mengerti hal itu, tetapi mengapa mereka masih melakukannya? Ijtihad dalam melihat kebenaran.
 
Para ulama sepakat bahwa jika niat berperang untuk kebenaran yang dirasakannya maka itu termasuk dalam ijtihad. Maka kedua kubu bisa jadi benar dalam ijtihadnya bisa juga salah. Sekarang kita kembali kepokok permasalahan mengenai ikhtilaf para ulama mukallaf. Jika membunuh saja bisa dianggap sebagai ijtihad apalagi hanya sekedar bersikap, sehingga apapun ijtihad para ulama yang disandarkan kepada Al Qur'an dan Al Hadist  secara benar maka ikutilah, jika suatu ketika kita mengetahui bahwa ada ijtihad yang lebih kuat maka silahkan ambil yang terkuat, jadi mari tinggalkan sengketa, kata saya kepada teman tersebut. Dia merasa tenang dengan contoh ekstreem yang saya berikan mengenai pertikaian berdarah yang banyak dilupakan orang yang sebenarnya bisa diambil hikmahnya, insyaAllah.
 
Renungan Pendek, Jakarta 20/05/2009

Minggu, 17 Mei 2009

Terlena Dengan Proses

" Bagaimana cara mendapatkan pencerahan yah, agar aku bisa menjemput hidayah Allah" tanya seorang teman kepada saya ketika berkunjung kerumah beberapa waktu yang lalu. " Memang yang tercerahkan itu yang seperti apa" tanya saya balik kepadanya berusaha menyamakan persepsi. Teman tersebut hanya diam saja. "Belum tentu juga semua yang berusaha mencari hidayah Allah itu telah tercerahkan". kata saya melanjutkan, karena saya sendiri mungkin terdaftar sebagai salah satu diantara ribuan para pencari tersebut.
 
Beberapa hari kemudian saya mengajaknya ke toko buku Wali Songo, toko buku Islam di daerah senen, Jakarta Pusat. "Sebentar lagi kita akan melihat bagaimana posisi yang sedang mencari tetapi belum tercerahkan dan yang berusaha mendapatkan hidayah yang sesungguhnya " kata saya sebelum memasuki toko tersebut. Hampir satu jam kami disana dan teman tersebut larut dalam buku-buku yang dibacanya sampai terdengar suara adzan yang menandakan waktu sholat zuhur telah tiba. Walaupun suara adzan sudah tidak terdengar tetapi teman tersebut masih larut dalam buku-buku disekitarnya. " Sekarang kamu tahu perbedaan antara sekedar pencari hidayah tetapi belum tercerahkan dengan yang sudah" kata saya mengagetkannya. " Yang bersegera melaksanakan sholatlah  sebenarnya mencari ketempat yang hakiki" kata saya kepadanya dan kami melihat disekeliling ternyata masih banyak yang disibukan dengan buku.
 
Seringkali kita terjebak dengan proses sampai melupakan tujuan dari proses tersebut. Kita ingin menjadi orang yang bertaqwa tetapi proses mencapainya sering jauh dai sifat ketaqwaan. Kita bekerja keras karena ingin membahagiakan keluarga tetapi terkadang pekerjaan kita justru telah menelantarkan keluarga.  Kita bisa mengerti bahwa yang terpenting dari suatu hasil adalah prosesnya, namun melupakan tujuan dari proses adalah suatu kesia-siaan.
 

Rintihan Tanpa Suara

Barang langka mahal harganya. Semakin unik suatu barang semakin tinggi nilainya. Tapi berhenti dulu , kedua kalimat tadi mungkin tidak bisa 'diamini' semua orang selain yang memang menyukai kelangkaan dan keunikan apalagi jika dipersempit hanya pada benda . Namun demikian secara umum kelangkaan dan keunikan pasti akan menyedot perhatian orang banyak. Di kota besar seperti Jakarta, silaturahmi dengan kerabat, saudara atau teman lama juga bisa merupakan suatu kelangkaan, mungkin hanya lebaran yang mampu membuka arah jalan kesana sedangkan diluar itu sangat susah. Adapun kejadian atau kegiatan yang bisa mengumpulkan kerabat atau teman diluar hari raya misalnya  acara arisan, pernikahan, pengajian dan ta'ziah atau menjenguk kerabat kita yang meninggal dunia.
 
Dua bulan yang lalu sewaktu ibu saya meninggal dunia, setelah diamanah Allah kanker di kepalanya selama dua tahun, saya bertemu dengan banyak kerabat yang pada hari biasa belum tentu bisa terwujud. Bahkan ada yang datang dari kampung walaupun belum pernah menginjakan kaki di Jakarta, namun tetap dilakukan untuk memberikan penghormatan terakhir untuk almarhumah ibu. Saudara tersebut bertanya mengapa banyak sekali pengemis yang ditemuinya dipersimpangan jalan sejak dari bandara sampai kerumah. Dia bahkan berseloroh " Fakir miskin ada dimana-mana tetapi pengemis hanya ada di Jakarta".
 
Saya harus mengakui di kampung saya memang banyak fakir miskin tetapi tidak ada yang sudi jadi pengemis. Tiga puluh tahun yang lalu, teman yang merupakan tetangga di kampung ditinggal mati oleh ayahnya sedangkan adik-adiknya yang berjumlah dua orang masih kecil-kecil. Teman tersebut berumur lima tahun sedangkan kakaknya berumur tujuh tahun. Keduanya bekerja sebagai buruh di pelabuhan mengangkut ikan yang datang yang dibawa oleh nelayan. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah tetangga sekitarnya, padahal tetangga sekitar juga bekerja sebagai nelayan dan pedagang. Dipasar-pasar anak-anak meninggalkan bangku sekolah agar bisa mencari nafkah sebagai kuli angkut barang dari dalam pasar ke tukang becak didepan pasar tersebut bahkan tidak jarang tukang becak tersebut adalah ayahnya. Mereka seperti tidak mengenal kata 'meminta-minta'.
 
Fakir miskin belum tentu jadi pengemis dan pengemis belum tentu hidup dalam kemiskinan. Didalam Al Qur'an kita diminta untuk menyantuni fakir miskin , memang tidak pernah ada kata-kata menyantuni pengemis tetapi itu juga tidak menjadi alasan untuk mengabaikan mereka. Diluar kewajiban kita untuk memberi kepada siapapun tanpa mempertanyakan status yang meminta, kita harus mampu memaknai bahwa menjadi fakir miskin mungkin sudah sebuah ketentuan tetapi menjadi pengemis merupakan suatu pilihan.
 
Diluar sana banyak tangan-tangan yang tidak mau menengadah kecuali kepada tuhannya sampai izrail menyapa mereka. Kita dipaksa oleh Allah untuk mencari rintihan tanpa suara tersebut dan tidak menjadikan keheningan mereka sebagai alasan untuk tidak memberi. Jika yang menengadah tangan didepan mata kita bisa terabaikan, lalu bagaimana caranya agar kita bisa perduli pada yang hanya mau mengepalkan tangan meremas perutnya yang telah lama tidak terisi.
 
 
 

Rabu, 13 Mei 2009

Semua Bisa Berpendapat

Belakangan ini buku-buku islam sangat membanjir di toko buku. Minat baca masyarakat begitu meningkat, dan hal inipun tidak sia-siakan oleh para penulis maupun penerbit. Mulai dari buku-buku baru maupun buku lama yang dicetak kembali telah bertengger diatas rak buku menunggu pembaca menghampirinya. Belakangan ini saya baru tahu kalau penerbit juga ada yang sektarian. Dideretan buku-buku islam seseorang berbicara dengan temannya dengan nada setengah berbisik " kalau mau beli buku lihat penerbitnya dulu, kalau mau aman pake penerbit yang ini saja , soalnya jauh dari perkara-perkara bid'ah, dan penulisnya semuanya ahlussunnah" katanya kepada temannya dan di iyakan oleh temannya tersebut.
 
Dideretan tafsir masih terlihat Al Misbagh karangannya pak Quraish Sihab, Al Azhar karangan Buya Hamka, belum lagi tulisan dari ulama dulu seperti tafsir ibnu katsir, fi zilalil Qur'an, Al Manar, dan lain sebagainya. Untuk tafsir-tafsir luar memang tidak semua toko buku memajangnya pada 'rack display'. Buku-buku syariah dan muamalah bertebaran dengan berbagai versi dideretan lain yang banyak disambangi oleh para remaja dan beberapa orang dewasa. Bisa dikatakan bahwa buku-buku yang terhidang adalah kumpulan pendapat para penulis terhadap satu sumber yaitu Al Qur'an dan Assunnah. Kok bisa beda yah. Jika ada sepuluh orang ulama yang berguru pada satu orang yang sama dan mengambil pada sumber yang sama yaitu Al Qur'an dan Hadist Rasulullah, mengapa pendapat mereka bisa berlainan, dan anehnya ada saja orang yang fanatik pada salah satu diantara mereka.
 
Kita bisa membuat pemetaan pada pola berfikir kita. Diantara sepuluh ulama yang kita anggap mempunyai ilmu yang sama, pastilah hanya satu yang kita merasa cocok dengan pendapatnya walaupun kita tetap menyukai dan menghormati yang lain, mengapa begitu ? Allah menciptakan pola berfikir setiap orang berbeda dengan yang lain, hal ini juga bersinggungan dengan masalah suka atau tidak suka, sama seperti berbedanya selera humor setiap orang. Bisa jadi tulisan saya ini juga dianggap sampah bagi sebagian orang dan ini adalah hal yang wajar. Kumpulan memori atau file dalam otak kita yang membentuk pola tersebut. Seseorang yang sehari-harinya berkutat pada masalah ekonomi dan keuangan maka ada kemungkinan ketika berbicara dalam konteks islam maka lebih besar titik dominasi muamalah ketimbang syariah, kalaupun ada syariahnya maka orientasi pastilah menuju ke arah muamalah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan sebagainya.
 
Untuk substansi akherat saja beberapa penulis berjalan pada arah yang berbeda-beda, Ada yang memfokuskan pada pembersihan diri, ada yang fokus pada peningkatan amal ibadah, ada yang fokus pada membersihkan amal ibadah. Dan untuk amal ibadah saja terpecah lagi menjadi beberapa sub bagian, bahkan ada ustadz yang berhasil fokus dan meraih massa pada sub ini seperti ada ustadz terkenal dengan dzikirnya , ada juga yang terkenal dengan fadilah sedekahnya. Jika ada pertanyaan apakah yang menyukai dzikir tidak suka bersedekah ? Tentu saja konteksnya tidak seperti itu karena ini adalah masalah "prefer" dalam istilah bahasa asingnya, atau kecenderungan. Dalam matematika Kita bisa membuat metode substitusi untuk bisa mendapatkan polanya. Lalu yang mana yang paling benar ? itulah masalahnya sampai saat ini kita belum pernah mendengar ada orang atau kelompok merasa paling salah, pasti kebalikannya. Jika sudah seperti itu pendapat anda sajalah yang benar paling tidak bagi diri anda sendiri tentunya.
 

Minggu, 10 Mei 2009

Kemegahan Masjid

Untuk para pebisnis bertandang dari satu perusahaan ke perusahaan lain atau dari satu gedung ke gedung lain adalah hal yang biasa, sama seperti biasanya para salesman yang menawarkan produknya dari pintu kepintu atau sama seperti biasanya seorang sopir taksi berpindah dari satu lokasi kelokasi lain. Dalam satu hari kita mungkin bisa mengunjungi sepuluh tempat dalam rangka mencari nafkah atau sekedar bersilaturahim. Bisa jadi salah satu relaksasi mata adalah mengunjungi tempat yang belum pernah di kunjungi sebelumnya dan untuk hal ini tentu tempat favorit setiap orang berbeda dengan yang lain.
 
Saya selalu kagum dengan kemegahan masjid-masjid di Jakarta yang di balut dengan ornamen-ornamen khas timur tengah bahkan ada juga yang mirip gaya romawi. Selalu saja ada dana untuk membangun tempat peribadatan tersebut, bagaimana kalau tidak ada, ya harus diadakan, walaupun caranya harus turun kelapangan bersaing dengan pengemis pinggir jalan. Dan sewaktu masjid telah berdiri megah, maka giliran pengemislah yang pada acara-acara tertentu menempati sisi-sisi masjid.
 
Beberapa waktu yang lalu, saya bersama teman  berkunjung kerumah teman sekolah  didaerah Tanah Abang , sewaktu masuk waktu zuhur kami menyempatkan  sholat di salah satu masjid  tertua di jakarta tersebut yang lokasinya berada di samping pasar tanah abang. Masjid tersebut tidak pernah sepi dari pengunjung baik itu penduduk lokal, pedagang, pembeli maupun pejalan yang sedang mampir. Penduduk setempat menyebutnya tempat yang barokah. Kalau mau jujur selain hari jum'at, taraweh di bulan Ramadhan dan sholat ied maka  ruangan masjid paling banyak hanya terisi tiga shaf.
 
Saat ini kemauan membangun masjid tidak di imbangi dengan kemauan meramaikannya, memakmurkannya. Pembangunan masjid tersebutpun tidak lepas dari perhitungan laba rugi, dimana para penyumbang berharap mendapatkan pahala yang besar selama masjid tersebut tetap berdiri walau pada akhirnya tidak ada lagi yang mau berdiri didalamnya tidak terkecuali para penyumbang itu sendiri.
 
Renungan Pendek, Jakarta 11/05/09

Rabu, 06 Mei 2009

Masalah Suka Atau Tidak Suka

Tradisi pengajian di kampung atau pedesaan biasanya dilaksanakan pada malam jum'at, kebiasaan tersebut juga telah memasuki kota-kota besar seperti Jakarta. Tetapi tidak semua tempat memiliki jadwal seperti itu, ada juga yang dilakukan pada malam lain tetapi memang jarang yang dilakukan pada malam minggu kecuali yang bersifat massal atau paling tidak berkelanjutan sampai qiamul lail. dan diteruskan dengan sholat shubuh berjama'ah. Tetapi pengajian seperti itu juga tidak menjadi rutinitas mingguan, mungkin hanya bulanan atau triwulan atau bahkan tahunan. Apapun bentuk pengajiannya, tentulah semua diperuntukan bagi peningkatan kualitas ilmu dan ahlak jama'ah.
 
Untuk masalah taddabur Qur'an kami biasanya merapat pada sisi ustadz Abbas setiap malam rabu, tidak banyak memang, hanya beberapa gelintir manusia yang terlihat, gak tahu juga kalo ada mahluk lain yang ikut serta. Kebiasaan melihat sebelah mata dengan hanya memilih mengaji pada ustadz-ustadz tertentu banyak ditemui justru pada para pemuda dan pemula. Sifat idealisme yang ada pada diri mereka mungkin turut andil dalam memilih ustadz yang disesuaikan  dengan selera, bak menu makanan cepat saji. Jika demikian halnya maka munculnya ustadz-ustadz instant juga tidak bisa disalahkan, karena sama-sama kita maklumi bahwa dimana ada permintaan disana ada penawaran.
 
" gak usah kesanalah, Qur'an dan hadistnya  ditelan mentah-mentah gak di kaji secara mendalam" kata seorang teman  ketika kami hendak mencari alternatif pengajian lain diluar malam rabu. " Taunya gak dikaji secara mendalam dari mana?" tanya saya. Kita bisa mengukur sesuatu jika kita mengetahui standarisasi ukuran, jika tidak itu sama seperti bualan. " apakah kamu tahu yang lebih dalam dari yang mereka kaji sehingga bisa berkesimpulan seperti itu atau hanya tidak setuju dengan kesimpulan mereka sehingga menganggap mereka kurang dalam ?" saya meneruskan pertanyaan kepada rekan saya tersebut. Dia hanya cengengesan " gak tau juga cuma gak suka saja dengan penyampaiannya " sahut teman tersebut semakin memperjelas pokok permasalahannya.
 
Suka atau tidak suka memang sangat mempengaruhi predikat layak atau tidak layak seseorang dimata yang menilai. Kecintaannya terhadap pengajiannya bisa membuat pengajian lain tampak buruk dimatanya. Walaupun sudah sering kita dengar, bahkan berkali-kali kita kaji bahwa seluruh apa yang telah kita pelajari harus merubah ahlak kita menjadi lebih baik walaupun kita akan dianggap lebih bodoh oleh orang lain. Manfaat terbaik yang bisa diambil dari sebuah pohon adalah buah dan daunnya bukan hanya keindahan bentuknya.
 

Selasa, 05 Mei 2009

Pusat Kesadaran

Didalam Islam ada tiga kategori orang yang tidak atau belum terkena dosa ketika melakukan sesuatu yang dilarang agama, yaitu anak yang belum sampai akil balig, orang yang tertidur atau tidak sadarkan diri, dan orang yang tidak waras atau gila. Diantara ketiga kategori tersebut, yang paling sering di qiaskan adalah yang kedua yaitu orang yang tertidur atau tidak sadarkan diri makna tersebut diperluas menjadi orang yang belum tahu atau pengetahuan belum sampai kepadanya mengenai keharaman perbuatan yang dilakukannya. Kita bisa menyederhanakan dalam penyebutannya  menjadi perbuatan yang tidak disengaja.
 
Kita buat studi kasus. Ketika saya sedang mengendarai sepeda motor dijalan raya , tiba-tiba seorang anak berusia empat tahun menyebrang jalan tanpa memperhatikan sekelilingnya, secara tidak sengaja saya menabrak anak tersebut dan meninggal dunia ditempat karena tidak sempat memberhentikan sepeda motor tersebut. Dari kasus tersebut ada dua hukum yang akan kita jalani yaitu hukum publik atau masyarakat  dan hukum agama. Pertanyaannya adalah pertanggung jawaban apa yang mesti saya lakukan ?
 
Didalam masyrakat ada hukum yang tersembunyi , hukum itu bisa jadi diluar koridor agama dan negara. Seperti ada orang gila yang dipukuli massa karena dianggap mencuri pakaian yang sedang dijemur, pada saat ditemukan orang gila tersebut memang tidak berpakaian sama sekali dan pakaian yang dicuri hanya untuk di usap-usapkan kemuka bukan untuk dikenakan. Pertanyaannya adalah jika masyarakat itu tahu dia  orang gila dan masih memukulinya, sekarang yang kurang waras siapa ? yang berdosa apakah yang mencuri pakaian atau yang memukul si pencuri ?
 
Pengetahuan seseorang bisa tertutupi oleh dua hal yaitu sesuatu  yang tanpa sengaja seperti tertidur atau pingsan atau tidak sadar dan yang kedua pengetahuannya atau keasadarannya tertutupi oleh hawa nafsu didadanya seperti rasa marah, iri,  dengki, birahi, putus asa, dendam dan lain sebagainya. Tentu saja cerita saat itu bukanlagi masalah pintar atau bodoh, ustad atau selebriti, tetapi lebih dari masalah keimanan.

Relatifitas Potensi Diri

Banyak segmen kehidupan didunia ini yang bersifat relatif sehingga tidak salah juga jika banyak orang yang mengagung-agungkan teori relatifitas Einstain walaupun dalam aspek yang berbeda. Meskipun besar tenaga yang pergunakan sama, namun hasilnya bisa berbeda jika tenaga tersebut dimanfaatkan pada tempat atau pekerjaan yang berbeda seperti petani dan nelayan, atau buruh dan tukang becak atau staf pembelian dan staf penjualan, atau mentri dan mantri. Yang terakhir itu tidak usah diperhitungkan karena volume pekerjaannya jelas berbeda. Maksudnya adalah prestasi seorang petani tidak layak dibandingkan dengan prestasi seorang nelayan, karena nilai usaha nelayan lebih adil jika dibandingkan dengan nelayan yang lain.
 
Dalam format yang berbeda saya pernah menulis artikel tentang nilai tolak ukur usaha kita terhadap suatu potensi yang di amanahkan Allah kepada kita misalnya seseorang yang diamanahakan Allah ilmu seratus tetapi hanya mengamalkan sepuluh tidak berbeda dengan seseorang yang diamanahkan Allah ilmu sepuluh dan hanya mengamalkan satu ilmu, karena keduanya hanya mengamalkan sepersepuluh dari nilai potensi yang di berikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'alaa kepada mereka. Lalu apakah pemberian potensi itu merupakan bagian dari takdir Allah ? taqdir seperti ini didalam syarah Arba'in An Nawawi disebut sebagai taqdir Umri yang telah ditetapkan sewaktu janin berumur empat bulan. Tugas kita hanya memaksimalkan potensi yang di amanahkan Allah tersebut karena takaran kuantitas, potensi setiap orang pasti berbeda. Untuk lebih adil meimbang sesuatu jangan hanya melihat nilai amaliyah tetapi juga potensi yang diberikan. Amaliyah seorang ustadz bisa jadi sama nilainya dengan amaliyah seorang buruh tani jika ditinjau dari potensi yang dimanahkan Allah kepada mereka.

 
Merubah potensi yang telah ditaqdirkan Allah bisa saja dilakukan karena didalam surat Ar Ra'd ayat tiga sembilan Allah berfirman "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh) "  dan untuk bisa mendapatkan hal tersebut Rasulullah memberi petunjuk lewat  hadistnya  yaitu  " Tiada sesuatu yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tiada yang dapat menambah umur kecuali amal kebajikan. Sesungguhnya seorang diharamkan rezeki baginya disebabkan dosa yang diperbuatnya". (HR. Tirmidzi dan Al Hakim)
 
Ikhtiar yang dilakukan manusia merubah potensi Allah salah satunya adalah dengan belajar dan bekerja, akan tetapi setingan tempat dan lingkungan juga mesti diperhatikan artinya proses belajarnya seorang petani tentu beda dengan proses belajarnya seorang pegawai apalagi memanfaatkan fasiltas tehnologi seperti sekarang, artinya suatu potensipun bersifat variatif bahkan relatif. Terlepas dari semua itu, kita mesti potimis dan selalu berbaik sangka kepada Allah terhadap apapun yang telah di tetapkanNya kepada kita.
 
 
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, "Oh andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu", tetapi katakanlah, "Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya." Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: "andaikata" dan "jikalau" membuka peluang bagi (masuknya) pekerjaan setan." (HR. Muslim)

 
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan" (Adz Dzaariyaat, 20-23)

Senin, 04 Mei 2009

Terjerat Pada Masalah Yang Sama

Berat lima kilogram batu mungkin sama beratnya dengan berat sepuluh kilogram batu jika usia yang mengangkat batu tersebut sama nilainya nya berat batu tersebut. Kedewasaan membuat masalah yang dahulu terlihat berat bisa menjadi terasa ringan atau lebih ringan dibanding masalah yang sekarang sedang dihadapi. Cerita mengenai garam yang dimasukan kedalam gelas terasa asin tetapi tidak berasa ketika dimasukan kedalam kolam mungkin bisa jadi nasehat yang bijak tentang bagaimana melapangkan hati tetapi tidak cukup logis untuk ukuran waktu. Bagaimana mungkin menyelesaikan masalah dan melapangkan hati diselesaikan dalam satu waktu karena sampai sekarang saya belum menemukan caranya ? mungkin karena  IQ ini memang mempunyai kegemaran yang aneh, yaitu selalu jongkok! ya sudahlah
 
Beberapa hari yang lalu saya mendapat email mengenai potret anak-anak yang menjadi buruh di Bangladesh, yang berusia empat sampai tigabelas tahun dengan variasi pekerjaan yang berbeda seperti buruh diperusahaan baja, pemulung, penjual kembang dan berbagai macam pekerjaan lain yang merupakan keniscayaan bagi mereka untuk bisa bertahan hidup. Potret yang sama bisa di temui dihampir semua negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Masalah tentang himpitan ekonomi merupakan masalah paling umum di dunia. Hampir semua orang yang membeberkan cara-cara hidup bahagia tanpa lilitan masalah ekonomi adalah orang tidak sedang dililit masalah ekonomi bahkan ada yang tidak pernah atau belum pernah dililit masalah tersebut.
 
Pernyataan saya seperti orang yang putus asa dan ngawur, karena bagaimana mungkin ada orang yang mau mendengar nasehat bagaimana cara memecahkan suatu masalah padahal orang tersebut sedang dilanda masalah dan belum keluar dari masalahnya. Mungkin nampak seperti itu tetapi ketika yang diberi nasehat bisa sama-sama keluar dari masalah dengan yang memberi nasehat maka akan terlihat jelas perbedaannya  antara sekedar berteori dengan yang bergelut langsung dengan masalah tersebut.
 
Renunan Pendek, Jakarta 04/05/2009