Selasa, 19 Mei 2009

Memilih Ijtihad Ulama

Seorang teman datang berkeluh kesah, karena sebagai orang yang baru mendalami agama Islam dia sudah dihadapkan dengan berbagai ikhtilaf diatara para pendakwah, sampai dia bertemu dengan hadist mengenai pecahnya Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kegelisahannya menjadi-jadi karena hampir semua golongan merasa yang paling benar. Sebagai orang yang baru mendalami agama, semua rentetan dalil yang diajukan masing-masing golongan nampak indah  dan masuk akal, dan inilah yang membuatnya menjadi bingung untuk memilih.
 
Saya hanya mendengarkan keluh kesahnya. Kemudian saya bercerita mengenai peperangan diantara para sahabat yaitu  Ali bin Abi Thalib RA dengan Aisyah RA istri nabi yang merupakan mertuanya. Juga peperangan Ali dengan Muawiyah bin Abu Sofyan. Perang itu telah memakan korban. Didalam Islam membunuh berarti harus dibunuh. Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Membunuh adalah salah satu dosa besar dan tidak mungkin sahabat terdekat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam tersebut tidak mengerti hal itu, tetapi mengapa mereka masih melakukannya? Ijtihad dalam melihat kebenaran.
 
Para ulama sepakat bahwa jika niat berperang untuk kebenaran yang dirasakannya maka itu termasuk dalam ijtihad. Maka kedua kubu bisa jadi benar dalam ijtihadnya bisa juga salah. Sekarang kita kembali kepokok permasalahan mengenai ikhtilaf para ulama mukallaf. Jika membunuh saja bisa dianggap sebagai ijtihad apalagi hanya sekedar bersikap, sehingga apapun ijtihad para ulama yang disandarkan kepada Al Qur'an dan Al Hadist  secara benar maka ikutilah, jika suatu ketika kita mengetahui bahwa ada ijtihad yang lebih kuat maka silahkan ambil yang terkuat, jadi mari tinggalkan sengketa, kata saya kepada teman tersebut. Dia merasa tenang dengan contoh ekstreem yang saya berikan mengenai pertikaian berdarah yang banyak dilupakan orang yang sebenarnya bisa diambil hikmahnya, insyaAllah.
 
Renungan Pendek, Jakarta 20/05/2009