Jumat, 13 Februari 2009

Ketidakberhinggaan

Gurauan sering muncul disuasana ta'lim yang dilaksankan setelah sholat Ashar sampai menjelang Magrib di masjid dekat rumah dengan mengundang Ustadz dari tempat lain. Kebetulan pengajian anak-anak sekolah menengah yang tidak jauh dari lokasi juga dihadirkan oleh guru mereka sehingga suasana tampak cukup riuh.
 
Setelah melewati bebarapa sesi termasuk ceramah, acara di lanjutkan dengan tanya jawab. Karena masjid didominasi oleh anak-anak sekolah sehingga pertanyaannyapun tidak jauh dari masalah fiqih, seperti mengenai pacaran, perkelahian, contek mencontek, dan adab menuntut ilmu.
 
Namun ada satu pertanyaan yang jika di kategorikan maka ini menyangkut masalah tauhid. Entah dari mana anak ini bisa memperolah pertanyaan tersebut yang tampak main-main tetapi cukup menjebak dan jika tidak dijawab bisa menimbulkan persepsi yang salah di mata anak-anak yang lain. " Pak Ustadz, bukankah Allah itu maha pencipta ?" tanya anak tersebut " benar " jawab pak Ustadz dengan tenang " apakah ada sesuatu yang tidak bisa di ciptakan oleh Allah ?" tanya anak itu seperti menyelidik. " tentu tidak, jika Allah sudah berkehendak maka apapun bisa di ciptakan oleh Allah" kata sang Ustadz " Apakah Allah bisa menciptakan segala sesuatu yang lebih besar dan lebih hebat dari pada Dia ?" tanya si anak sambil tersenyum merasa dirinya menang
 
Model pertanyaan jebakan seperti ini sering saya lihat dilakukan oleh para kaum liberalis yang merujuk dari pemikiran para filsuf masa lalu baik yang dari barat maupun dari timur, dan saya sudah bisa menangkap arah pertanyaanya. Justru yang menjadi pertanyaan saya adalah dari mana anak ini memperoleh pertanyaan seperti ini, dari buku, dari kakaknya, orang tuanya atau siapa ? sekilas saya melihat seorang guru di pojokan pintu seperti tersenyum mendengar pertanyaan anak muridnya, tapi senyumnya aneh seperti sinis, ah entahlah apakah ini sebuah skenario.
 
Dan anehnya lagi setelah mendapat informasi dari seorang rekan bahwa guru yang berdiri di pojok pintu adalah guru fisika bukan guru agama. Kepala saya mulai berputar-putar apakah ini merupakan rekayasa agar jawabannya menyinggung bidang guru tadi, ah kembali saya berpikiran buruk , karena memang jawaban atas pertanyaan anak tadi hanya bisa di logikakan dengan nilai angka-angka.
 
Ustadz tersebut tersenyum dan berkata " Tidak ada yang tidak bisa di ciptakan oleh Allah selama Dia berkehendak, dan tentu saja bukan atas kehendak kita, karena untuk apa Allah menciptakan sesuatu yang lebih dari pada Dia, apakah hanya untuk menyenangkan kita. Senang atau tidaknya kita tidak akan mempengaruhi kemaha-an Allah dihadapan hambanya karena Allah tidak akan di rugikan jika kita  tidak menyembahnya sekalipun" jawab sang Ustadz yang sebenarnya tidak menyentuh substansi pertanyaan tapi bagi anak-anak tentu jawaban tersebut lebih dari cukup
 
Sang guru yang semula hanya diam berusaha untuk bicara tapi smbil pura-pura batuk dekatnya saya berkata " wah pertanyaan anak tadi hebat juga ya...kalo sekiranya di balik emang ada angka setelah angka nol " rupanya naluri keilmuannya berhasil saya tarik agar fokusnya lepas dari forum tanya jawab karena saya takut ada debat kusir yang beda jurusan sama seperti ulama berdebat dengan dokter tentang fatwa bahaya rokok.
 
" Tidak ada lagi nilai setelah angka nol , manusia menciptakan angka-angka untuk memudahkan perhitungan dan setiap perhitungan harus mempunyai titik untuk memulai dan titik awal tersebut terbebas dari segala perhitungan baik ketas maupun kebawah dan nilai tersebut di namakan nol " kata guru tadi mencoba memberikan pengertian " lalu bagaimana dengan angka minus " tanya saya sambil memperlihatkan raut wajah penasaran " minus hanyalah cermin kebalikan dari plus kalo di teruskan maka hasilnya tidak berhingga baik keatas yaitu plus dan kebawah yaitu minus" jawabnya sambil tersenyum bangga
 
" jika kita telah membuat kesepakatan tentang nilai terbawah bagaimana menggambarkan nilai teratas " tanya saya" jawabannya adalah ketidak berhinggaan" jawab guru tadi dengan tegas " apakah tidak ada bahasa yang bisa mendefinisikan sesuatu yang paling tinggi , bagaimana dengan kata maha " tanya saya mulai melempar jala " mmm....mungkin kata maha bisa juga dijadikan wakil kata yang paling tinggi, mungkin " jawabnya mulai ragu " jika kita telah sepakat membuat kata maha menjadi kalimat pamungkas terhadap sesuatu yang paling apapun, apakah kita masih harus mencari kata lain lagi selain kata maha tadi " tanya saya. Guru tadi memandang saya seolah mengerti arah pertanyaan-pertanyaan saya dan hendak memulai perdebatan baru tapi saya akhiri dengan salam sambil menjabat tangannya, dan berlalu dari dari hadapannya yang masih memerah seperti hendak memuntahkan sesuatu.