Kamis, 10 Desember 2009

Aku Tidak Punya Apa-apa Selain Menggenggam Janji

" puncak..puncak...!! " teriak seorang sopir omprengan di persimpangan Ciawi, Bogor. Wajah itu hampir sama seperti dulu, tegar dan keras. "Gimana khabar Yung ?" teriak saya dari samping, mengejutkannya. " Eh kamu Yan, main kerumah yuk, nanti penumpang saya oper ke teman di depan" tawarnya. Hari itu saya memang berniat mengunjunginya. Mengunjungi seorang sahabat dari Sumatra yang terdampar di kota Bogor. Namanya Syakban, seperti hendak memberitahukan kepada dunia  bahwa dia lahir di bulan itu. Dia lahir ketika usia ibunya menginjak hampir empat puluh lima tahun dan ayahnya meninggal setahun setelah kelahirannya.
 
" Sudah punya anak berapa sekarang Yung , Kok gak pernah ngasih khabar ?" tanya saya kepada Syakban yang biasa dipanggiling Uyung, atau anak uyung yang artinya anak paling kecil yang jarak antara dia dan kakaknya nomor dua terlalu jauh yaitu hampir lima belas tahun. " Baru dua, sepasang, yang tua laki-laki sekarang kelas satu SD dan adiknya yang masih 2 bulan, perempuan" Jawabnya tanpa pernah berhenti tersenyum. " Kamu sendiri gimana Yan " tanya Uyung berbalik. Saya menatap jauh kelereng-lereng sepanjang jalan Ciawi menuju Cipayung tempat kediamannya tidak jauh dari persimpangan menuju daerah wisata Mega Mendung. Tiba-tiba ingatan saya terlempar kemasa dua puluh tahun yang lalu, saat kelas tiga SD.
 
"Siapa yang mengambil layangan saya, kok gak ada disini ?" teriak saya kepada teman-teman sebaya yang baru pulang sekolah. " Kayaknya si Uyung yang mainin tapi dia kalah, trus layangannya putus deh" sahut Iskandar. Uyung dan Iskandar yang biasa di panggil Kandar telah berhenti sekolah sejak kelas dua SD. Mereka membantu orang tua dengan bekerja jadi buruh angkut ikan di dermaga. Ibunya Uyung yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian, tidak sanggup menyekolahkannya. Kakak pertama Uyung yang perempuan bekerja jadi pembantu rumah tangga sedangkan kakak laki-laki nomor dua bekerja sebagai nelayan. Sedangkan ayah Kandar bekerja sebagai pembersih kapal.
 
" Memangnya kamu lihat Dar, siUyung yang mainin" tanya saya lebih lanjut. " Iya, sewaktu kalian sekolah kami main layangan di bukit belakang masjid, tapi layangan si Uyung putus trus dia liat layangan kamu di ikat di pagar depan rumah kamu, jadi dimainin deh sama dia, katanya di pinjam dulu" jawab Kandar agak takut. " Trus sekarang si Uyung mana ?" tanya saya sambil melihat kesegala arah, siapa tahu dia muncul. " Dia ngantarin pakaian kerumah orang, disuruh ibunya" jawab Iskandar.
 
Beberapa saat kemudian tampak seorang anak menjinjing tempayan berisi pakaian yang telah di setrika di kepalanya yang di alas dengan lipatan kain. " Yan besok siang pas pulang sekolah aku tunggu kamu di bukit belakang masjid ya , ntar sore saya mau bikin layangan buat ganti layangan kamu, bambunya sudah saya dapat tadi pagi, jangan lupa ya" teriak seorang anak yang terus berjalan dengan beban yang cukup berat di kepalanya, mungkin itu yang meyebabkan dia tidak mau berhenti , dia adalah Uyung. Karena waktu itu  saya dalam keadaan marah, saya tidak terlalu memeperdulikan ucapan si Uyung.
 
Keesokan harinya, hujan tidak berhenti sejak pagi mengguyur kota kecil di pesisir pantai utara sumatra tersebut. Sepulang sekolah saya menghabiskan waktu di rumah. Janji Uyung unutk bertemu sekitar jam dua tidak saya hiraukan, saya berfikir dia pasti ada dirumah karena hujan tidak berhenti dari pagi. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar " Assalamu'alaikum " seru seorang anak dan saya kenal suara itu. Saya kemudian membuka pintu " wa'alaikum salam, ada apa Dar " tanya saya kepada Iskandar yang datang dengan membawa ikan dalam ember kecil. " Ini ikan yang dipesan ibu kamu tadi pagi, tapi adanya cuma sedikit, soalnya dari kemaren badai di laut lagi mengamuk jadi banyak yang tidak pergi melaut." jawab Iskandar. " Oh ya sudah letakan disana saja nanti saya bawa kebelakang, uangnya nanti saja yah, ibu lagi nggak ada " kata saya sambil menggeser ember tersebut kebelakang pintu
 
" oh ya Yan si Uyung sudah nunggu kamu dari jam setengah dua,  saya sudah  bilang pasti kamu gak bakalan datang karena hujan tapi dia tetap disana katanya dia sudah janji nunggu kamu disana , gak tau sampai kapan, sekarang sudah jam setengah lima berarti sudah tiga jam loh , kasihan dia" seru Kandar sambil permisi pulang. Saya mengambil payung dan bergegas pergi kebelakang masjid seperti janji Uyung kemaren. Sesampai disana Uyung terlihat berdiri letih karena terlalu lama menunggu " Layangannya sudah basah kena tampias air hujan, mungkin tadi waktu saya sholat ashar ada angin agak kencang jadi airnya kena layangan deh " sahut Uyung ketika melihat saya. Tidak ada kata-kata kasar keluar ketika bertemu karena telah lama menunggu , sebaliknya justru dia lebih menyalahkan diri sendiri.
 
"Ya sudahlah, lupain saja, saya kesal kemaren karena kamu mengambil gak pake ngasih tahu dulu sih " kata saya menenangkannya. " Yan kamu tahu saya gak punya apa-apa, tidak punya uang yang bisa bagikan, tidak punya ilmu yang bisa di ajarkan. Apalagi yang bisa di banggakan. saya hanya mampu menggenggam amanah yang telah di ucapkan, mungkin cuma itu saja yang tersisa." katanya dengan sorot mata yang tajam. Beberapa saat kami terpaku diam , bersandar dinding masjid belakang menatap air hujan yang telah membasahi jiwa kami.
 
"Eh kok ngalamun, kamu belum jawab pertanyaan saya !" tanya Uyung mengagetkan saya dalam lamunan masa kecil dulu. Angkot masih terus berjalan tersendat, merayap keatas puncak, tempat peristirahatan orang-orang kaya dari Jakarta. " Saya belum menikah, rencananya sih tahun depan, kamu pasti di undang deh, telat banget yah " jawab saya santai. Ketika memasuki sebuah jalan kecil menuju arah lembah di Cipayung Angkot tersebut berhenti mendadak " Kenapa berhenti?" tanya saya. " Itu anak saya didepan sekolah sedang menunggu saya" jawab Uyung sambil menepikan angkot tersebut dan kemudian turun menghampiri anaknya. Saya mengikuti dari belakang.
 
" Ramli jam segini sudah pulang , kenapa gak langsung kerumah naik angkot lain kan banyak ?" tanya Uyung kepada anaknya " pulang dari jam setengah sembilan soalnya guru ada rapat terus tadi kan ayah kan menyuruh Ramli tunggu disini, kata ayah jangan kemana-mana kalau ayah belum datang" jawab anak itu dengan polos " iya itu kalau Ramli pulang seperti biasa jam sebelas, Ramli jadi kelamaan nunggu ayah deh" sahut Uyung kepada anaknya. Saya mengangkat anak itu dan memangkunya " Sifat ayahnya sekarang menurun kepada anaknya. Orang-orang yang memegang janji, inilah warisan para nabi" kata saya sambil membawa anak itu masuk kedalam angkot.
 
Itulah kunjungan terakhir saya enam tahun yang lalu ke rumah Uyung di Cipayung Bogor. Setelah itu dia sering berpindah-pindah tempat tidak menentu, tidak ada khabarnya sampai sekarang, Hari ini secara tidak sengaja album lama tentang persahabatan,  terbuka kembali. Banyak kisah yang tidak terperi, tentang sebuah kesetian, keikhlasan, pengorbanan, dan kasih sayang. Kemudian waktu menjarah semuanya, kami pun berpencar kesegala penjuru mencari karunia Allah yang tidak pernah berhenti menetes kedalam sanubari.
 
Tahun 1986 ketika saya harus berangkat kejakarta, semua sahabat telah menyalami satu persatu, memohon doa dan restu dan harapan agar bertemu kembali kecuali Uyung. Dia tidak ada diantara mereka. Menjelang keberangkatan dia tetap tidak muncul. Ketika Bis sampai keterminal untuk mengambil sisa penumpang, seorang anak muncul di balik jendela bis " Yan , maaf terlambat tadi nyari benda ini gak ketemu-temu eh gak taunya ada dibawah tempat tidur " kata anak itu yang  tidak lain adalah Uyung "ini dompet bekas mendiang ayah dulu , dikasih ibu sama saya, tapi kamukan tahu saya gak pernah punya uang jadi buat kamu saja lah anggap oleh-oleh dari saya, jangan pernah lupakan saya yah" katanya sambil menjauh karena Bis akan segera berangkat. Menuju negeri yang selalu menjadi harapan orang-orang desa, Jakarta.
 
Salam
 
David Sofyan

Jumat, 04 Desember 2009

Nasehat Dari Anak-Anak Yang Tegar

 
Lama anak saya  memandang kearah wajah saya yang sedang menonton berita pagi di televisi. Dia tidak perduli dengan apa yang terjadi pada kotak ajaib tersebut. " Yah kok mata ayah berair , ayah nangis yah..?" tanyanya penuh selidik. Saya tidak berusaha menjawab, tapi memeluknya sambil mendudukannya di pangkuan. " Anak yang bernama Tegar itu harus tegar menghadapi dunia, menerima tanpa harus mengerti kebencian ayah tirinya yang menyebabkan kakinya terputus setelah di lindas oleh kereta api" kata pembawa acara di televisi. Sang ayah akhirnya di ganjar hukuman sepuluh tahun penjara sedangkan sang anak yang masih berumur empat tahun akan menanggung penderitaan tersebut seumur hidupnya.
 
Berbanding terbalik di Facebook saya mendapat kiriman berita lama yang di rekam lalu di sebar melalui media internet tentang seorang anak yang berusia enam tahun yang mengurusi semua keperluan ibunya mulai dari memasak, menyuapi , memandikan bahkan membuang kotoran ibunya karena sejak dua tahun yang lalu si ibu mengalami kelumpuhan karena terjatuh. Ayah sianak telah lama tidak pulang kerumah setelah beberapa tahun yang lalu pergi merantau ke Malaysia. Anak itu bernama Sinar dan hari itu, sinar sianak tersebut telah menyilaukan mata saya dengan amalnya, dengan cintanya dan dengan kasih sayang untuk ibunya.
 
Banyak para orang tua yang berharap bisa melahirkan seorang anak, tetapi tidak ada seorang anakpun yang meminta untuk dilahirkan, dia murni amanah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW mengatakan bahwa Warisan bagi Allah 'Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya. hadist ini di riwayatkan oleh HR. Ath-Thahawi. Namun Rasulullah juga menasehati yang diriwayatkan oleh Ibu 'Asakir bahwa anak bisa menyebabkan kedua orangtuanya menjadi kikir dan penakut. Pemenuhan masalah ekonomi memang menjadi salah satu penyebab kerenggangan didalam sebuah rumah tangga, baik itu dengan anak karena jarang berkomunikasi maupun dengan istri atau suami karena tuntutan-tuntutan yang diluar jangkauan.
 
Sesuatu yang memisahkan dan membedakan antara seorang anak dengan orang dewasa adalah waktu, sesuatu yang Allah pernah bersumpah atas namanya, bahwa kita berada dalam sebuah kondisi yang menyebabkan kita merugi kecuali orang yang beramal salih, al 'amilussholikhat. Kita adalah mantan anak-anak, sedangkan anak-anak adalah calon orang dewasa. Kesalahan sekecil apapun yang pernah kita lakukan pada masa kecil tidak layak kita wariskan kepada anak kita. Ukiran kebaikan orang tua yang tertanam didada kita harus kita buat lebih indah didada anak-anak kita. Melihat senyum tegar dengan kakinya buntung seperti ingin berteriak kepada saya " Tidak ada gunanya memberitahukan orang lain tentang kesulitan anda , sebagian dari mereka tidak perduli dan sebagian lagi justru senang mendengarkan keluhan anda tanpa mau berbuat apa-apa, tegarlah dan sandarkan hidup hanya kepada Allah"
 

 

Rabu, 02 Desember 2009

Tidak Selalu Pada Apa Yang Kita Mau

 
Hari itu cukup cerah terlihat seseorang melemparkan koran kedalam pagar rumah tetangga, setiap hari dia selalu rutin membawa surat kabar untuk para pelanggannya walaupun tidak pernah ada yang menanyakan khabarnya. Pada zaman modern seperti saat ini, transaksi memang tidak selalu harus bertatap muka. Banyak pedagang yang menjual barangnya dengan memberikan pelayanan yang memudahkan setiap pembeli untuk melakukan transaksi. disudut jalanan terlihat seorang ayah menarik tangan anaknya untuk sekolah, sedangkan si anak menangis dan bersikeras untuk tidak mau sekolah. " Aku gak mau sekolah ! , gurunya galak suka marahin aku" kata anak tersebut kepada ayahnya. " Memang kalau tidak sekolah kamu mau jadi apa nanti ? makanya kalau mengerjakan PR di rumah , bukan disekolah supaya tidak dimarahin guru, gimana sih !" balas sang ayah tidak mau kalah.
 

Di belahan duniamanapun kejadian seperti tadi pasti pernah terjadi, bahwa setiap orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya walaupun dengan cara yang sering sekali tidak disukai oleh sianak. Jarang kita temui ada orang yang memulai sesuatu dari sudut padang orang lain dan baru kemudian memberikan alternatif pandangan dari sisinya. Sebaliknya kita sering kali memaksakan apa yang kita anggap baik lalu mengeyampingkan pandangan orang lain atau paling tidak  mengiyakan tanpa menghiraukannya. Saya teringat sebuah buku cukup laris tentang pembentukan karakter dalam memahami orang lain oleh Dale Carneigie. Salah satu kiatnya menyebutkan bahwa agar kepentingan kita didengar maka mulailah berbicara atas nama kepentingan lawan bicara. Setelah dia mengetahui kalau kita telah memahami kepentingannya barulah kita menyampaikan apa yang kita inginkan.
 
Beberapa tahun yang lalu hal ini pernah saya terapkan tanpa sengaja. Sebuah kecerobohan yang membuat terjadinya tabrakan di perempatan lampu merah. Karena sedang terburu-buru, lampu kuning sebagai tanda akan munculnya tanda berhenti (merah) saya terobos. Di sebelah kiri arah melintang sebuah sepeda motor juga menerobos lampu kuning sebelum masuk lampu hijau. walaupun hanya berselang beberapa detik tapi kecelakaan tidak bisa dihindari dan orang tersebut bersembunyi di balik alibi lampu hijau yang sedang menyala, artinya dia melimpahkan kesalahan itu kepada saya.  Karena benturan yang cukup parah , pengemudi motor tersebut meminta ganti rugi sebanyak tiga ratus ribu rupiah., sedangkan uang yang ada di dompet saat itu hanya berjumlah lima puluh ribu rupiah. Sebenarnya keadaan saya jauh lebih parah dari pada bapak tersebut tetapi masalah tidak akan pernah selesai ketika semua orang berbicara mengenai keadaan dirinya
 

"Nampaknya kondisi kita sama-sama parah dan mungkin ini akibat kelalaian saya tapi saya tidak punya uang sebesar yang bapak minta. Saya hanya memiliki uang lima puluh ribu, tentu tidak akan bisa menutupi semua kerugian bapak dan bapak bisa saja memperkarakan hal ini kepada polisi untuk kemudian di buat berita acara dan mungkin saja uang lima puluh ribu ini hanya untuk mengurus biaya perkara, lalu kita berdua tidak mendapatkan apa-apa selain menunggu untuk diproses dan itu akan memakan waktu sedangkan kondisi kita tidak akan berubah. Saya serahkan semua kepada bapak " kata saya secara halus kepada bapak tersebut. Kemarahannya mulai mereda. Seringkali kemarahan membutakan mata dan membuat oarng tidak mau berfikir. Setelah saya lihat keteduhan di wajahnya, saya kemudian menyalami tangannya sambil memberikan uang  lima puluh ribu tersebut. Mungkin saja masih ada rasa kesal yang tersisa , tetapi tidak ada terucap sepatah katapun ketika saya meninggalkannya di lokasi tersebut
 

Segelas ilmu belum tentu lebih besar nilainya dengan setetes amal, setiap hari dalam keadaan apapun belajarlah untuk tetap terus berkembang dan beramal. Andre Gide mengatakan dalil tentang mengenali diri bisa menyesatkan tanpa mengenali potensi yang bisa menghambat perkembangan karena seekor ulat yang sibuk mengenali dirinya tidak akan pernah berubah menjadi kupu-kupu. Orang yang selalu memikirkan dirinya sendiri tidak akan pernah di pikirkan oleh orang lain dan ketika dia menyampaikan apa yang dia pikir maka orang akan mengira dia sedang bergumam untuk dirinya sendiri.
 
Akhlak memang menempati cerita tersendiri dalam bab kehidupan seorang muslim kepada siapapun. Rasulullah SAW pernah bersabda
"Sesungguhnya Allah membenci orang yang berhati kasar (kejam dan keras), sombong, angkuh, bersuara keras di pasar-pasar (tempat umum) pada malam hari serupa bangkai dan pada siang hari serupa keledai, mengetahui urusan-urusan dunia tetapi jahil (bodoh dan tidak mengetahui) urusan akhirat." (HR. Ahmad) dan "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (pada hari kiamat) dari akhlak yang baik." (HR. Abu Dawud)
 

 

Selasa, 01 Desember 2009

Efek Larangan

 
 
Banyak perubahan yang terjadi di muka bumi ini berasal dari keingin tahuan. Rasa ingin tahu mengenai angkasa luar telah membuat orang terbang dan meneliti kesana , inilah yang menjadikan sesuatu yang tidak mungkin pada masa lalu telah menjadi kenyataan. Pemicu paling responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan memang adalah rasa ingin tahu. Tetapi disisi lain rasa ingin tahu terkadang harus membentur larangan-larangan yang dimaksudkan untuk mencegah keburukan yang di timbulkan rasa ingin tahu tersebut, namun semakin dilarang, orang cenderung semakin penasaran dan ingin tahu mengapa hal tersebut dilarang.
 
Dalam sebuah anekdot di ceritakan Pak Saman mempunyai usaha jual beli kambing dan untuk itu dia membuat papan reklame yang berbunyi " Di jual Berbagai Jenis Kambing " dengan gambar kepala kambing  sebagai latar belakang tulisan. Anak-anak sekolah yang biasa lewat sewaktu pulang sering sekali menjadikan gambar kepala kambing tersebut sebagai sasaran lemparan ketapel. Pak Saman sering melarang dan marah kepada mereka tetapi semakin dilarang anak-anak tersebut semakin sering menjadikan papan rekalame tersebut jadi sasaran tembak. Karena kewalahan Pak Saman meminta nasehat kepada Pak Zainudin ustadz muda yang juga merupakan guru mengaji sebagian dari anak-anak tersebut. Pak Zainudin bersedia menasehati anak-anak tersebut tetapi disamping itu Pak zainudin juga memberikan ide pemecahan masalah kepada Pak Saman. Ke esokan harinya tiba-tiba terpampang sebuah papan beberapa meter di samping papan reklame Pak Saman  yang berbunyi " Dilarang Melempar Pada Papan  Ini " dengan  gambar sapi sebagai latar balakang. Melihat hal ini anak-anak sekolah tadi justru memindahkan objek sasaran tembak pada papan baru tersebut. Sejak saat itu papan reklame Pak Saman tidak pernah diganggu.
 
Sifat penasaran memang membutuhkan penyaluran bukan penahanan, itulah mengapa semakin MUI melarang peredaran film "2012" film tersebut justru semakin laku, Hal yang sama pernah terjadi dengan majalah " Playboy" . Efek psikologis ini takutnya justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda sehingga akan muncul sensasi-sensasi baru yang sengaja di kontroversialkan untuk memancing MUI. Banyak orang yang tadinya tidak mengenal Miyabi justru jadi mengenal karena telah  membeli kaset atau CD film porno tersebut. Maksud baik belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Lalu apakah itu berarti kita diam saja ketika ada kemungkaran yang terjadi didepan mata kita ? tentu saja tidak , akan tetapi pastisipasi kita dalam mencegah kemungkaran harus disertai dengan antisipasi, dan itu sangat tidak mudah dilakukan.
 
Di negara kita yang tercinta ini orang yang beragama Islam jauh lebih banyak daripada orang yang mengenal agama Islam. Orang yang mengenal jauh lebih banyak daripada orang yang mempelajarinya, dan orang yang mempelajarinya jauh lebih banyak daripada orang yang mengamalkannya. Ketika ada yang mengatakan bahwa negara Indonesia adalah mayoritas umat Islam tentu kita akan mengerti arah maksud si pembicara adalah yang pertama tadi, apalagi jika yang berbicara adalah non muslim. Dari sini kita akan mengerti bahwa kekurangan terbesar umat ini adalah ilmu. Berbicara dengan ilmu, berbuat sesuatu dengan ilmu, menasehati dengan ilmu , bahkan bersabarpun harus dengan ilmu.
 
Beberapa hari yang lalu, didepan rumah seorang ibu melarang anaknya bermain pasir didepan rumahnya. Anaknya yang masih berusia tiga tahun sedang asyik membuat rumah dari pasir " Andi jangan main pasir didepan rumah nanti kotor loh !" sahut sang ibu dari dalam rumah sambil terus memasak didapur . Tidak beberapa lama kemudian dia di kagetkan karena anaknya sedang membuat rumah dari pasir tersebut diruang tamu. Kita sepertinya telah lama meninggalkan pengajaran dengan contoh, sebaliknya kita justru sering melontarkan pernyataan negasi berupa larangan ketimbang anjuran. Sebenarnya kita telah mendapat sedikit contoh dalam merubah kalimat negasi menjadi kalimat apresiasi seperti yang awalnya " Dilarang Merokok " menjadi " Terimakasih Untuk Tidak Merokok " . Memang tidak banyak hasil yang didapat tetapi memulai sesuatu dari hal kecil seperti merubah cara penyampaian mengandung sedikit nilai pendidikan, sedikit nilai ahlak, sedikit nilai kesopanan yang suatu ketika diharapkan secara perlahan-lahan bisa merubah tingkah laku, Insya Allah
 

 

Kamis, 26 November 2009

Lubang Di Hati

"Mengingat keburukan dua kali lebih kuat dari pada mengingat kebaikan" begitulah kira-kira kata salah satu buku mengenai dampak berbuat buruk. Saya teringat dulu seorang satpam marah kepada saya karena merasa jalan yang dilalui oleh kendaraannya terhalang oleh sepeda motor saya. Parkiran di depan masjid tersebut memang tidak begitu lebar tetapi motor yang dimaksud bukanlah milik saya. Kebetulan waktu itu saya berada di samping motor tersebut saat sedang menerima telepon dari seorang teman, tiba-tiba terdengar suara membentak " Hei Mas, kalo parkir jangan sembarangan dong, itukan jalan lewat pengurus masjid, tolong pinggirin  motornya ! " teriak satpam tersebut. Saya terhenyak dan kesal  , tetapi saya membantu meminggirkan motor tersebut dan tidak melayaninya karena saat itu masih online dengan teman dan berusaha menghilangkan amarah dengan becanda dengan teman diseberang telepon. Setelah hari itu setiap bertemu dengannya yang teringat hanyalah muka marahnya walaupun saat bertemu dia sedang tersenyum, dan ingatan tersebut muncul begitu saja tanpa direkayasa.
 
Sewaktu pertama kali bekerja dahulu seorang teman sering mengirim email berisi artikel-artikel islami dan salah satu dari artikel itu bercerita tentang akibat perbuatan buruk. Dikisahkan seorang bapak mempunyai seorang anak yang nakal dan tidak pernah mau menurut nasehat orang tua. Karena kesal sang Bapak mendirikan tiang kayu didepan rumah. Setiap sang anak berbuat kejahatan maka sang bapak memaku kayu tersebut dan tidak ada yang mengerti maksud dari sibapak kecuali Ibunya. Beberapa tahun kemudian ketika sang bapak meninggal dunia , tanpa sengaja atau baru sadar anak tersebut melihat tiang kayu didepan rumah yang di penuhi oleh paku, lalu dia bertanya kepada ibunya maksud dari tiang kayu tersebut.
 
" Amanah dari Bapakmu jika kamu telah insyaf dan berbuat baik maka cabutlah satu paku setiap kamu berbuat satu kebaikan kepada orang lain sebagai ganti keburukan yang kamu perbuat" kata sang ibu mengingatkan. Waktu telah mengubah segalanya, doa dari orang tua telah membuat Allah ridho sehingga memberikan hidayah kepada anak tersebut. Sejak hari itu dia berusaha berbuat baik kepada siapapun dan tercabutlah paku dari tiang tersebut satu persatu. Ketika paku telah habis dari tiang tersebut , sang ibu kemudian menghampirinya " Nak kamu telah banyak berubah , kamu juga telah berhasil mengimbangi segala keburukanmu dimasa lalu dengan kebaikan yang telah kamu perbuat dan  kamu juga mungkin telah dimaafkan tapi bekas yang telah kamu perbuat akan membekas selamanya dihati orang-orang yang pernah kamu lukai  seperti kayu itu , walaupun kamu telah berhasil mencabut paku dari tiang itu tapi kamu tidak bisa menghilangkan bekas lubang yang di tinggalkannya, apalagi lubang dihati anakku" kata ibunya dengan penuh kasih sayang.
 
Cerita diatas seperti menyadarkan saya bahwa mendapatkan maaf bukanlah menghilangkan apa yang pernah kita perbuat tapi menghilangkan dosa dari apa yang telah kita perbuat namun secara psikologis dampak itu akan terus terasa. Sebagai contoh jika ada orang menabrak orang lain sampai  kakinya patah, kemudian dia minta maaf dan orang tersebut memaafkan lalu apakah kakinya kembali normal dengan memaafkan tentu tidak , kemudian jika setelah memafkan lalu sering muncul perasaan sedih ketika melihat kakinya dan kembali mengingat orang yang menabraknya , apakah dia berdosa ? apakah kata maaf sudah bisa menggugurkan segala hukuman ? termasuk kesedihan yang akan di timbulkan ? tentu ini menjadi renungan kita bersama
 
Orang yang berbahaya bukanlah orang pada lingkungan tertentu tetapi orang yang memiliki sifat-sifat tertentu yang dengan sifat tersebut dia tidak bisa mengendalikan dirinya. Sifat yang dimaksud adalah sifat buruk seperti marah, dendam, iri , dengki dan berbagai sifat lain yang kita tidak pernah meminta untuk di anugrahkan kepada kita tetapi tetap di amanahkan. Kita tidak akan pernah mendengar ada seorang ulama yang berdoa agar di hilangkan dari sifat buruk karena itu melanggar fitrah. Ketika semua orang menyalahkan nafsu birahi sebagai penyebab zina lalu Allah mencabut nafsu ini dari hati seluruh manusia maka akibatnya kita tinggal menunggu waktu kepunahan . Pengendalian dan penempatanlah yang diinginkan olehNya.
 
 

Rabu, 18 November 2009

Surah Al Maa'un Ayat satu, Kita-kah ? ( hanya sebuah renungan kecil )

Diantara rintik hujan yang mengantar senja ke tempat peristirahatannya , semilir angin berhembus menerpa wajah-wajah letih di jalanan membuat  orang enggan untuk keluar rumah. Genangan-genangan air mulai muncul di jalan-jalan beraspal yang tidak lama lagi akan memantulkan cahaya lampu-lampu jalan menandakan malam segera datang. Disudut jalan seorang anak kecil masih asyik memainkan mobil-mobilan bekas yang di perolehnya tadi siang dari tempat sampah. Ibunya masih tertidur disampingnya, atap-atap lebar rumah dan lebatnya pohon melindungi mereka dari sapuan air hujan, di sudut lain tampak beberapa pengemis dan pemulung juga mulai merebahkan diri. " Allahu Akbar..Allahu Akbar" kumandang adzan maghrib terdengar saling bersautan dari corong-corong spiker masjid, suarayang mengajak orang menemui Sang khaliq penciptanya.
 
" Bu..bu..itu udah adzan mau sholat gak?" teriak anaknya membangunkan sang ibu, tapi ibunya masih terus tertidur. Anak itu diam , lalu kemudian meneruskan bermain mobil-mobilan. Setelah hampir setengah jam asyik bermain , anak tersebut kembali membangunkan ibunya " Bu....bu...,...ibu gak sholat......bangun dong bu...angga lapar nih !!" teriak anaknya, tapi ibunya masih tetap tertidur, tidak bergeming sedikitpun. Karena keletihan membangunkan ibunya tetapi tidak ada hasil anak itu kemudian tertidur disamping ibunya. Anak itu berusia lima tahun dengan badan kurus dan lusuh, sedangkan ibunya berusia sekitar tiga puluh tahun dengan wajah kurus pucat seperti orang sakit keras. Tidak beberapa lama adzan Isya berkumandang. Hujan semakin deras, jalanan tampak sepi, Anak itu terbangun sambil meringis karena merasa lapar. Dia bangun lalu berlari kearah masjid di seberang jalan, kemudian menengadahkan tangan kepada jama'ah masjid yang hendak melaksanakan sholat. Anak itu telah terbiasa mengemis di depan masjid dan di persimpangan jalan, tetapi malam itu tidak satupun jama'ah yang memberikannya uang. Dia terus meringis menahan sakit perut yang belum terisi sejak pagi karena ketika siang hari ibu nya muntah-muntah lalu kemudian tidur dan belum bangun sampai malam itu.
 
" Aro'aitalladzi yukajjibu biddin, fadza likalladzi ya du'uul yatim wa la yaa khuddu 'alaa thoo 'amil miskin" terdengar suara imam membaca surat Al Maa'un dari dalam masjid tentang para pendusta agama. Semua jama'ah hafal ayat itu tapi sama seperti nasib anak di luar masjid itu surah Al Maa'un tersebut terlantar di sudut ingatan. " Iqra !" kata malaikat jibril kepada Muhammad SAW, tidak ada kitab disana , Rasulullah SAW pun tidak bisa membaca, lalu apa yang mesti di baca ? " Iqra bismirabbikalladzi khalaq" bacalah dengan menyebut nama Tuhan Sang Maha Pencipta, surah itu seperti berteriak kepada kita "bacalah sekelilingmu, bacalah keadaan lingkunganmu, baca dan berkacalah pada alam semesta dan tunjukan kepedulianmu" dan kita hanya tertunduk sambil terus membolak-balik kitab suci.
 
Anak itu belari kembali kepada ibunya sambil menangis menahan sakit, tubuhnya basah oleh air hujan, air yang bagi mahluk lain menjadi rahmat, tetapi baginya menjadi seperti sapaan Tuhan terakhir kepadanya, dia tertidur sambil memegang perut didada ibunya. Kedua ibu dan anak itu pada pagi harinya di ketemukan warga telah meninggal dunia, meninggalkan derita yang dideranya , meninggalkan para pendusta agama yang tidak pernah mau menyapanya.
 
Salam
 
David
 
Note :
 
Ketika malam nanti hujan menghampiri kita, disaat kita berkumpul bersama keluarga dan merasakan kehangatan, maka sesekali ambillah payung lalu keluar rumahlah, carilah rintihan disudut-sudut jalan, di halte-halte bis , sapalah mereka , redakan ketakutan di hati mereka berbagilah sedikit. Jika kokohnya rumah kita masih membuat takut anak anak kita ketika mendengar halilintar , lalu bagaimana dengan teriakan anak-anak tanpa atap tersebut, siapa tahu senyuman kita mampu mengusir galau dan resah di hati mereka lalu perlahan-lahan bisa melunturkan stempel pendusta agama di kening kita

Senin, 16 November 2009

Seperti Gas, Beban Tergantung Wadahnya

Ahad pagi , sekitar jam enam sampai jam delapan,  jalanan tampak masih sepi di komplek perumahan yang sebagian warganya adalah karyawan pada suatu instansi baik itu swasta maupun negri. Tidak banyak terlihat aktifitas diluar rumah dan ini berbeda dengan hari kerja, dimana rutinitas telah menjadikan manusia bergerak secara otomastis menuju sumber matapencarian. " Bal main sepeda yuk " ajak Raihan kepada adiknya Iqbal. Baru saja mereka akan mengeluarkan sepeda dari dalam pagar tiba-tiba pot bunga yang agak besar terjatuh " Bal tolong pindahin pot bunga itu, biar aku yang ngeluarin sepedanya " Pinta Raihan. Beberapa saat kemudian tampak Iqbal berusaha memindahkan pot bunga tersebut dengan kesusahan. Didalam pagar kakaknya Raihan yang biasa di bantu adiknya Iqbal juga tampak kesusahan mengeluarkan sepeda. Berat pot bunga dan sepeda memang berbeda tapi kesulitan yang di timbulkannya sama karena kapasitas orang yang mengangkatnya hampir sama beratnya dengan benda yang diangkat.
 
Setiap manusia pernah menghadapi masalah dan tingkatan masalah setiap orangpun berbeda satu sama lain. Apa yang dianggap berat oleh seseorang bisa jadi mudah bagi orang lain. Beban pot yang diangkat oleh Iqbal pasti dianggap ringan oleh Raihan yang berusia 8 tahun, tetapi sebaliknya beban sepeda jika di pikulkan akan semakin berat bagi Iqbal yang masih berusia 5 tahun. Beban hidup yang menjadi masalah setiap orang terus berubah seiring dengan perubahan dirinya, baik itu perubahan fisik, perubahan pengetahuan, perubahan keimanan maupun perubahan ketrampilan. Tanpa beban seseorang tidak bisa merasakan perubahan yang ada pada dirinya. Tetapi dengan beban semua kendala tampak menjadi masalah, karena beban memang selalu terkondisi berada pada sisi negatif dalam hidup.
 
"priiiiiittt" tiupan pluit Pak Agus terus menemani hari-harinya sebagai polisi lalu lintas. " Sangat sulit membangun imej seorang diri, karena polisi adalah sebuah pekerjaan yang berada pada sebuah sistem. Jabatan ini di pandang begitu menakutkan. Setitik nila sudah bisa menghancurkan segelas susu, tetapi setitik susu tidak bisa merubah bentuk segelas nila " Kata Pak Agus sambil menarik nafas panjang memikirkan sikap sinis masyarakat dengan jabatan yang di pikulnya. Posisi ditakuti menjadi beban bagi polisi yang ingin mengabdi kepada masyarakat, sebaliknya sikap di takuti justru membanggakan bagi para preman yang banyak memeras dan meresahkan masyarakat.
 
Kita beralih kesisi lain, beberapa tahun lalu Pak Ismet yang bekerja sebagai pedagang eceran kebutuhan rumah tangga mengeluh dengan beban biaya rumah tangga sewaktu dagangannya lesu, ketika usahanya menginjak usia sepuluh tahun Pak Ismet telah berubah menjadi distributor alat-alat rumah tangga dan sewaktu tertimpa krisis Pak Ismet mengeluh dengan modal yang terpakai untuk membayar gaji pegawai. Bebannya tidak lagi hanya menafkahi keluarga tetapi juga karyawan, sama besarnya dengan amanah yang di titipkan Sang pemberi beban.
 
Berbeda dengan Pak Agus dan Pak Ismet, Pak Beny yang pegawai swasta dan berpenghasilan dua juta rupiah sebulan sering mengeluh karena tidak bisa menabung untuk membeli rumah karena gajinya setiap bulan hanya pas untuk kebutuhan sehari-hari. Sewaktu terjadi krisis ekonomi, perusahan tempatnya bekerja gulung tikar dan Pak Beny berhasil mendapatkan pekerjaan di tempat lain dengan penghasilan lebih rendah, tetapi kebutuhan rumah tangganya tetap tertutupi, masalah yang dikeluhkannya tetap satu yaitu belum mampu membeli rumah. Ternyata kebutuhan sehari-harinya di pangkas dan disesuaikan dengan gaji yang di terimannya. Ketika saya tanya mengapa dahulu kebutuhannya tidak dipangkas sewaktu gajinya lebih baik dari sekarang buat tabungan membeli rumah, Pak beny hanya tersenyum dan mengatakan bahwa rasa cukup itu selalu berfluktuasi sesuai dengan penghasilan yang di pegang. Mungkin maksudnya rasa cukup dan mencukupkan itu berbeda. Apapun jawabannya Allah telah menetapkan beban seseorang itu sesuai dengan kemampuannya. Mudah untuk mengatakannya tetapi sulit itu menyakininya apalagi sewaktu kesulitan mendera kita.
 
"Yah mau ngajak Isa ke dokter atau mau melayat kerumah Pak Gusman kemaren sore istrinya meninggal dunia, dananya tinggal segini  nih " kata istri mengingatkan bahwa dana sangat minim dan tidak mungkin dibagi dua, karena kita pasti maklum biaya ke dokter anak cukup mahal mengingat penyakitnya adalah penyakit dalam yaitu ada flek di paru-paru. Teringat sedikit dana cadangan di Bank minggu lalu di pinjam teman untuk menikah " Ya sudah kita silaturahmi dulu ke rumah Pak Gusman lalu kerumah sakit, masalah menyumbang kita wakilkan saja lewat doa, bagaimana lagi kondisi belum memungkinkan " jawab saya sambil menghitung hari, ternyata gajian masih lama, sedangkan kita masih harus bertahan......ahhh... hidup memang pilihan.
 

 

Senin, 09 November 2009

Investasi Pada Sebuah Doa

Hujan yang mengguyur desa Tirta Sari selama beberapa hari telah membuat Pak Somad berhenti berdagang es krim keliling dan berganti menjadi penjual bajigur hangat. Hempasan angin dingin disertai hujan pada sore hari membuat desa tersebut seperti desa mati karena tidak seorangpun terlihat keluar rumah. Pak Somad masih terus mendorong gerobak bajigurnya yang masih tersisa separuh setelah berjualan di desa Ambara sekitar satu kilometer dari desa Tirta Sari. " Masih jualan kang ? hari udah mau gelap tuh, apalagi hujan belum berhenti dari tadi " sahut Arman tetangga Pak Somad yang baru pulang dari warung Pak Rangga, satu-satunya warung yang masih buka saat itu. " Yah mau gimana lagi Man, dagangan masih sisa banyak nih " jawab Pak Somad samabil terus mendorong gerobaknya kearah warung.
 
Sebuah mobil Honda CRV berhenti tepat didepan warung Pak Rangga, dimana Pak Somad sedang duduk santai untuk melepas lelah disana. "Assalamu'alaikum" sahut seorang Bapak seusia dengan Pak Somad dan Pak Rangga. " Wa'alaikum Salam" jawab mereka serempak. " Wah , wajah Pak Rangga dan Pak Somad tidak banyak berubah nih , masih kelihatan awet muda" sapa Bapak tadi. " Pak Rahmat ya, apa khabar juga hampir lima tahun tidak pulang kampung ternyata banyak yang berubah, tambah makmur rupanya" sahut Pak Rangga disertai anggukan Pak Somad tanda setuju. " Kok istri dan anaknya gak di bawa Pak " tanya Pak Somad. Walaupun umur mereka hampir sama tapi penampilan Pak Rahmat jauh lebih tua dengan rambut yang sudah hampir memutih semua. " Istri saya sudah meninggal tiga bulan yang lalu sedangkan anak-anak sudah menikah semua, yang satu jadi dokter dan yang satu tinggal bersama suaminya di Kanada, dapat orang luar Pak" jawab Pak Rahmat pelan. " Kalo Pak Somad gimana nih, dengar-dengar anaknya ada tiga yah , sudah nikah semua belum ?" balas Pak rahmat bertanya " Dua sudah, yang satu masih sekolah, mungkin tahun depan lulus. Kakaknya yang sudah menikah dua-duanya jadi guru agama, maklumlah dua-duanya tamatan pesantren " Jawab Pak Somad sambil tersipu malu membandingkan dengan kedua anak Pak Rahmat. " Wah Pak Rahmat an Pak Somad beruntung mempunyai anak, saya sampai sekarang belum juga di amanahi anak sama Allah" sahut Pak Rangga yang dari tadi hanya mendengar. Ketiga orang itupun larut dalam perbincangan sambil minum bajigur hangat milik Pak Somad.
 
Hujan terus mendera bumi tanpa henti, suara halilintar mulai saling sahut menyahut berpacu dengan terbenamnya matahari. Malam itu setelah sholat Maghrib Kiayi Lutfi memberikan wejangan karena hampir semua jama'ah tidak ada yang pulang dari musholah. Di kampung tersebut memang sehabis sholat Maghrib, warga telah terbiasa memanfaatkan waktu untuk berdzikir dan membaca Al Qur'an sambil menunggu waktu sholat Isya, apalagi hujan semenjak siang belum juga berhenti. Wajah Pak Rahmat yang baru terlihat setelah lama menghilang menjadi perhatian jama'ah yang rata-rata adalah teman seangkatannya. Kiayai Lutfi sebagai guru ngaji mereka dulu menjadi tempat curhat Pak Rahmat. Berbagai pertanyaan mengenai kehidupannya di tanyakan kepada guru ngajinya tersebut.
 
" Anak-anak saya memang berhasil karena hidup berkecukupan tetapi mereka jarang mengerjakan perintah agama, mereka larut dalam keduniaan. Sewaktu istri saya meninggal sekitar tiga bulan yang lalu, jenazah istri saya di sholatkan dan didoakan oleh orang lain dan bukan oleh anaknya sendiri, sejak itulah saya merasa telah salah mendidik anak, tidak banyak yang bisa saya harapkan dari mereka ketika saya harus mengahiri hidup saya nanti, karena sekarang mereka telah hidup dengan keluarga masing-masing, nasehat sayapun jarang didengar, paling saya hanya bisa berdoa agar mereka mendapatkan hidayah dari Allah" keluh Pak Rahmat. Suasana jadi hening, Kiayai Lutfi mulai berbicara kepada para jama'ah " Para jama'ah semua apa tujuan kita hidup ?"
 
"Untuk beribadah kepada Allah" jawab jama'ah mushollah serempak, " Benar, seperti itulah yang disyariatkan oleh agama kepada kita dan jenis ibadah itu ada dua yaitu ibadah mahdoh dan ghairu mahdoh, atau bersifat ritual dan bersifat muamalah , umum dan kemasyarakatan dan yang harus di tekankan karena banyak yang lupa bahwa ibadah muamalah bertujuan agar supaya ibadah ritual semakin khusyuk. Kita di suruh berusaha mencari nafkah dan jika di niatkan hal itu adalah ibadah tetapi tujuan dari mencari nafkah adalah untuk menjadikan ibadah ritual seperti sholat menjadi nyaman bukan malah melalaikan apalagi melupakan sholat, sangat tegas Allah mengatakan dalam surat Thaaha ayat 14, innani anallahu laaila haillaa ana fa'budini aqimissolata li dzikri , 'sesungguhnya Aku ini Allah tiada Tuhan Selain Aku maka sembahlah Aku dirikan sholat untuk mengingatKu', selanjutnya kelebihan hasil dari penafkahan tersebut digunakan untuk ibadah zakat dan ibadah haji, begitu seterusnya, jadi bukan asal ibadah, seperti kebutuhan primer dan sekunder, ibadahpun punya skala prioritas" kata kiayi Lutfi dengan mimik muka serius.
 
"lalu kesimpulannya untuk apa kita mencari nafkah ?" tanya kiayi Lutfi kembali menegaskan, karena dia merasa ada yang tidak menangkap dari apa yang baru saja di paparkannya " Agar bisa membahagiakan keluarga " sahut salah seorang jama'ah di belakang. Kiayi Lutfi kembali menarik nafas panjang, "ehmmm seperti saya duga kalian masih belum mengerti, tujuan mencari nafkah adalah agar memudahkan kita beribadah kepada Allah, seperti ibadah menafkahi keluarga , memberi makan fakir miskin, mengayomi anak yatim, berkurban, berzakat , bersedekah, berhaji, karena jika hanya untuk membahagiakan keluarga itu berarti kita telah mempersempit rezeki Allah dan memaknai kebahagian hanya dari harta semata, hampir sama seperti kita menanyakan kepada anak kita , untuk apa mereka sekolah ? lalu ada yang menjawab agar mudah mendapat pekerjaan, padahal mendapatkan pekerjaan hanyalah dampak dari ilmu yang dimiliki yang didapatkan dengan bersekolah" kata kiayi Lutfi menerangkan dengan tenang.
 
Pak Rahmat yang dari tadi hanya diam mulai bertanya, " Pak Kiayi, terus tujuan kita punya anak buat apa pak, kemaren saya tanya sama teman katanya untuk meneruskan keturunan, nah meneruskan keturunan untuk apa ? , maksudnya manfaatnya apa setelah kita tiada ? jika dikatakan untuk bisa merawat kita ketika sudah tua , saya dengan tabungan yang saya miliki bisa mencari perawat yang bisa merawat saya untuk menghabiskan sisa umur saya, apakah hanya sekedar untuk berbangga-bangga ? " tanya Pak rahmat yang lebih mirip sebuah pernyataan ketimbang pertanyaan, mungkin wujud kekecewaannya dengan anaknya yang meninggalkan ajaran agama.
 

Kiyai Lutfi hanya tersenyum karena menyadari kondisi yang dialami Pak Rahmat "mari kita lihat surat Al Hadiid ayat 20 yang hampir senada dengan surat Al Kahfi ayat 46, 'Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu, (QS 57:20)" Kiayi Lutfi kemudian diam sesaat, dia berusaha mencari kata yang tepat untuk disampaikan kepada jama'ah agar mudah di pahami .
 
" Secara umum kita dianjurkan memperbanyak keturunan agar bisa memperkuat barisan dalam menegakkan panji-panji agama Allah, menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin, secara khusus mempunyai keturunan adalah untuk membela dan mendo'akan kita kepada Allah, bukankah hadist bekal menuju pintu kubur sudah sangat terkenal, bahwa amalan yang sampai kepada ahli kubur hanya 3 yaitu ilmu yang bermanfaat, shodaqah jariyah yang masih terasa manfaatnya sampai kita telah tiada dan yang terakhir adalah doa dari anak yang sholeh, didalam bahasa arab anak berarti keturunan seperti bani Adam , yaitu anak keturunan Adam artinya anak yang sholeh tidak hanya anak kandung tetapi juga cucu, cicit  dan terus kebawah yang jelas ada andil kita dalam menghujamkan kalimatullah didada mereka, atau kasarnya kita turut dalam menumbukan keimanan di hati mereka" kata Kiayi Lutfi menutup pengajian malam itu karena waktu sholat Isya telah masuk.
 
Hujan baru berhenti keesokan harinya. Sawah milik petani banyak yang tergenang air hujan, sungai-sungai meluap sampai kejalanan. Musibah mengalami Pak Somad, jembatan yang dilalui sewaktu berkeliling jualan bajigur hanyut terbawa air sungai, Pak Somad tidak sempat menghidar dan ikut terbawa hanyut oleh derasnya air. Pak Somad meninggal dunia setelah kelelahan melawan arus yang menyeretnya ketengah sungai, para penolong yang melihat kejadian tersebut tidak sempat menyelamatkan nyawanya.
 
Jenazah Pak Somad di bawa kerumah dan anak-anaknyalah yang kemudian menyiapkan prosesi pemakaman mulai dari memandikan jenazah sampai mensholati nya. Kiayi Lutfi memimpin doa terakhir bagi jenazah sekaligus muhasabah bagi calon-calon penghuni kubur didepannya. Pemakaman pun berlangsung khidmat. Setelah selesai prosesi pemakaman Pak Rahmat mendatangi kedua anak Pak Somad yang tertua untuk minta ijin membiayai sekolah adik mereka yang masih belum selesai, bahkan Pak Rahmat berjanji setelah selesai sekolah maka biaya kuliah di kota semua akan di tanggung olehnya. Pak Rahmat menjadikan anak Pak Somad sebagai anak asuhnya , anak yang diharapkan bisa menyisakan doa untuknya disamping doa untuk kedua orang tuanya.
 
 

Rabu, 28 Oktober 2009

Kalau Sudah Begini, Kita Ini Adil Gak ?

Hari ini saya masih terus membaca salah satu bab dalam kehidupan yang bernama keadilan. Bab tersebut sering di salah pahami sebagai suatu sifat yang bernilai kuantitatif atau terukur yang searah, artinya seseorang bisa menuntut keadilan tanpa harus berbuat adil atau tanpa memperdulikan keadilan dalam hal lainnya. Sebagai contoh kita bisa menyaksikan para mahasiswa yang berdemonstrasi dan berteriak meminta keadilan kepada penguasa sambil berkonvoi di jalan raya, bukankah mereka juga tidak adil terhadap pengguna jalan ? atau para sopir yang mogok minta keadilan agar tarif bis dinaikan, lalu mereka berbuat tidak adil terhadap penumpang yang terlantar , apakah keadilan mempunyai tingkatan prioritas dimana tingkatan yang lebih penting bisa menghilangkan nilai keadilan yang dianggap kurang penting ?
 
Suatu ketika dalam pengajian, saya pernah bertanya kepada Ustad Abbas mengenai keadilan " Ustadz tolong gambarkan yang dimaksud dengan adil itu seperti apa sih , apakah bersifat relatif atau objectif ? " tanya saya. " Sederhananya adalah perlakukanlah orang lain sama seperti kita ingin di perlakukan, oleh sebab itu keadilan memang identik dengan kejujuran terhadap diri sendiri, berlaku tidak adil sama dengan berlaku tidak jujur pada diri sendiri walaupun tidak ada seorangpun yang sadar dengan ketidak adilan yang kita buat" kata Ustadz Abbas.
 
Saya teringat sewaktu masih kecil, paman memberikan uang lima ribu rupiah kepada saya untuk di bagikan secara adil dengan ke tiga adik . Saya seharusnya membagikan seribu dua ratus lima puluh rupiah perorang , tetapi pada waktu itu saya hanya memberikan seribu rupiah kepada adik-adik saya dengan anggapan bahwa saya adalah anak yang tertua dan uang itupun di berikan kepada saya tanpa memberitahukan besaran angka yang harus di bagikan kepada adik saya. Ketidaktahuan masalah membuat semua tampak wajar dan adil dimata mereka. Keadilan berasal dari dalam diri dan tidak kasat mata, sehingga untuk membuatnya terlihat kita gunakan perangkat yang disebut dengan hukum.
 
Apakah sama mana adil pada kalimat berikut ini " Hukumlah penjahat itu dengan adil" dengan " massa telah mengadili penjahat itu ". Tidak ! yang satu bersifat objektif dan yang satu bersifat subjektif. Hukum adalah keadilan yang di lembagakan sehingga hukum harus mempunyai aturan yang jelas walaupun hasil dari aturan tersebut tidak semuanya sesuai dengan keadilan, akan tetapi jika tidak ada hukum akan sulit menegakkan keadilan, karena yang satu berdasarkan bukti sedangkan yang satu berdasarkan keimanan, yang satu terlihat yang satu tidak terlihat.
 
" hai kamu ketahuan yah sudah tidak adil kepada perusahaan" kata teman saya sambil tersenyum " loh memang kenapa ?" tanya saya " ya iyalah masa ya iya dong, kita kan di gaji untuk bekerja delapan jam sehari , tetapi masih ada waktu yang kita curi untuk menulis , bermain internet dan bertelepon ria" katanya sambil ngeloyor pergi ke pantri untuk membuat kopi. haaa... memang susah untuk berlaku adil, sekecil apapun tindakan pembenaran dari apa yang kita kerjakan dan dengan alasan paling masuk akal apapun akan di pertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah , Tuhan Yang Maha Adil.

Selasa, 27 Oktober 2009

Mengadili Keadilan

Sore itu, sepulang kerja saya membawa kue kerumah untuk dimakan bersama. Sewaktu akan membagi kue kepada anak tiba-tiba anak saya yang tertua menasehati saya " yah , kue buat yara lebih besar dari adek ya, kan Yara udah gede jadi kuenya harus besar juga, soalnya kata guru di sekolah, kalau kita mau ngasih sesuatu kita harus sesuaikan dengan orangnya, itu baru namanya adil yah " kata nya dengan penuh semangat sambil terus mengamati kue lapis yang sedang di potong-potong. Saya senang sekaligus gelisah mendengar sesuatu yang dianggap adil oleh anak saya. Keadilan memang harus disesuaikan dengan kondisi, baik itu keadaan maupun orangnya, dan memang tidak ada yang salah dengan apa yang diajarkan oleh guru anak saya, hanya saja nasehat itu peruntukannya bagi pemberi keadilan bukan penerima keadilan.
 
Keadilan sangat di junjung tinggi didalam Islam itulah sebabnya para orientalis mengatakan " jika agama Nasrani adalah agama kasih sayang maka agama Islam adalah agama keadilan". Mereka berkaca pada pemerintahan Rasulullah di madinah dimana perlakuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassallam terhadap kaum Yahudi dan Nasrani adalah sama dengan umat Islam dalam hal keadilan. Keadilan berbeda dengan hukum, sebab hukum melihat sesuatu secara objectif terlepas dari salah atau benar. Hukum telah memihak kepada  pencuri baju besi milik Ali RA dan menyerahkan baju tersebut pada si pencuri hanya karena Ali tidak bisa membuktkan baju tersebut miliknya. Lalu dimana letak keadilan yang sesungguhnya ? terlepas dari hikmah yang menyebabkan orang tersebut masuk Islam, kita harus menyadari bahwa yang di tegakkan adalah hukum bukan keadilan, sebab pada saat itu keadilan bersifat normatif sedangkan hukum bersifat objectif.
 
Setiap tahun sewaktu pembagian daging kurban, setiap RW mengutamakan warganya sebelum memberikan kepada warga RW lain jika ternyata masih ada kelebihan. Pak Junaedi yang terletak di perbatasan antara RW 03 dan RW 04 tetapi masih masuk RW 03 sering mendapatkan daging kurban dari kedua RW. Tahun lalu sewaktu akan pembagian daging kurban pak Bakar yang merupakan panitia pembagian daging kurban dari RW 03 mengatakan bahwa tidak perlu memberi Pak Junaedi daging kurban karena pasti akan mendapat daging kurban dari RW 04 seperti tahun sebelumnya, tetapi Pak Jumal mencegahnya " Selama kita belum tahu apakah dia telah menerima daging kurban atau tidak maka kita wajib memberinya karena dia adalah warga RW 03 itulah keadilan kecuali jika kita melihat langsung RW 04 memberikan,  maka jatah Pak Junaedi bisa kita alihkan kepada yang lain " kata Pak Jumal. Keadilan memang berdasarkan apa yang kita ketahui bukan berdasarkan apa yang akan terjadi walaupun kemungkinan terjadinya sangat besar.
 
Sebagai umat Islam kita di minta untuk lebih mendahulukan memberikan keadilan ketimbang menuntut keadilan. Objektifitas pemberi keadilan tidak sama dengan objectifitas penerima keadilan. Jika saja anak saya yang kecil yang berumur dua tahun bisa membantah maka tentu dia akan mempertanyakan besar kue yang dimilikinya berbeda dengan apa yang telah di berikan kepada kakaknya, dan jawaban apapun yang akan kita berikan tidak akan pernah bisa memuaskan hatinya. Atau jika kita ambil contoh yang lebih ekstrim, maka lihatlah para suami yang beristri lebih dari satu dan tanyakan kepada istrinya mengenai objektifitas keadilan menurut suami apakah sama dengan menurut mereka , pastilah berbeda. Keadilan memang dekat dengan pemahaman dan pengetahuan. Kita sudah bisa dikatakan tidak adil apabila didalam fikiran,  kita  menyamakan pemikiran anak sekolah dasar dengan anak sekolah mengengah walaupun fikiran kita tersebut tidak pernah disampaikan kepada siapapun, itulah sebabnya di yaumil hisab seseorang itu diadili berdasarkan perbuatan dari apa yang dipahami dan di ketahuinya.
 
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." ( Al Maa'idah ayat 8 )

Kamis, 22 Oktober 2009

Melihat Bencana Dengan Kacamata Siapa ?

" Ustadz , prediksinya nanti mau terjadi gempa lagi, kira-kira siapa lagi yang terkena azabNya, terus ayat mana lagi yang hendak di cocok-cocokan dengan kejadian gempa " kata Subur kepada Ustadz Abbas dengan antusias karena berita mengenai gempa memang sedang hangat di bicarakan selain berita mengenai pembentukan kabinet presiden. " Jika sudah bisa di prediksi bukan azab lagi namanya tetapi keteledoran manusia, Ketika kita sudah tahu daerah itu sering terkena banjir tetapi kita tetap mendirikan rumah disana dan sewaktu kita kebanjiran lalu kita mengatakan ini azab Allah maka hal itu adalah benar tetapi yang diazab adalah kebodohan kita dalam menantang sinyal yang telah di berikan lewat ilmu pengetahuan" kata Ustad Abbas dalam sebuah pengajian
 
Sinyal masalah gempa dan daerah yang di perkirakan akan terkena bencana alam ini telah dilakukan beberapa tahun lalu oleh badan geologi, hanya saja kepastian kapan terjadi hanya Allah yang mengetahui. Jika sebuah informasi telah di terima lalu kira-kira tindakan apa yang mesti dilakukan kita sebagai masyarakat atau pemerintah sebagai penyelenggara negara ? Pada kenyataannya kita sebagai masyarakat tidak pernah mau mengeluarkan biaya untuk sesuatu yang belum pasti terjadi walaupun peringatan telah di berikan seperti pindah lokasi atau memperkuat pondasi rumah. Lalu mengapa ketika bencana terjadi kita masih bertanya "mengapa" ?
 
" Ustadz , apakah benar bencana diakibatkan oleh dosa-dosa manusia, karena logikanya negara Israel atau Amerika Serikat yang lebih banyak dosanya tidak terkena kok malah tempat-tempat yang terlihat Islami seperti serambi mekah Aceh, atau Padang yang mayoritas penduduknya muslim yang terkena gempa " tanya Farid, seorang anak muda yang sering menjadi imam di masjid karena suaranya yang bagus.
 
" Bencana adalah musibah dan musibah tidak melulu disandang para pendosa tetapi bisa di kenakan kepada siapa saja yang Allah mau  seperti kata Allah dalam surah Al Baqarah ayat 155-156 "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Itulah yang disebut musibah sebagai ujian namun disisi lain bencana juga bisa sebagai peringatan agar yang tekena musibah kembali kejalan Allah dan segera meminta ampun kepadaNya seperti kata Allah lewat surah Al A'raaf ayat 168  "Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)." kata Ustadz Abbas sambil menarik nafas. Usianya yang sudah kepala tujuh membuat bicaranya terdengar pelan.
 
Terlalu sering kita membanding-banding kan sesuatu yang kasat mata terlihat tanpa meneliti lebih jauh lagi, kita mungkin belum sadar  bahwa disetiap negara yang kita anggap kafir pasti ada umat muslim yang bermukim disana yang keterpojokan mereka bisa jadi membuat doa mereka lebih mustajabah di banding negara yang mayoritas muslim tapi sering lupa kepada Tuhannya. Seperti teriakan anak-anak palestina ditanah yang di jajah oleh Israel atau himpitan warga muslim kulit hitam di Amerika Serikat, atau penindasan minoritas muslim di Cina dan Thailand. Bukankah doa-doa orang yang teraniaya lebih di ijabah oleh Allah. Bagaimana mungkin Allah menimpakan bencana alam, sementara bencana yang lebih besar seperti bencana Aqidah telah mendera mereka terlebih dahulu.
 
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  ( At Thaagabun ayat 11)
 

Di alam semesta ada sunnatullah yang menempel kepada  taqdir Allah. Jika kita menyakiti seseorang maka kita pasti akan disakiti oleh orang lain itu adalah sunnatullah sedangkan kapan kita akan disakiti adalah masalah taqdir Allah. Jika kita tidak menjaga kelestarian alam sekitar kita maka alam akan berbalik menyerang kita dan itu adalah sunnatullah, sedangkan kapan alam akan memuntahkan "amarahnya" adalah masalah taqdir Allah. Sebaliknya jika kita berbuat baik maka kitapun akan mendapatkan kebaikan ( hal jaza'ul ikhsani illal ikhsan (QS 55:60) itu adalah sunnatullah kapan kita akan memperoleh kebaikan ? itu adalah masalah taqdir Allah. Semua itu bukan tentang apakah kita bisa mengubah taqdir Allah atau tidak, tetapi lebih pada masalah apakah kita bisa memahami sunnatullah atau tidak

Selasa, 20 Oktober 2009

Ukiran Diatas Kertas

Ukiran Diatas Kertas
 
Waktu menentukan peletakan bab dalam buku sejarah yang lebih banyak di rekam lewat media kertas. Buku menjadi saksi dari kejeniusan para pengagas sains, keindahan kata para pujangga, permainan logika para filsafat, pencerahan nilai para spritualis dan sketsa pemetaan tubuh oleh para medis. Waktu telah membuat warna menjadi kusam dan teori menjadi usang, tetapi ukiran yang terpahat disana menjadi prasasti ide-ide yang tidak pernah mati. Buku seperti nisan berjalan bagi sang penulis. Walaupun orangnya sudah tiada tapi namanya tetap terukir disana. Menulislah wahai para pencari ilmu sehingga terwariskan apa yang engkau cari lewat pernyataan, pertanyaan dan sangkalanmu.
 
Sebagai jendela ilmu buku telah melalap habis isi kepala para pemikir yang kesusahan memuntahkan segala teori lewat lidahnya disamping itu   bahasa verbal disekat oleh dimensi ruang yang mengakibatkan perpindahan ilmu menjadi terisolasi. Tulisan yang termuat dalam sebuah buku , saat ini telah memampu menembus berbagai negara dan benua, meneriakan segala isi kepala para penulisnya. Orang yang suka membaca belum tentu suka menulis, tetapi untuk menulis sesuatu seseorang harus membaca. Dengan menulis seseorang akan membuka berbagai pintu-pintu ilmu sebagai referensi untuk diceritakan dan di citrakan kepada pembacanya.
 
Ukirlah kisahmu diatas sehelai kertas, didalam sebuah note, khabarkan kepada dunia bahwa kamu pernah ada. Sutu ketika nanti kita akan terpana bahwa kita juga mampu melakukannya yaitu menitipkan prasasti disetiap mata yang memandang dan disandingkan dengan maestro sains, para mastro sastra, atau  para maestro ekonom meskipun hanya pada sebuah rak atau sebuah file.
 
"Aku bukanlah aku yang aku tahu karena aku bisa jadi aku dikepala semua orang yang ingin tahu, aku berubah sesuai dengan persepsi yang memasukiku. Pengakuanku akan berubah sesuai dengan waktu, lewat lidah orang memilikiku dan engkau tidak berhak melarangnya walaupun aku berasal darimu. Suatu ketika nanti bisa saja  akan menjadi ispirasi yang membuatku terpojok dan tak berguna lagi tapi paling tidak pernah menjadi berarti .....aku adalah ukiranmu diatas kertas "
 
 

Jumat, 16 Oktober 2009

Keadilan dan Kejujuran

" Dosa tertua adalah kesombongan ,  bibit dari segala kejahatan adalah ketidak jujuran dan tonggak hidup yang paling susah didirikan adalah keadilan, " kata pak Yanuar kepada anaknya Farid diatas sepeda yang dia kayuh menuju rumah. Pak Yanuar adalah kepala sekolah dasar dan pemuka masyarakat di daerahnya. Dia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat daerah sewaktu pemilihan umum lima tahun sekali. Pak Yanuar mempunyai dua orang anak laki-laki, yang tertua bernama Hamzah dan yang nomor dua bernama Farid. Kedua anaknya masih duduk dibangku Sekolah menengah pertama. Hamzah kelas tiga dan Farid kelas satu.
 
Tanpa diduga Pak Yanuar akhirnya masuk dalam deretan tim elit nasional itu, anggota legislatif, jabatan yang di perebutkan banyak orang dengan mengorbankan harta benda, tentu saja untuk mendapatkan reward yang lebih besar, pertanyaanya dari mana ? Pak Yanuar berusaha melepaskan diri dari berbagai kepentingan yang memerlukan suaranya untuk melonggarkan pengawasan pada aparat eksekutif. Di dunia politik kolusi menciptakan konspirasi adalah cerita basi dan tidak sedikit yang telah menjadi korban birokrasi tersebut.
 
" Hai rid, kok ayahnya jadi anggota legislatif jadi malah jualan koran, emang gaji legislatif lebih rendah dari gaji kepala sekolah ?" kata teman sekolah Farid yang melihatnya mengantar koran sewaktu akan berangkat sekolah. "Gak juga ,iseng aja", jawab Farid dengan santai. Berbeda dengan Farid, kakaknya, Hamzah justru berbanding terbalik , sejak ayahnya jadi anggota dewan dia jadi lebih dermawan dimata teman-temannya alias sering mentraktir makan. Walaupun berbeda dalam hal pengeluaran tetapi Pak Yanuar tidak pernah membedakan di dalam memberikan belanja buat anaknya.
 
Waktu berlalu tanpa terasa , setelah lima tahun menjabat, Pak Yanuar tidak terpilih untuk periode selanjutnya dan tidak mungkin kembali kepada jabatan lama karena telah di isi oleh orang lain. Hamzah anak pertama telah duduk di bangku perguruan tinggi dan membutuhkan banyak biaya sedangkan Farid duduk di bangku kelas 2 Sekolah menengah atas. Atas beberapa referensi Pak Yanuar berhasil menadapat posisi lama sebagai kepala sekolah sekolah menengah atas di luar kota. Untuk biaya kuliah anaknya Pak Yanuar menjual mobil yang di peroleh dari hasil gaji sebagai anggota legislatif meskipun dia juga mendapat kendaraan dinas. Setelah semua dikembalikan kepada negara Pak Yanuar pindah keluar kota bersama keluarga. Farid ikut serta sedangkan Hamzah kost di Jakarta.
 
Ketika akan berangkat pertama kali ke sekolah tempatnya bekerja Pak Yanuar dikagetkan dengan sebuah sepeda motor didepan rumahnya. Ternyata sepeda motor itu adalah hadiah dari Farid  untuk semua kejujuran ayahnya dalam memegang amanah sebagai anggota legislatif.
" Dulu ayah pernah mengatakan kepada Farid tentang keadilan dan kejujuran dan Farid tidak menghiraukannya" Kata Farid kepada ayahnya, kemudian dia melanjutkan " Ketika Farid lihat ayah bekerja keras mememegang prinsip tadi, maka saat itulah Farid mendapat pengajaran yang sesungguhnya, lalu keadilan seperti apa yang bisa Farid perbuat dimana ayah bersusah payah bekerja lalu Farid menghambur-hamburkan uang hasilnya ?...tidak ...Farid bekerja sama seperti ayah...sepeda motor itu adalah uang jajan yang ayah berikan selama lima tahun ayah menjabat sebagai anggota legislatif.....ayah telah memberikan kebanggaan kepada Farid dan itu sudah cukup" kata Farid dengan mata berkaca-kaca
 
Pak Yanuar hanya tersenyum sambil memandang motor baru didepannya " Bapak berusaha sekeras mungkin menampik pemberian orang sewaktu menjabat dulu, dan Allah telah membalasnya dengan pemberian yang indah Farid, terimakasih nak, Tegakkanlah kejujuran dan keadilan di hatimu, luruskanlah, tolong ingatkan kakakmu kalau dia lupa...tidak ada manusia yang sempurna dalam menyikapi sesuatu" kata Pak Yanuar sambil menarik nafas panjang dan pergi kesekolah bersama motor barunya

Kamis, 15 Oktober 2009

Tanggung Jawab Bersama

Ramadhan yang lalu memang penuh warna, apapun yang tergores didalamnya akan menjadi kisah yang menghiasi hari-hari kita dalam beribadah dan bermuamalah. Apapun tindakan kita yang diniatkan lillahita'ala  maka akan dinilai sebagai ibadah. Qiamul lail yang paling banyak dilakukan manusia memang ada di bulan ini yang disebut sebagai tarawih yang artinya istirahat karena dilakukan istirahat atau jeda beberapa saat setelah salam baik itu setiap dua raka'at maupun setiap empat raka'at. Ada beberapa masjid yang setiap raka'atnya sang imam membaca ayat yang panjang, mungkin di targetkan setiap hari satu juz sehingga jika ternyata puasa genap tiga puluh hari maka genap pulalah AlQur'an di khattam kan.
 
Ketika imam membaca suatu ayat apalagi yang panjang, apa kira-kira yang bisa membuat jama'ah menjadi khusyuk ? Kalau di bilang suasana masjid mungkin bisa, tetapi faktor ekstenal yang lebih banyak mempengaruhi kekhusyuk'an jama'ah adalah bacaan sang imam. Nagham Munsyari Rashid , Sudesh dan Al Gomidy sering dipakai oleh beberapa imam masjid untuk memberikan efek terapi pada telinga  sehingga bisa menggetarkan hati kita ketika sholat. Karena kalau mau jujur tidak banyak dari kita yang mampu memaknai ayat yang dibaca oleh imam, sehingga mengharapkan kekhusuyukan dari pemaknaan memang agak sulit dan memompa kekhusyukan dari dalam diri (internal) tidak setiap saat bisa dilakukan. Tidak salah dikatakan bahwa imam juga memegang peranan penting dalam masalah kekshusyukan jama'ah.
 
" Wah sholat tarawih susah khusyuknya, bacaan imamnya gak bagus , trus panjang lagi, mana dibelakang pada ribut, udara panas, lengkap deh" kata Ucup, " loh justru disitulah nilai ibadahnya" kata Subur berusaha memberikan kesan bahwa bersusah-susah dalam sholat tarawih adalah bagian ibadah juga, terlepas dari bersusah-susah tersebut justru menghilangkan kekhusyukan kita. Kita tidak mungkin bisa melegalkan kesalahan karena keadaan. Sebaliknya kita dituntut untuk bisa menciptakan keadaan yang mampu menghilangkan  kesalahan atau paling tidak meminimalkannya dan hal ini harus didukung oleh semua pihak termasuk para pengurus masjid.

Selasa, 13 Oktober 2009

Pembiasaan Diri

Seorang teman pernah bertanya " Pelajaran apa yang bisa di petik dari sebuah kisah ?" . Saya hanya diam, saya berfikir tentulah didalam kepalanya telah terkumpul beribu jawaban dari para ahli karena dia seorang kutu buku. Teman saya itu seorang yang tekun belajar dan rajin berolah raga terutama olah raga beladiri. Saya menemukan perbandingan yang lumayan menyentuh nalar ketimbang jawaban naratif atau argumen-argumen yang bersifat pribadi, saya bertanya kepada dia " sebenarnya buat apa kita belajar ilmu beladiri, karena pada kenyataannya ketika terjadi pertarunagn yang sesungguhnya gerakannya hampir sama dengan yang tidak atau belum pernah belajar ilmu beladiri " kata saya sok menganalisa " kata siapa , paling tidak dengan sering latihan kita terbiasa mendapatkan gambaran serangan lawan walaupun latihan-latihan kita setiap hari belum tentu sama dengan serangan lawan yang sesungguhnya" jawabnya meyakinkan.
 
Ya, sebenarnya itulah jawaban yang paling mendekati kenyataan " keterbiasaan " sama seperti kata pepatah " ala bisa karena biasa ". Ketika kita telah terbiasa berlatih ilmu beladiri walaupun serangan lawan sangat berbeda dengan apa yang kita latih sebelumnya, paling tidak kita bisa membaca arah serangan dan berusaha menghindarinya. Kisah menempati posisi yang hampir sama dengan perbandingan diatas. Ketika kita sering membaca atau menerima informasi mengenai sesuatu maka tidaklah sama penyelesaiannya dengan seseorang yang belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya walaupun kisah yang kita baca berbeda cerita dengan apa yang kita alami
 
Membiasakan diri melakukan hal-hal positif akan menciptakan aura positif pula pada diri kita. Didalam Islam kita sering diajari berdzikir kepada Allah secara berulang-ulang. Proses pengulangan tersebut menciptakan efek keterbiasaan sehingga yang awalnya berat dilakukan akan menjadi tidak merasa terbebani lagi ketika kita telah membiasakan diri melakukannya. Itulah pula sebabnya mengapa puasa pada bulan Ramadhan dilakukan sebulan berturut-turut karena jika kita ingin terus menindak lanjuti hasil puasa pada bulan lain tidak akan terlalu berat lagi, tetapi banyak yang mengabaikannya dan kembali kepada kebiasaan semula. Membiasakan melakukan hal kecil yang bermanfaat hari ini  mungkin bisa menolong kita suatu hari nanti dalam menciptakan sesuatu yang besar, siapa tahu.

Sebuah Pelajaran dari Sholat

Sudah lama kami tidak berkunjung kerumah Pak Soleh, guru agama sewaktu masih sekolah dulu. Sekarang Pak Sholeh sudah pindah ke Ciawi, Bogor dan mengajar di sekolah madrasah disana sambil membuka pengajian pada sore harinya. Lebaran adalah susana yang sangat tepat untuk memperkokoh kembali tali silaturahmi, kebetulan hari itu saya beserta Sugianto, Ali, Kamin dan Jaja  baru pulang dari rumah teman di Cipayung, Bogor, maka seperti kata pepatah ' sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui ' kami pun mampir ke rumah Pak Soleh. " Assalamu'alaikum, ada Pak Sholeh " sapa kami kepada seorang pemuda di depan rumah Pak Soleh, mungkin tetangga atau saudaranya. " Wa'alaikum salam, Pak Soleh masih ada di musholah belakang belum pulang dari menunaikan sholat Dzuhur" jawab pemuda tadi. " Ya udah sekalian saja kita ke musholah, kita kan belum sholat Dzuhur " Kata Jaja yang di iyakan oleh yang lain. Setelah di tunjuki arah kemusholah kamipun permisi kepada pemuda tadi.
 
Sewaktu kami tiba, Pak Soleh masih sholat, dan kamipun berwudhu lalu sholat berjama'ah sendiri, tidak bermakmum pada Pak Soleh karena takut mengganggu kekhusyu'annya disamping itu kami juga mengira dia saat itu sedang sholat sunnah ba'da Dzuhur karena tidak ada orang lain disana. Ternyata setelah kami selesai sholat, Pak sholeh masih belum selesai juga. Antara berdiri, rukuk, sujud dan duduk iftirasy sama lamanya. Setelah selesai kami menghampirinya  dan Pak sholeh sempat kaget sewaktu bertemu kami , murid lamanya. " Tadi kami datang Pak Soleh masih sholat ..eh pas kami selesai sholat Pak Soleh masih belum selesai juga " kata Sugianto menerangkan waktu kedatangan kami. " Tadi waktu berjama'ah ada banyak kepentingan jama'ah yang harus kita kedepankan, padahal perasaan ingin berdua itu belum hilang ,nah sholat sunnah adalah waktunya " kata Pak Soleh menerangkan, " Loh bukannya sholat sudah ada bacaannya " tanya Jaja penasaran " benar tapi sholat bukan sekedar membaca tapi juga merasakan, jika ingin khusyu' jangan membaca sebelum merasakan ketenangan dan merasa seperti berhadapan dengan sesuatu, sebenarnya tidak ada bacaan disana yang ada hanyalah pujian dan doa dan salah satu adab dari memuji dan berdoa adalah tidak tergesa-gesa " kata Pak Soleh dengan tenang sambil tersenyum memegang pundak si Jaja.
 
"maling..maling.." teriak penduduk diluar musholah yang sedang mengejar seorang pencuri, kami keluar untuk melihat dan ternyata pencuri itu telah tertangkap. Dia ketahuan hendak mencuri sepeda motor yang di parkir di depan rumah seorang warga. " Ampun pak...ampun..tolong jangan pukul saya..." keluh si pencuri yang di hajar masa, utung ada hansip yang mengamankannya untuk di bawa ke pos polisi terdekat. Pak Soleh memangdang kearah kami " Pernahkan kalian melihat ada yang minta ampun seperti itu kepada Allah ?" tanya Pak Soleh. " Mungkin nanti kalau sudah masuk neraka baru minta ampun kayak gitu Pak...sekarang sih gak ada ..lagi pula nanti kelihatan  aneh lagi Pak" jawab Kamin. Pak Soleh hanya tersenyum mendengarnya " Tuhan memang belum menjadi sesuatu yang nyata bagi sebagian orang, laksana patung yang disembah dan diam dalam kesendirianNya, itulah sebabnya dalam agama Islam , Allah tidak bisa dipersepsikan dengan segala sesuatu laitsa kamitslihi sai'uun, DIA maha melihat apa kita perbuat, masalahnya apa yang kita sebut sebagai keimanan itu adalah keyakinan atau sekedar pernyataan" kata Pak Soleh menerangkan sama seperti waktu dikelas.
 
Dari musholah kami menuju rumahnya, " Bu nih ada tamu, murid bapak dulu " kata Pak Soleh kepada istrinya " tolong siapin makan siang bu biar sekalian makan sama anak-anak ini " pinta Pak Soleh, " Pak tadi , waktu kepasar dompet ibu jatuh jadi gak sempat belanja deh, ada sayur tahu doang beli dari Kang Karyan yang biasa lewat, tapi masih ngutang" desah istrinya pelan, tapi kami masih bisa kami dengar " Ya sudah gak apa-apa  hidangkan apa yang ada sajalah, yang penting bisa menjamu tamu kita bu" sahut Pak Soleh menenangkan istrinya. Baru saja makanan di hidangkan pintu diketuk " Bu ...ini masakan yang saya bilang tadi tolong dicicipin ya...kalau gak enak diem-diem aje namanya juga lagi belajar  " kata Ibu muda yang datang membawa semangkok opor Ayam " Terimakasih Bu Rina..jadi repot-repot, kan tadi cuma bercanda " sahut istrinya Pak Soleh yang kemudian masuk menghidangkan opor tadi kehadapan kami " Nih ada tambahan rezeki, silahkan di coba " katanya sambil masuk kedalam. Pak Soleh hanya diam, dia tidak berusaha menasehati kami padahal apa yang kami saksikan adalah salah satu cara kerja Allah terhadap hambaNya, mungkin Pak Soleh ingin kami menelaah sendiri kejadian tersebut atau dia tidak ingin ujub dalam kedekatannya dengan Sang maha pencipta.
 
Kami pulang dari rumah Pak Soleh sehabis sholat Ashar dan menuju perapatan Ciawi menuju kampung rambutan. Kami menunggu bis di dekat sebuah klinik 24 jam karena disana tidak ada pemberhentian bis. Kami menunggu bis dari arah Sukabumi yang menuju Kampung rambutan atau Pulo Gadung. " Bu ani nemu dompet dipasar " teriak seorang anak perempuan kepada seorang ibu yang sedang menggendong anak kecil " Alhamdulillah ternyata ada juga rezeki untuk berobat, tapi yang punya siapa nanti dia nyariin lagi" kata sang ibu kepada anaknya " Gak ada apa-apa bu ini mah dompet belanja doang, " kata anak tersebut sambil memberikan dompet itu kepada ibunya. " mmm iya sih cuma ini ada fotonyanya di plastik luar mungkin ibu ini yang punya dia kali yah, ya udhlah tak pinjam dulu deh nanti biar Allah yang ganti" kata ibu tersebut sambil memasukan dompet tersebut kekantongnya, saya sempat melihat wajah di cover luar dompet itu samar seperti wajah istrinya Pak Soleh, tapi kami hanya diam saja , sesuatu berkecamuk didada, antara mendiamkan atau melibatkan diri dalam masalah tersebut dan kami memilih mendiamkan.
 
Sampai menjelang maghrib kami belum juga mendapat bis, kalaupun ada selalu saja penuh, mungkin Allah tengah mendiamkan kami karena hanya diam saja ketika mengetahui ada sesuatu yang bisa diluruskan fikir kami. Sehabis sholat maghrib kami mencari alternatif lain yaitu menuju terminal Baranangsiang untuk langsung ke Pulo gadung, akhirnya kami baru dapat bis setelah Sholat isa lewat terminal Baranangsiang Bogor. dan sampai dirumah jam 9 malam, saat itu kami telah berburuk sangka kepada Allah karena mengira Allah telah menghukum kami ternyata ayah saya sampai jam 10 malam masih terjebak di tol jakarta-Bogor sepulang dari Bandung sejak jam 2 siang. Dia mengatakan telah terjadi kemacetan total karena ada tabrakan antara truck dan minibus.
 
Keeseokan harinya saya menelpon Pak Soleh dan menceritakn kejadian kemaren sepulang kami dari rumahnya. " Sudah lupakan saja masalah dompet itu kami sudah mengikhlaskannya dan ternyata ada yang lebih membutuhkannya, untuk kalian semua satu yang bapak pesan yaitu jangan pernah meletakkan Allah dikepala kalian melalui apa-apa yang kalian fikirkan tapi letakkanlah dihati kalian Karena Allah dekat dengan nurani orang-orang yang beriman, karena orang yang benar memandang Allah didalam sholatnya insyaAllah akan benar pula memandang Allah di luar sholatnya " katanya diujung telepon dan saya hanya mengiyakan dari jauh.
 
Saat ini ketika saya berhadapan denganNya, saya tidak lagi pernah memfokuskan fikiran, karena semakin fikiran di fokuskan semakin berontaklah dia, bahkan selama sholat kita tidak lagi fokus kepada Allah tetapi lebih sering fokus pada bagaimana caranya khusyuk, sama seperti orang yang terburu-buru sholat hanya untuk mendengarkan ceramah yang berisi bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah, padahal dia baru saja mengabaikan Allah lewat sholatnya. Sholat bukanlah membaca tapi memuji dan berdoa, sholat adalah merasa, sholat adalah kepasrahan bukan ketergesa-gesaan inilah ibadah yang pertamakali dihisab di yaumil akhir.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Kita Ada Dimana ?




Apa yang diharapkan dari sebuah kehendak ? Apapun yang kata yang telah kita susun dan bagaimanapun kita mengungkapkan sesuatu, maka tidak akan mampu menggambarkan cerita dibalik sebuah kehendak. Ketika Allah telah berkehendak, maka tiba-tiba akal dan fikiran manusia berusaha menyesuaikan posisi pandangannya menurut kadar akalnya tentang kehendak Sang maha pencipta.

Kita bisa saja mengatakan itu sebuah musibah, yang lain berkata itu sebuah cobaan. Yang satu mengajak membantu yang lain mengajak introspeksi. Yang satu hanya menonton yang lain sibuk menyalahkan. Yang satu tergerak menggalang bantuan yang lain terpana kebingungan. Yang satu tidak perduli yang lain berusaha mengumbar simpati. Allah hanya diam mengamati. Kita adalah kumpulan jiwa yang sibuk mengurus diri sendiri. Musibah adalah sapa untuk bisa saling peduli. Tuhan seperti bersabda lewat pergerakan alam " Silahkan kalian tidak perduli kepadaKU karena AKU telah mempersiapkan masa pertanggung jawaban nanti tapi berpeganglah pada sekelilingmu karena ada disana ada saudara untuk sekedar perduli kepadamu"

Senin, 28 September 2009

Lipatan Kisah Dari Sebuah Perjalanan


Satu tahun yang lalu ketika memasuki bulan Rajab , tidak banyak yang menunaikan sholat duha di masjid itu, kecuali seorang pemuda yang selalu membawa tas ransel. Dia bekerja tidak jauh dari area masjid yang terletak di bilangan Jakarta Utara. Sholat sunnah dhuha memang tidak se familiar sholat sunnah rawatib yang selalu mengapit sholat fardu. Banyak orang menganggap sholat dhuha adalah sholat kepentingan sama halnya dengan sholat hajat, hanya saja dhuha lebih di fokuskan dengan masalah rezeki. Walaupun tidak semua seperti itu tapi kita tidak juga bisa menutup mata dengan bertebarannya dalil kecukupan rezeki bagi orang yang menunaikanya, sehingga jika ada yang menunaikannya karena meminta dimudahkan rezeki oleh Allah adalah wajar saja.



Memasuki bulan Syakban, kondisi masjid mulai bertambah seiring dengan sunnah puasa di bulan ini maka bertambah juga orang yang menunaikan sholat dhuha. Puncaknya adalah bulan Ramadhan, apalagi pada sepuluh hari terakhir, maka susah untuk membedakan mana yang datang dari luar untuk menunaikan sholat dhuha dan mana yang telah berdiam diri disana dari hari sebelumnya. Mengginjak bulan Syawal kembali masjid tersebut sepi. Kami seperti reuni dalam kesunyian, mengapai ridho Allah dalam hal rezeki, mengais harapan dari setiap doa dan bersimpuh untuk meraih setiap kesempatan yang diberikanNya.

Namanya Ahmad, bekerja sebagai office boy pada sebuah perusahaan multi nasional. Dia ingin meningkatkan karirnya dengan cara melanjutkan pendidikan keperguran tinggi. Setelah tamat sekolah menengah tingkat atas di telah bekerja di berbagai tempat dan mulai menabung untuk biaya memasuki perguruan tinggi pada sore hari selepas bekerja. Dia selalu merasa ada saja masalah yang menghinggapinya sehingga setiap hari lari kemasjid mengadu kepada Allah, dia tidak mempunyai teman yang bisa di percaya untuk berbagi cerita, sedangkan orang tuanya ada di kampung. Saya sempat bercanda dengannya dengan mengatakan bahwa Allah mungkin senang berdua dengannya sehingga selalu di titipkan sebuah masalah agar dia selalu kembali kepadaNya. " Benar sih mas tapi saya ingin berdua dengan Allah bukan karena sebuah masalah, tapi karena memang saya ingin berdua denganNya dengan hati damai" katanya mencoba berharap lain.

Hari demi hari berlalu dan seperti biasa setiap pagi kami selalu bertemu dan menunaikan sholat dhuha secara terpisah mencari sudut yang paling ideal berdialog denganNya. Memasuki bulan Rajab yang lalu, saya kehilangan dia dan berlanjut pada bulan Syakban dan Ramadhan. Memasuki bulan Syawal, sewaktu perusahaan baru mulai beraktifitas kembali setelah libur lebaran. Saya bertemu dengannya di masjid yang sama dengan penampilan yang berbeda. " Saya sudah tidak bekerja di sini lagi mas , udah pindah ke Jakarta barat, saya coba mampir kesini mau silaturahim sama mas dan teman-teman di kantor lama" katanya menerangkan. Allah telah menjawab teriakan doa yang di panjatkannya gumam saya didalam hati. " kayaknya banyak kemajuan nih, " canda saya kepadanya. " saya jadi bingung mas, sebenarnya cobaan saya itu kekurangan saya dulu atau kelebihan saya sekarang, saat ini saya jarang sholat dhuha karena kantor di daerah saya kerja sekarang jauh dari masjid, sedangkan kalau sholat dikantor selalu saja ada halangannya karena tempat sholatnya dekat dengan pantry. Saya sekarang udah kuliah sore mas, tapi saya jadi sering ketinggalan sholat maghrib paling telat diakhir waktu. Setiap pagi kerinduan berdialog dengan Allah tergantikan dengan bercanda dengan teman di kantin karena suasana kantinnya asyik sekali karena yang makan disana cantik-cantik dan baik-baik " katanya seperti tidak mau untuk bercerita, tetapi waktu memaksa kami untuk berpisah.

Mulai hari itu masjid itu kembali sepi, saya mencari sudut dari masjid tempat dulu ahmad melaksanakan sholat dan merasakan kehadiran Allah dalam nuansa ketakutan, Saya selalu gelisah dengan pencapaian-pencapaian yang tidak pernah berakhir dengan memuaskan tetapi saya lebih takut ditinggalkan Allah dalam keadaan tertawa. Saya tidak lagi berani berdoa ini dan itu......hanya diam dan terpaku, tiba-tiba hati ini diliputi suasana bahagia...lau hening , entah dari mana asalnya lalu seperti di tuntun berdo'a " Ya Allah berikanlah kapadaku keikhlasan menerima segala kehendakmu atas jalan hidupku dan jadikanlah sabar di hati sebagai rasa syukur atas segala cobaanMu dan hiasilah rasa syukur didada ini dengan sebuah kesabaran dalam menerima amanahMU"



Jumat, 25 September 2009

Cerita Di atas Cerita


Pada masa sekarang, dimana kebutuhan sehari-hari semakin meningkat meninggalkan penghasilan yang di peroleh, maka sering kita melihat pasangan suami istri bekerja bersamaan saling bantu membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ada yang bekerja bersama-sama berdagang dan ada juga yang bekerja secara terpisah pada suatu instansi atau perusahaan. Pak Haris adalah salah satu dari beberapa orang di kota besar ini yang mengijinan istrinya bekerja membantu memperbaiki keuangan keluarga, walau dengan konsekwensi anak mesti dititipkan kepada pembantu rumah tangga. Pak Haris bekerja sebagai staf administrasi pada sebuah sekolah dasar sedangkan istrinya bekerja sebagai staf keuangan pada perusahaan swasta yang berskala nasional. Sebagai kepala rumah tangga, gaji yang didapat sebulan selalu dibawah penghasilan sang istri, namun Pak Haris selalu sabar dan tidak pernah marasa iri dan susah hati, sebaliknya istrinyalah yang selalu mengeluh dan terus mendorongnya mencari pekerjaan yang lebih baik.






Allah selalu maha adil dalam menempatkan segala sesuatu, walaupun tidak banyak menghasilkan tetapi didalam kehidupan keluarga Pak Haris adalah ayah yang baik dalam mendidik anak-anaknya dan selalu memberikan tauladan yang baik sebagai seorang ayah maupun sebagai seorang suami, Pak Haris memang selalu berusaha meluangkan waktu untuk keluarganya. Kondisi perekonomian membuat Pak Haris saat itu tinggal bersama keluarganya pada sebuah rumah kontrakan di pinggiran Jakarta. Istrinya selalu berusaha menyisihkan sebagain dari gajinya untuk membeli sebuah rumah, karena gaji Pak Haris habis untu kebutuhan sehari-hari.

Suatu ketika Istri Pak Haris berniat membeli sebuah rumah dengan cara mengajukan KPR pada suatu Bank. Uang muka yang akan di setorkan telah disiapkan untuk di bawa Pak Haris ke pengembang perumahan tersebut karena volume pekerjaan istrinya tidak memungkinkan untuk keluar kantor. Setelah minta ijin dari kepala Sekolah , Pak Haris langsung pergi menuju perumahan yang dimaksud dengan membawa uang muka pembayaran. Allah selalu mengawasi setiap langkah hambanya dan mengukir cerita yang menjadi jalan hidup si hamba, yang dengan cerita itu tergambarlah karakter yang diinginkanNya, yaitu ikhlas terhadap segala keputusanNya. Di tengah jalan uang yang dibawa Pak haris hilang, entah di curi orang atau terjatuh dan hal ini baru disadari sewaktu tiba di lokasi perumahan. Berkali-kali pak Haris menelusuri jalan yang dilalui tapi hasilnya tidak ada.

Setiba di rumah, istri pak Haris sangat marah dengan kelalaian yang dilakukannya. Berulang-ulang istrinya menyebutkan bahwa uang itu adalah hasil yang dikumpulkannya bertahun- tahun dan hilang begitu saja dalam satu hari, istrinya lupa kapada Sang pembuat cerita. Pak Haris merasa sangat bersalah. Ketidak mampuannya memberikan penghasilan yang lebih harus di lengkapi dengan hilangnya tabungan yang dikumpulkan dengan bersusah payah oleh sang istri. Sejak hari itu pak Haris jarang ada di rumah, dia bekerja apa saja setelah pulang dari sekolah hanya untuk bisa mengganti uang istri yang hilang. Setiap hari Pak Haris selalu pulang larut malam , bahkan hari libur juga di gunakan untuk bekerja. Hari demi hari berlalu kesunyian mulai terasa di rumah yang biasa selalu ceria oleh tawa anak-anak dengan canda Pak Haris. Istrinya mulai menyesal dengan tindakannya, tetapi kekecewaan Pak Haris pada dirinya disamping sindiran sang istri membuat pak Haris terus bekerja tanpa henti bahkan dalam keadaan sakit sekalipun, hingga kecelakaan menghampirinya. Kedua kakinya harus di amputasi karena terjepit truck container sewaktu akan mengantarkan barang pada sebuah area pergudangan.

Keluarga itu tidak hanya kehilangan uang untuk beli rumah tetapi juga telah kehilangan seoarang ayah dan seorang suami hanya untuk sebuah ego, ketidak ikhlasan bahwa apapun yang terjadi pada diri kita telah tercatat pada lembar abadi milik Sang Pencipta, rasa syukur memang harus di barengi dengan rasa sabar, sebuah sikap para shalihin yang mulai jarang ditemui.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita diatas ditulis Pak Haris untuk menyadarkan istrinya melalui mailing list. Terkadang untuk menyadarkan seseorang di perlukan media yang sering kita temui tanpa kita sadari salah satunya adalah email. Cerita dibuat sedikit mendramatisir yaitu diahiri dengan kecelakaan yang membuat seseorang agak terkesima tidak terkecuali istrinya yang membacanya yang di peroleh dari forwadan email teman yang sengaja di minta oleh pak Haris tanpa disadari istrinya. Beberapa hari setelah email terkirim , terdengar istri menelpon dari kantornya " Ayah, ada dimana ?" tanya istrinya
" masih kerja, mudah-mudahan uang ibu yang hilang bisa cepat ayah pulangin" kata pak haris
" Ibu sudah kehilangan uang dan sekarang ibu juga tidak mau kehilangan ayah, jika ayah tidak bisa mengembalikan uangnya cukup kembalikan ayah dari anakku, tolong kembalikan juga kecerian di rumah kami yang telah lama hilang" kata sang istri mulai dengan nada hampir menangis. tanpa menunggu lebih lama Pak Haris berusaha bergegas pulang, kerinduan akan anak-anaknya mulai membuncah didada. Sepeda motor di pacu sekecang mungkin. Goresan yang dibuatnya melalui email menjadi kenyataan. Allah menulis hal yang sama pada lembar abadiNya dan Pak Haris kecelakaan dari motor. Kecelakaan itu tidak hanya merampas kakinya tapi juga jiwanya.

Beberapa hari setelah kematian Pak Haris teman tempatnya bekerja menceritakan semuanya dan email itulah ungkapan hati Pak Haris yang terakhir, bahwa dibalik ego yang menghalangi ada sebuah kerinduan yang teramat dalam bagi keluarganya. Apakah kita akan mengalami hal yang sama pada cerita yang berbeda ?

Selasa, 22 September 2009

Syawal Seperti inikah Yang Diinginkan Rasulullah

Bulan syawal adalah bulan yang dinanti ummat Islam karena disana ada yang bernama " Lebaran ". Didalam dunia Islam sendiri terutama di zaman Rasulullah Gaung Idul fitri tidak sehebat Idul Adha, Idul fitri adalah perayaan keprihatinan karena telah di tinggal Ramadhan sedangkan Idul Adha adalah perayaan sebuah pengorbanan dengan menyembelih binatang kurban. Tetapi saat ini, semua tampak terbalik, Idul Fitri tampak lebih semarak dibanding Idul Adha, lihat sajalah , Para fakir miskin hanya di hargai tiga setengah liter beras pada idul Fitri tapi lebih dari berkilo-kilo daging pada Idul Adha. Sekarang cobalah kita fikirkan dan tanya hati kita yang paling dalam "apakah lebaran yang kita klaim milik Islam ini adalah warisan Rasulullah dan merupakan wahyu dari langit atau sebuah toleransi besar-besaran dengan nafsu kita atas nama sebuah ibadah ?"






" Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku" kata Allah didalam Al Qur'an. Silaturahim yang kita lakukan pada bulan syawal dengan bermaaf-maafan adalah pelaksanaan dari hablumminannas, tapi seringkali hablumminannas mengabaikan hablumminallah. Lihatlah sewaktu silaturahim terjadi di hari pertama lebaran, ketika azan zuhur atau ashar memanggil dari masjid sedagkan kita masih asyik bercanda dengan saudara atau teman dan kerabat, pada saat itu banyak yang mengabaikan panggilan sholat tersebut dan lebih mengutamakan bercanda dengan tamunya. Pada bulan syawalah sholat banyak yang di belakangkan, subhanallah. berbanding seratus delapan puluh derajat dengan yang kita saksikan di bulan ramadhan. Lalu dimana cerita menjadi orang betaqwa yang di dongengkan di bulan ramadhan tersebut ?

Dari tahun ketahun , kuantitas umat Islam semakin meningkat, tetapi sebaliknya kualitas keimanan umat semakin memprihatinkan sama seperti apa yang di perkirakan Rasulullah melalui hadistnya bahwa ummat Islam nanti seperti buih di lautan yang akan hilang di telan ombak. Posisi Ustadz dan Ulama saat ini hanya untuk menghibur telinga kita dengan tausiyahnya dan ilmunya tertinggal di awang-awang yang orang enggan menggapainya. Mudah-mudahan kita bisa mulai berbenah dari hal yang kecil , dari keluarga dan teman kita untuk memindahkan apa-apa yang kita dengar dengan telinga kita dan apa-apa yang kita lihat dengan mata kita untuk kita renungkan dihati kita dan dilaksanakan oleh anggota tubuh kita yang lain.







Rabu, 19 Agustus 2009

Predikat Taqwa


Dari balik dunia huruf dan angka, langit diatas kepala kita telah menghasilkan ribuan sketsa kata dari orang-orang brillian yang dimiliki penghuni bumi ini. Panca indera kita di wajibkan beradaptasi dengan kemajuan tehnologi agar perputaran waktu tidak mengunci pikiran kita dalam satu dimensi ruang. Telinga kita telah mampu mendengar cerita teman yang berjarak ribuan kilometer, mata kita telah mampu menembus langit menuju beribu galaksi diantariksa akan tetapi kesadaran kita akan keberadaan Sang Pencipta ini tidak pernah beranjak kemana-mana.



Biasanya menjelang Ramadhan dan Syawal, email di banjiri oleh ukiran kata maaf , atau kata sambutan terhadap bulan tersebut. Indikator taqwa tidak hanya puasa. Bahkan dalam rukun Islam, puasa hanya menempati urutan ketiga setelah syahadat dan sholat. Jika kita mau lebih jauh lagi maka ibadah yang pertamakali di hisab adalah sholat bukan puasa

Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah saw., beliau bersabda : "Sesuatu yang pertama kali diperhitungkan pada hamba adalah shalatnya, jika ia menyempurnakannya. Jika tidak (sempurna) maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Lihatlah apakah hambaKu mempunyai (shalat) sunat ?". Jika kedapatan padanya (shalat) sunat, maka Allah berfirman : "Sempurnakanlah fardhu itu dengannya". (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa cerita yang banyak diperdengarkan adalah keutamaan bulannya bukan ibadah puasanya, karena pada bulan itu semua ibadah di perhitungkan beberapa kali lipat , seperti sholat, puasa dan zakat. Bulan Ramadhan adalah bulan latihan kata beberapa ustadz, artinya paraktek dari latihan itu ada di 11 bulan tersisa. Perumpamaan itu jadi rancu karena hampir semua orang lebih senang latihannya ketimbang prakteknya karena memang nilai latihan lebih besar dari pada nilai praktek. Mungkin bagi orang awam seperti kita, bulan ini lebih tepat dikatakan bulan penyucian diri setelah berkotor-kotoran selama sebelas bulan dan mungkin akan seperti itu juga setelah Ramadhan nanti menuju Ramadhan berikutnya, jika tidak percaya tanyakanlah kepada umur kita yang menjadi saksi berapa banyak kita telah berpuasa.

Walaupun tahun terus berjalan, tapi kedewasaan kita dalam berpuasa tidak pernah berkembang, pertanyaan mengenai tatacara berpuasa dan hal-hal yang membatalkan puasa hampir setiap tahun dibahas dengan dalil yang sama, bahkan forwadan email ada yang berulang tahun sampai 3 kali. Teori ibarat anak muda sedangkan faktanya disimpan orang tua kata Edgar Watson dan kita hampir tidak pernah menjadi orang dewasa dalam hal ibadah.


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa” (Al Baqarah ayat 183 ) kata "la'allakum tattakun" agar atau mudah-mudahan kamu bertaqwa , menunjukan bahwa kita memang belum bertaqwa dan kata tersebut selalu berulang setiap tahun, artinya setiap tahun kita harus mempertegas ketaqwaan kita kepada Allah. Karena puasa adalah ibadah rahasia maka kitapun tidak pernah tahu siapa orang yang telah menjelma menjadi orang yang bertaqwa.

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman : "Setiap amal anak Adam baginya selain puasa, puasa itu bagiKu dan Aku membalasnya". Demi Dzat yang diriKu ditanganNya sungguh bau busuknya mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari pada bau kasturi". (Hadits ditakhrij oleh Muslim).

Jika saja semua orang bisa melihat predikat taqwa tersebut maka setiap tahun kita akan jarang menjumpai orang yang banyak bicara tetang ramadhan atau puasa , sebaliknya kita justru akan lebih banyak di suguhkan amalan-amalan yang bisa menggetarkan hati.