Senin, 28 Januari 2008

Misteri Sebuah Doa


Doa adalah sebuah keinginan yang hendak di panjatkan kepada yang tak berhingga dan yang maha meliputi segala sesuatu, sehingga keinginan kepada sesama mahluk tidak bisa disebut sebagai doa. Dalam makna luas jawaban sebuah doa bisa berubah menjadi ketetapan ketika memasuki wilayah sunnatullah. Kita mengistilahkan sunnatullah sebagai hukum alam, dan kita mengenal banyak sekali hukum alam seperti hukum sebab akibat, hukum gravitasi bumi, hukum kekekalan energi, dan seterusnya. Didalam bukunya "The Screet" Rhonda Byrne menyebutkan bahwa ketika kita menginginkan sesuatu yang kita siratkan dalam hati dan kita fokuskan dengan fikiran maka apa yang kita fikirkan akan tertarik kearah kita, dia meyebutnya sebagai hukum tarik menarik (The law Of Attraction), hal senada juga dinyatakan oleh Erbe Sentanu dalam bukunya Quantum Ikhlas.

Terkabulnya sebuah keinginan jika dipandang dari sudut agama harus melewati berbagai kriteria dan prosedur seperti ketaqwaan, waktu berdoa, tempat berdoa dan sebagainya ,tatacara seperti ini memang ada pada semua agama dan banyak doa-doa dari para pemuka agama tersebut terkabul walaupun tuhan yang diyakini mereka berbeda-beda. Pertanyaannya adalah siapa yang mengabulkan doa tersebut ?

Di dalam hadist qudsi Allah SWT menyatakan bahwa " Aku tergantung bagaimana anggapan / prasangka hamba ku" dan "mintalah kepadaku maka akan aku kabulkan". Allah tidak pernah mensyaratkan terkabulnya sebuah doa tetapi kitalah yang membuat aturan-aturan tersebut yang mengakibatkan seperti ada jarak diantara kita. Disamping itu kita sudah dibiasakan memakai doa-doa yang sudah ada, walupun kita banyak tidak mengerti artinya tetapi tetap saja kita panjatkan. Doa tidak lagi berasal dari keinginan hati yang paling dalam tetapi berubah menjadi ritualitas. Jadi salahkah Allah SWT tidak mengabulkan doa kita ? dan lebih mengabulkan doa-doa umat lain ?. Ketika keyakinan kita akan terkabulnya doa sangat tinggi, bisa jadi apa yang disebut sebagai hukum tarik menarik menjadi kenyataan. Erbe Sentanu dalam Quantum Ikhlas menyebutkan bahwa ketika seseorang berkeinginan kaya tetapi hatinya mengatakan tidak mungkin , maka yang terjadi adalah dia tidak mungkin kaya, karena tuhan lebih melihat apa yang ada dihati ketimbang yang di niatkan didalam fikiran. Sama seperti ketika seseorang sakit dan dia berkeinginan sembuh sambil membayangkan bagaimana suasana ketika dia sembuh maka kesembuhan akan datang kepadanya, sebaliknya ketika orang tersebut menginginkan sembuh tetapi yang dia rasa dan bayangkan adalah penyakitnya maka penyakitnya yang akan terus mendatanginya. sehingga bisa disimpulkan bahwa sebuah doa harus disertai dengan keyakinan bahwa doa tersebut pasti terkabul.

Jawaban sebuah doa sebenarnya sudah ada bahkan sewaktu kita berdoa, karena Allah terlepas dari dimensi waktu. Apa yang menurut kita kemaren, hari ini, esok lusa adalah sekarang bagi Allah SWT, bahkan semenjak kita lahir sampai kita meninggal dunia hanya beberapa menit bagi ukuran malaikat, karena satu hari di alam malakut (alam malaikat) sama dengan 1000 tahun alam dunia. Ketika Allah SWT mengatakan "Kun fa yakun" tidak bisa kita artikan 'terjadi maka terjadilah' akan tetapi 'terjadi maka berproseslah agar menjadi', sama seperti ketika Allah berkata "kun" kepada janin maka kata "fa yakun" terjadi sembilan bulan kemudian bagi ukuran kita. Kembali ke pada masalah doa, jadi ketika kita berdoa berprasangka baiklah kepada Allah bahwa doa kita telah dikabulkan karena memang jawaban atas doa kita telah tersedia
.

Rabu, 23 Januari 2008

Yang Berakal dan Yang Berfikir


Kita sering mendengar kata "akal pikiran " ketika kita terbentur dengan suatu masalah yang berhubungan dengan logika, akan tetapi dalam islam akal dan pikiran merupakan substansi yang berbeda. Kata akal sering disebutkan dalam al Qur'an ketika Allah SWT berbicara mengenai kebenaran, baik itu kebenaran dalam bersikap maupun kebenaran dalam penciptaan (alam semesta ). Kata akal lebih tepat disandingkan dengan kata nurani , karena nurani lah yang lebih sering dihadapkan pada pilihan baik , buruk, benar , salah, meragukan atau meyakinkan, dan hasil dari pilihan inilah yang sering disinggung oleh Allah SWT dengan kata "kaum yang berakal atau yang mau menggunakan akalnya " , perhatikan ayat-ayat berikut


Al Maidah ayat 58 "Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal"

Asy Syuraa ayat 28. " Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal."


Az Zumar ayat 18. "yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal"

Kata "mempergunakan akal " atau " mempunyai akal " tidak harus langsung dihadapkan dengan serangkaian logika yang mengharuskan kita berfikir akan tetapi kita diajak merenungkan dengan hati nurani yang merupakan fitrah yang dimiliki oleh manusia semenjak dia lahir, sehingga bisa disimpulkan sebodoh apapun dia ketika dia menggunakan nurani maka dia akan bisa membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah dan seterusnya dan seterusnya. Didalam ilmu psikologi , nurani dikenal dengan istilah EQ (Emotional Quotient) dan tidaklah benar jika dikatakan bahwa orang yang berakal adalah orang yang cerdas,pintar atau jenius.

Untuk menunjang fungsi akal Allah SWT memberikan kita fikiran ketika kita berhadapan dengan logika dan angka-angka dalam menganalisa seperti ketika kita membaca ayat-ayat mutasyabihat yang masih memerlukan penalaran lebih dalam dan eksplorasi ayat-perayat dan ayat dengan alam semesta (sunnatullah) seperti yang terdapat dalam surat Ar Rahman ayat 37. "Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak."
Perumpamaan yang paparkan dalam Al Quran tersebut akan menjadi sekedar perumpamaan jika tidak di telaah lebih lanjut. Namun setelah sekian abad berlalu di temukan melalui teleskop huble bahwa di luar angkasa telah terjadi ledakan galaksi beberapa juta tahun cahaya yang memancarkan kilauan cahaya nebula yang mirip dengan bunga mawar merah yang mengkilap. Keberadaan fikiran ini didalam psikologi dikenal dengan istilah IQ (Intelegent Quotient).

Rangkaian kejadian yang melibatkan akal dan pikiran tidak serta merta menumbuhkan sebuah kesadaran. Karena kesadaran memiliki dimensi tersendiri yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan istilah "ngeh". Sewaktu seseorang dipanggil sholat maka nuraninya mengiyakan artinya akalnya setuju, kemudian pikirannya berusaha memunculkan kembali ayat-ayat yang tersimpan didalam memori lalu terjadilah sebuah gerakan dan bacaan yang teraturdan ketika setelah selesai sholat ditanyakan apakah tadi "nyambung" sama yang diatas ? maka akan muncul keraguan untuk mengatakan iya, nah itulah yang kita sebut dengan belum 'ngeh' atau kesadaran kita belum utuh. Kesadaran akan zat penguasa alam semesta (power beyond universe) diistilahkan SQ (Spiritual Quotient) oleh ilmu psikologi. Sinergi Intelegensi, emosi dan spiritual di dalam alquran diahiri dengan Yakkiluun (yang berfikir) , Yatafakkaruun (yang merenung) , Yazakkaruun (yang mengingat)

Rabu, 16 Januari 2008

Hubungan Antara Pemahaman, keyakinan dan kemampuan untuk melaksanakan


Berapa banyak informasi atau ilmu pengetahuan yang telah kita dapat hari ini ? Apakah informasi atau ilmu pengetahuan tersebut menambah keyakinan kita akan sesuatu atau sekedar menambah file pada memori otak kita ? Apakah pekerjaan atau karya atau sesuatu yang kita lakukan saat ini berdasarkan informasi atau ilmu pengetahuan yang didapat pada waktu lalu atau ide yang muncul seketika atau hanya sekedar pengulangan dari sebuah rutinitas ? Apakah sesuatu yang telah kita ketahui dan pahami kemudian kita yakini secara otomatis merubah perilaku kita ? jika tidak lalu apa fungsi dari pemahaman dan keyakinan yang telah kita peroleh ?

Alasan untuk melempar batu tidak secara otomatis membuat batu tersebut berpindah tempat, karena alasan atau sebab bukanlah merupakan sebuah energi gerak tetapi pembangkit energi gerak sebagai contoh pembangkit tenaga listrik berbeda dengan listrik, demikian pula listrik dan bola lampu berbeda walaupun ketiganya mempunyai keterkaitan mutlak, karena jika kita urut mundur maka tidak akan ada gunanya bola lampu tanpa listrik dan listrik tidak mungkin ada tanpa pembangkit tenaga listrik. Seperti itupulalah posisi pemahaman dan keyakinan serta melaksanakan yang diyakini merupakan suatu kesatuan substansi yang mempunyai fungsi berdiri sendiri.

Dalam khasanah keberagamaan dinegeri kita ini orang-orang yang berilmu dan mempunyai kemampuan dalam memperkuat bahkan merubah keyakinan orang lain , banyak terhenti hanya pada mewacanakan apa yang telah dia pahami dan yakini. Tidak banyak yang mampu meneruskan pada merubah perilaku dan ahlak diri apalagi orang lain. Perhatikanlah para pendakwah yang bertebaran dan buku-buku agama yang berserakan tidak mempu berbuat banyak terhadap kemaksiatan dan kemerosotan ahlak, tampaknya seperti ada skenario lain yang menghendaki agar kita hanya pintar berwacana.

Disisi lain tampak bahwa apa yang telah kita lakukan tidak menunjukan pada apa yang telah kita pahami dan ketahui. Apakah seorang perokok tidak mengetahui bahaya rokok ? dia tahu , akan tetapi ada kehendak lain yang menghalangi pengetahuan tersebut sehingga akal tidak bekerja secara semestinya jika pun bekerja maka akal hanya mencari pembenaran dari pekerjaan kehendak tersebut. Penampikan fungsi akal dan pemahaman seperti ini juga tergambar dalam Al Qur'an surat Al Anbiyaa 65-66 dimana nabi Ibrahim memposisikan patung besar dalam menghancurkan patung kecil yang telah dilakukannya
...."Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara." Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?"

Pada hakekatnya apapun yang telah kita pahami dan yakini maka diserahkan kepada Allah SWT agar hati kita dialiri kehendak dalam melaksanakannya seperti tergambar dalam surat Ath Thalaaq ayat 3........ Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu

Penempatan sebuah akal


Apakah yang sedang di perbuat akal kita saat ini.............?

Akal adalah mahluk ciptaan Allah yang di tempatkan bersama ruh dan An Nafs pada jasad kita. Akal berfungsi sebagai pengendali nafsu agar ruh tetap pada fitrahnya yaitu nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang). Ketika kita memfungsikan akal kita tidak sesuai dengan kemauan Sang pencipta akal maka ruh pun kehilangan fitrahnya dan perlahan nafsul mutmainnah mulai tergantikan dengan nafsul lawwamah dan nafsul amarah padahal Allah SWT menginginkan agar akal itu membawa kita kepadaNya dalam sebuah hadist qudsi di riwayatkan

Tatkala Allah SWT menjadikan akal, Allah berkata kepada akal "datanglah mendekat, maka menghadaplah akal itu, kemudian Allah berkata kepadanya" berangkatlah" maka akal pun pergi Allah berfirman "Tidak ada mahluk yang aku jadikan yang lebih aku cintai melebihi engkau, dengan engkau aku mengambil dan dengan engkau pula aku memberi " (riwayat Abdullah bin Ahmad dari Hasan dan At Thabrani dari Abu Hurairah)

Tetapi saat ini akal lebih sering kita pergunakan untuk mengejar dunia, sehingga akal tidak lagi bisa membedakan untuk apa tujuan hidupnya Imam ghozali meriwatkan hadist qudsi dalam kitab mukassyafatul qulub : Allah berfirman, "Hai Muhammad tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan Dia menanyakan "Apakah engkau suka kalau gunung itu aku jadikan emas untukmu ?" kata malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terdiam sesaat lalu kemudian berkata" Ya Jibril sesungguhnya dunia itu adalah kampung bagi orang tak berkampung, harta bagi orang yang tidak berharta dan berkumpul baginya orang-orang yang tidak berakal " lalu Jibril berkata "semoga engkau tetap teguh pada pendirianmu itu "

Allah sering memberikan perumpamaan kehidupan dunia ini agar akal bisa kembali tersadar seperti dalam surat Az-Zumar ayat 21 Allah kembali mengingatkan

"Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal"

Mari sejenak kita perhatikan apa yang sedang di kerjakan akal kita saat ini, apakah bermain dengan angka-angka, planing-planing, target ..........apapun itu silahkan cium ....bukankah hampir 100 % berbau dunia.

Mencari Sebuah kekhusyukan


"Sholatlah kamu karena sesunguhnya sholat bisa mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar", kalimat tersebut mungkin tidak asing di telinga kita , kalimat yang mungkin sering didengungkan oleh para penceramah, khotib atau para ustadz baik yang udh kondang atau yang belum, pertanyaanya adalah apakah sholat kita sudah mampu mencegah kita dari yang mungkar dan mengajak kita kepada yang ma'ruf ? pastilah kita akan sulit menjawab, dan itu merupakan hal yang lumrah karena memang doktrin beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan lain-lain terpatri di dada kita sebagai sebuah kewajiban, dan kewajiban itu mau gak mau harus dilaksanakan dengan cara yang kita mengerti (alakadarnya) sehingga secara pribadi jika kita ditanya manfaatnya maka hasilnya tidak ada selain rasa capek walaupun dimulut akan muncul pernyataan idealis dari hakikat sholat yang sebenarnya kita sendiri gak pernah paham.

Pernahkah kita sholat sambil menangis atau paling tidak melihat orang lain sholat sambil menangis, apakah bisa kita katakan sholat itu khusyuk ? bisa jadi ya bisa juga tidak tapi banyak para ulama mengatakan bahwa ulama-ulama terdahulu (shalafus sholeh) sering menangis dalam sholatnya, sehingga jika kita buat kesimpulan sederhana bahwa menangis bisa membuat kita menjadi khusyuk. Tangisan di timbulkan oleh rasa haru baik berupa penyesalan, kekecewaan, kebahagian yang ingin di salurkan atau di lampiaskan atau di adukan pada seseorang atau sesuatu sehingga menimbulkan ketenangan di hati. Intinya adalah rasa haru di dada membutuhkan tempat mengadu atau bersandar walaupun tidak ada kata-kata yang keluar karena adakalanya ketika seseorang menangis dia tidak mau mengungkapkan masalahnya hanya ingin menumpahkan rasa haru tersebut. Ketika seseorang membutuhkan tempat untuk bersandar dan dia melakukan sholat dengan tujuan bersandar kepada Allah SWT maka pada saat itu muncul rasa IHSAN, rasa melihat, membutuhkan atau diperhatikan oleh Allah SWT dan rasa inilah pintu dari sebuah kekhusyukan.

Tapi apakah kekhusyukan mesti menunggu seseorang bermasalah sehingga ada rasa haru yang harus di lepaskan dengan cara sholat ? tidak mesti seperti itu menangis hanyalah untuk memunculkan rasa IHSAN, jika rasa ini sudah sering muncul maka tangisan akan hilang dengan sendirinya tergantikan dengan dzikir karena IHSAN=DZIKIR akan tetapi bagi seseorang yang memang sulit khusyuk dalam sholat menangis adalah jalan terbaik walaupun banyak orang menampikkan hal ini di karenakan ego yang mengkristal didalam hati. Kristal-kristal ini akan berubah menjadi karang yang sangat sulit di hancurkan walupun dengan wirid ribuan kali. Rasakanlah perbedaanya ketika ada rasa haru yang tak tertahankan sehingga kita menumpahkannya dengan menangis dalam sholat yang membuat tubuh kita luruh bersimpuh di hadapan sang maha pencipta dan bandingkan dengan jika kita mencoba berkonsentrasi memusatkan seluruh perhatian berharap kita bisa mengkhusyukan diri. Sholat sulit untuk di khusyuk-khusyukan karena kekhusyukan muncul dari rasa bukan fikiran. Semakin kita mencoba memusatkan fikiran semakin memberontaklah fikiran kita mengelana entah kemana sehingga sewaktu sholat kita sibuk mencari cara khusyuk di dalam fikiran dan melupakan kekhusyukan itu sendiri dan melupakan untuk siapa kita khusyuk.

Pada saat sekarang ini banyak kita temukan buku atau pelatihan cara sholat khusyuk yang diambil dari pengalaman spritual si pelatih atau si penulis buku dengan harapan cara-cara yang di munculkan bisa di terapkan juga pada orang lain. Kekeringan dan kegersangan spritual maupun kepenatan hidup membuat pelatihan-pelatihan ini menjadi tumbuh subur. Bahkan belakangan ini pelatihan ini justru di dominasi oleh menengah keatas yang mulai jenuh dengan pola hidup gaya metropolitan dan beralih mencari pelatihan penenang jiwa semacam yoga, meditasi, dzikir dan juga sholat khusyuk, sehingga tidaklah mengherankan jika kita jumpai pelatihan ini berlangsung di hotel-hotel mewah dengan harga yang cukup mahal. Sementara itu disisi lain banyak sudah masjid megah di bangun tanpa penghuni yang mungkin penuh hanya sekali dalam seminggu (jum'at), banyak jama'ah nya yang sholat seperti di kejar waktu berlomba dengan dunia , sholat sudah tidak lagi menemukan ruhnya, dan seolah-olah ruh sholat pindah kehotel-hotel mewah. Makna kekhusyukan sekarang telah menjadi bias.

Kekhusyukan semestinya dilandasi dengan syariat yang telah di terapkan sebelumnya, fenomena seseorang mencari ketenangan dengan mendekatkan diri pada tuhan dengan berbagai metode adalah syah-syah saja selama tidak meninggalkan aturan yang telah di tetapkan sebelumnya. Sebaik-baiknya tempat ibadah adalah masjid dan sebaik-baiknya sholat adalah dengan berjama'ah. Ketika kekhusyukan diletakan pada tempat yang benar maka cerminannya terlihat justru bukan pada saat ibadah ritual tetapi ketika berinteraksi dengan masyarakat atau orang lain dan cermin itu bernama ikhlas, tawadhu, qona'ah, istiqomah, amanah dan lainnya yang merupakan cermin dari ahlak Rasulullah SAW. Sebab jika kekhusyukan hanya pada sebatas mencari ketenangan jiwa, maka kekhusyukan pun selesai pada saat ritual di lakukan dan ini tidak ada bedanya dengan umat hindu, budha dan agama lain, kekhusyukan seperti itu bernama meditasi, yoga, tapabrata,nyepi dan lain-lain yang bersifat sangat personal baik sebelum maupun sesudah beribadah. Hal itulah yang membedakan umat Islam dengan umat lain sehingga Allah SWT menyebutnya sebagai Khairu Ummah (ummat terbaik).

Jika pada saat ini banyak kita temukan pengajian-pengajian, dzikir berjama'ah dan disisi lain kemaksiatan merajalela dan di lumrahkan sebagai bagian dari peradaban kebudayaan maka sudah saatnya kita mencari kekhusyukan yang telah lama hilang dan di kembangkan oleh agama lain dan di kemas sebagai sebuah komoditi yang bernama "Program relaksasi " atau penenang jiwa.

Selasa, 15 Januari 2008

Berjalan Pada Sebuah Pemahaman


Banyak sudah hari kita lewati tanpa penuh arti
apakah manfaat kemaren bagi hari ini
bukankah hari esok juga kemaren bagi esok lusa
kita seperti terjebak oleh waktu

Pernahkah kita menyadari bahwa apa yang kita ketahui tidak semuanya kita mengerti dan apa yang telah kita mengerti tidak semua di pahami dan apa yang telah kita pahami tidak semua di yakini. dan terkadang apa yang telah kita yakini pun tidak semua kita ketahui.

Kita mengetahui adanya penciptaan alam semesta tetapi kita tidak mengerti maksud dari penciptaan keseluruhanya. Ketika kita membaca terjemahan Al Qur'an kita mengerti artinya tetapi tidak paham makna yang terkandung di dalamnya sehingga bacaan tersebut kurang membekas pada keseharian kita. Kita memahami bahwa qada dan qadar ada di tangan Allah dan semua yang terjadi di muka bumi telah sesuai dengan ketetapan Allah tetapi kita kurang meyakininya , hal ini terbukti dimana ketika Allah memberikan cobaan kepada kita, kita seperti tidak bisa menerima dan terkadang sering berputus asa. Disisi lain kita meyakini keberadaan Allah tetapi tidak tahu dimana Dia berada.

Proses mengetahui, mengerti , memahami dan meyakini adalah sebuah alur proses menelaah sebuah informasi dari luar dan di olah didalam diri melalui sebuah rasio dan penalaran (akal), tetapi terkadang kita sering memisahkan ke 4 proses tersebut satu persatu tanpa pernah mau menyatukan nya mejadi satu keutuhan ilmu sehingga ilmu yang kita peroleh tidak banyak memberikan manfaat kepada batin atau ruhani kita apalagi sampai bisa mencerahkan hati orang lain , mungkin sangat sulit dilakukan.

Mungkin saja pelaksanaan ibadah yang sering kita lakukan sehari-hari hanya sampai pada satu proses saja yaitu mengetahui. maka terjadilah sebuah kegersangan ibadah yang menjadikannya sebuah metafora surga dan neraka atau pahala dan dosa , tidak lebih. Pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri apakah kualitas ibadah kita ada peningkatan dari tahun ke tahun ? bukan lagi berkutat pada masalah sholat atau tidak sholat, puasa atau tidak puasa, sedekah atau tidak sedekah, ngaji atau tidak ngaji (menuntut ilmu) , tetapi lebih dalam lagi mulai menyentuh pada hakikat sholat, puasa, sedekah, menuntut ilmu dan lain-lain ?

Bagaimanakah sebenarnya cara kita memasuki setiap proses pengolahan informasi sehingga menimbulkan keyakian yang dalamdan mampu merubah cara pandang kita menjadi lebih baik ? Indera mata dan telinga kita hanya mampu memberikan pengetahuan dan pengertian yang bersifat deskriptif atau gambaran umum dan ketika kita hendak beranjak pada sebuah pemahaman kita di hadang oleh rasio dan penalaran mengenai informasi yang masuk. Proses ini melibatkan logika dan analisa , Hasil dari analisa inilah yang menyajikan kesimpulan yang berujung pada timbulnya keyakinan.

Sebagai contoh ketika kita duduk iftirasy (duduk diantara dua sujud) kita tahu kita membaca doa dan anggaplah kita mengerti artinya (bagi yang belum alangkah lebih baik di hafalkan) tapi apakah kita paham maksudnya ? Jika kita paham tidak mungkin kita tergesa-gesa dalam membaca doa tersebut "rabbir firli,, warhamni, waz.....dst " tanpa ada jeda . jadi sangat wajarlah Allah SWT tidak mengabulkan doa kita tersebut karena kita membaca dengan asal-asalan hanya menganggap bacaan laksana mantera tersebut sebagai bagian dari sholat tidak lebih. Kita tidak seperti orang yang sedang meminta dengan nada penuh harap ......"ya Allah ampunilah aku.....kasihanilah aku.....sayangilah aku....dst " tetapi datar alakadarnya seperti ada anggapan "dikabulkan ya syukur gak dikabulkan ya ngga apa-apa ".......benarkah seperti itu ? atau memang kita harus mengakui kalau selama ini kita belum paham maknanya.

Telah lama kita termakan doktrin-doktrin agama yang tidak bersifat membangun kesadaran diri melainkan hanya terfokus pada masalah ritual dengan beragam bacannya . Sehingga setiap ibadah kita tidak jauh dari sekedar perhitungan baik itu pembalasan siksa maupun pemberian syurga. Sebenarnya jika kita rombak pemahaman kita tidak ada yang salah dari doktrin yang terpatri di ingatan kita, yang kurang benar adalah cara kita menyikapinya atau menerapkannya. Sebagai contoh membaca Al-Qur'an adalah berpahala kemudian otak kita tidak memproses lebih lanjut dan berhenti sampai disitu dan jadilah kita disibukan dengan bacaan teks-teks belaka tanpa mau tau maknanya. Mari kita buat pertanyaan sederhana sudah berapa kali kita meng-khatamkan Al Qur'an seumur hidup kita ? mungkin ada yang sudah 100 kali, 50 kali atau 10 kali.....kemudian pertanyaan di lanjutkan sudah berapa kali kita meng-khatamkan terjemahan Al Qur'an (pertanyaan ini tidak berlaku bagi yang sudah bisa bahasa Arab/ bahasa Al Qur'an) jika jawabnya belum bukankah itu ironis sekali , kita membaca sesuatu yang kita tidak pernah tau artinya dan berharap Allah SWT melimpahkan rahmatnya berupa pahala (agama lain bisa tepuk tangan melihat tingkah kita karena mereka telah berhasil mengeksplorasi makna Al Qur'an sampai keplanet mars ).

Ilmu pengetahuan membuat kita menjadi mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak tahu, ketika ilmu tersebut masuk kita kemudian mencerna melalui serangkaian logika agar kita bisa mengerti dan setelah mengerti kita kemudian melakukan analisa agar kita paham metode yang di gunakan dalam kaidah ilmu tersebut, dan setelah memahami kita kemudian mencoba menerapkannya dan melaksanakannya dengan penuh keyakinan, sempurnalah ke 4 proses tersebut pada diri kita dan hal ini bisa di terpkan pada disiplin ilmu apapun termasuk ilmu agama.

Senin, 14 Januari 2008

Agama adalam kerangka Berfikir


Apakah fungsi agama dalam hidup ? apakah agama hanya sebagai simbol keberadaan tuhan dengan segala aturannya , atau agama di ciptakan oleh manusia sebagai pelarian dari rangkaian kejumudan berfikir , Karen Amstrong penulis buku "sejarah tuhan" mengatakan "...jangan pernah kecewa jika setelah mencari ternyata tuhan memang tidak pernah ada " dia mengatakan bahwa tuhan adalah hasil imaginasi manusia disaat manusia tidak mempunyai lagi tempat bersandar dari segala permasalahan hidupnya.

Apakah agama yang kita miliki adalah bagian dari proses berfikir kita atau bagian dari kemalasan berfikir (warisan) ? jika dalam proses berfikir orang sering gagal apalagi hanya mewarisi sebuah tradisi beragama seperti kebanyakan orang saat ini . Akan tetapi banyak juga yang terperangkap dalam pola pikir materialis yang beranggapan bahwa tidak ada keberadaan di luar materi, padahal terbentuknya sebuah materi pun melalui proses sebab akibat dan bisa saja proses tersebut berasal dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada atau kebalikannya sesuatu yang ada suatu ketika menjadi tidak ada, pertanyaannya adalah siapakah yang menjalankan mekanisme proses tersebut ? apakah alam semesta yang disebut dengan hukum alam atau memang ada kekuatan lain yang menggerakkan alam semesta sehingga tidak ada sesuatupun yang tercipta secara kebetulan ? teruslah berfikir karena tidak ada keyakinan yang kokoh yang bisa di peroleh tanpa proses berfikir tidak terkecuali masalah agama.

Ada Apa Dengan Takdir


Ketika seseorang bicara masalah takdir, maka secara tidak langsung dia telah masuk kearea perdebatan panjang ratusan tahun yang silam yang bahkan telah memecah ummat islam menjadi beberapa golongan. Setiap golongan memang menggunakan dalil masing-masing dalam mendukung pendapatnya sehingga implikasi yang tampak adalah dalil mendukung akal dan bukan akal yang tunduk pada dalil karena memang dalil masih memerlukan penafsiran lebih lanjut dan ini jelas wilayah akal kecuali merujuk pada ayat-ayat muhkamat (sudah jelas).

Kayakinan akan takdir merupakan rukun iman yang ke enam sehingga jika seseorang mengatakan percaya pada takdir tetapi tidak bisa menjelaskan apa yang dia percayai tersebut merupakan kebodohan dalam beragama dan Islam sulit menerima orang-orang seperti ini jika tidak mau disebut sebagai agama taklid buta (mengikuti tanpa tau arah). Jika lah kita memang berstatus mengikuti karena belum sanggup berijtihad (melakukan kajian/ analisa) sendiri maka status nya adalah 'itiba (mengikuti dengan mengetahui arah yang di ikuti), namun demikian tetap saja pemahaman akan takdir tersebut sangat diperlukan agar takaran kita dalam menjalani hidup bisa lebih jelas karena menurut Qurais Sihab takdir sendiri secara bahasa terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Agus Mustafa dalam bukunya "Mengubah takdir " berpendapat bahwa Allah mempunyai dua ketetapan, ketetapan pertama disebut qadar yaitu yang dibawa sejak lahir oleh setiap orang. Seseorang diberikan oleh Allah kesempatan untuk merubah takdirnya atau berusaha menyelaraskan dengan qada Allah, dan hasil dari usaha tersebutlah disebut takdir Allah atau disebut ketetapan kedua (terakhir). Hasil tidak mesti baik karena pertimbangan baik buruknya adalah kehendak Allah. Kehendak Allah ini dititipkan kepada manusia melalui qada sehingga manusia diperintahkan untuk berusaha merubah nasibnya sendiri seperti terkandung dalam Surat Ar Ra'd ayat 11 ......."Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."....

Namun demikian jika kita tinjau dari sudut hadist ada kecenderungan bahwa usaha yang kita lakukanpun sudah merupakan bagian dari takdir Hadis riwayat
Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah saw. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga . Sahih Muslim : 4781

Hadis riwayat
Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Pernah Adam dan Musa saling berdebat. Kata Musa: Wahai Adam, kamu adalah nenek moyang kami, kamu telah mengecewakan harapan kami dan mengeluarkan kami dari surga. Adam menjawab: Kamu Musa, Allah telah memilihmu untuk diajak berbicara dengan kalam-Nya dan Allah telah menuliskan untukmu dengan tangan-Nya. Apakah kamu akan menyalahkan aku karena suatu perkara yang telah Allah tentukan empat puluh tahun sebelum Dia menciptakan aku? Nabi saw. bersabda: Akhirnya Adam menang berdebat dengan Musa, akhirnya Adam menang berdebat dengan Musa Sahih Muslim : 4793

Kaum Sunni beranggapan bahwa ketika seseorang belum mengetahui takdir nya maka wajib atasnya berusaha dalam hidupnya walaupun hasilnya baik atau buruk telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sepintas ada yang beranggapan bahwa paham kaum sunni ini sangat bersinggungan dengan paham jabariyah yang menganut paham bahwa segala tindak tanduk manusia telah diatur sepenuhnya oleh Allah SWT sebelum manusia itu dilahirkan sehingga manusia hanyalah berlaku layaknya sebuah wayak yang sedang di gerakkan oleh sang dalang. Namun akal terkadang menghadang kepercayaan ini dan hal ini tergambar dalam sikap umar ketika hendak memasuki kampung yang terkena wabah penyakit, maka umar menghindar dan menempuh jalan lain , kemudian sahabat bertanya " wahai umar kenapa engkau takut memasuki kampung itu apakah engkau takut dengan takdir Allah ? " , " tidak " kata umar " aku sedang mencari atau berjalan pada takdir Allah yang lain"

Sebenarnya jika kita bercermin pada sikap Rasulullah SAW maka tidak kita temukan satupun dalil yang menunjukkan sikap pasrah pada nasib atau terlalu optimis dalam berusaha akan tetapi beliau selalu berusaha menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah SWT sehingga jika beliau berhasil maka beliau bersyukur dan bila gagal beliau sabar inilah yang disebut dengan tawakkal, seperti itu pulalah semestinya cermin yang kita gunakan sehari-hari dalam mendapatkan ridha Allah SWT.

Jumat, 11 Januari 2008

Sebuah Pembenahan


Banyak informasi yang telah kita peroleh dari berbagai media dan tanpa bisa kita hindari cara berpikir kita terpola dari informasi yang kita peroleh. Ketika kita membaca sebuah perjalanan hidup seseorang dan kita merasa bahwa banyak pelajaran yang bisa di petik dari hidup orang tersebut dan berusaha mencocokan metode jalan keluar masalah orang tersebut dengan masalah kita dan ternyata variablenya tidak selalu sama. Pembelajaran dari hidup orang lain bisa jadi hanya sekedar menjadi wacana dalam nuansa pikir kita karena memang variabel yang mempengaruhi hidup seseorang itu bisa beratus bahkan beribu cara.


Namun konsep orang lain bisa jadi file dalam memori untuk suatu ketika di munculkan sewaktu di perlukan walaupun dalam standar yang berbeda. Tetap pembenahan dari diri sendiri adalah yang utama sehingga pencarian apapun dari luar diri tidak bisa secara utuh menghiasi diri

Kamis, 10 Januari 2008

Dibalik Sebuah Nama


Sesuatu dikatakan ada karena ada yang tiada, Seorang buta tidak mengenal warna hitam walupun dia berada dalam kegelapan karena sifat warna telah fana pada dirinya. Ketika kita melempar roti di pabrik tempe maka dia menjadi sebuah nilai dan ketika roti tersebut di lempar ke pabrik roti maka nilainya menjadi hilang fana dalam rupanya sendiri. Berlakulah tiada walau segala penjuru menganggap kita ada, karena jika kita merasa berada lalu orang lain harus dianggap siapa ? Runtuhkanlah bisa walau penjuru menganggap kita segala bisa, jika kita merasa ber-bisa lalu karya orang kita anggap apa ? Keluarlah dari diri untuk mencari sang diri karena cermin sudah lama hanya menampilkan rupa menarik hati. Seorang pemain bola akan selalu merasa benar jika berada dilapangan dan ketika rekaman permainannya ditampilkan ulang maka dia bersembunyi dibalik kata "jika saja" , "andaikata", "umpamanya" dan terus saja menawar waktu.

Jika saja seluruh manusia tanpa nama, maka kita tidak akan pernah tahu siapa diri kita, akan tetapi entitas kebaikan dan keburukan juga ikut menjadi bias sehingga tidak dikenal lagi pejabat maupun penjahat, segala normapun ikut bias dibalik ketidak jelasan sebuah identitas, maka suka atau tidak suka yakinlah kita betapa berartinya sebuah nama walaupun kita juga enggan tenggelam bersamanya.

Penjelmaan Sebuah Nilai Menjadi Materi




Konteks pahala dan dosa tercipta karena adanya sebuah nilai dan nilai tersebut merupakan cerminan dari sebuah perilaku. Perubahan sebuah perilaku dengan iming-iming imbalan sudah merupakan sesuatu yang dilumrahkan pada saat sekarang ini. Sebagai contoh ketika seorang anak disuruh oleh orang tuanya pastilah ada iming-iming imbalan baik berupa uang, makanan, mainan atau berupa ajakan ketempat rekreasi dsb. sehingga tidaklah mengeherankan jika Allah SWT juga melakukan hal tersebut terhadap kita melalui perilaku kita sendiri yang notabene nya justru untuk kita sendiri melalui konteks pahala.

Nilai pahala pada saat sekarang ini tidak lagi bersinggungan sepenuhnya dengan perilaku tetapi sudah bercampur dan menjelma menjadi sebuah materi dan bisa juga di transfer seperti halnya rekening di bank. Sebagai contoh yaitu tahlilan yang sering di gelar sewaktu ada orang yang meninggal dunia dengan harapan si pelaku tahlil bisa mentransfer pahala bagi si mayit , sah kah ? banyak perbedaan pendapat mengenai hal ini akan tetapi jika hal ini kita sandarkan kepada materi apakah transfer tersebut masih berlaku ? seperti mengundang para kiyai yang berbeda setiap hari selama sebulan penuh mendoakan simayit , berhubung simayit orang kaya didatangkanlah beberapa orang kiyai ternama untuk mentrasfer pahala melalui zdikir, tahlil , yasinan dan seterusnya dan seterusnya , pertanyaannya sah kah ? andalah yang menilai . Contoh lain adalah mengirim email mengenai sebuah anjuran atau ajakan atau bacaan yang jika dikirimkan kepada orang lain akan berpahala karena bersandarkan pada hadist nabi "Balagu Anni walau ayya" sampaikanlah walau hanya satu ayat. Jika kita berhasil memforward 10 email kepada 100 orang dalam sehari maka bisa di bayangkan 1000 pahala didapatkan dalam satu hari, jika pekerjaan ini dilakukan setiap hari maka bisa dibayangkan syurga penuh oleh orang-orang pengguna email. terlalu absurd bahkan bisa dibilang naif karena orang lebih senang menyampaikan dari pada melaksankan ....toh pahalanya hampir sama.

Nilai-nilai ahlaqiyah yang di wariskan oleh para nabi saat ini banyak yang sudah tergadai oleh nilai materi, banyaknya pembangunan masjid yang bertebaran di Jakarta sangat sulit untuk tidak dikatakan sebagai salah satu wadah perwujudan materi berupa pahala berlipat ganda, apakah itu salah ? tentu saja tidak, tetapi bukalah hati kita untuk bersikap jujur bahwa pada kenyataannya nilai-nilai ahlak tidak banyak beranjak dari tempatnya. Kita ambil suatu contoh logika lain dari perwujudan materi yang sia-sia, yaitu jemaah haji dari indonesia setiap tahun lebih dari 100 ribu orang dan jika kita mundur dari 10 tahun kebelakang berarti telah 1 juta orang indonesia menyentuh tanah suci, dan lihatlah kaitannya dengan perkembangan ahlaq di Indonesia 10 tahun belakangan ini, korupsi, kolusi, penipuan, pembunuhan semakin menggila, lalu dimanakah aplikasi dari keberkahan jamaah haji kita ini , bukankah 1 kebaikan mendatangkan 10 kemakmuran, 10 kesejahteraan dan lainnya lalu bagaimana dengan 1 juta kebaikan yang telah di peroleh ummat islam indonesia dari jamaah haji 10 tahun belakangan ini ?

Episode kehidupan terus berlalu, kebaikan dan keburukan mulai tersamar, kecerdikan dan kebodohan telah bias, hanya kepentingan yang terus membekas.