Rabu, 24 Desember 2008

Cukup Memulai dari Mengartikan

Banyak orang melupakan bahwa bunyi baik itu berupa kata atau nada pertamakali berinteraksi bukan dengan fikiran tetapi dengan telinga. Dan fitrah telinga adalah mendengarkan sesuatu yang merdu atau sesuatu yang enak didengar. Terlepas dari manfaatnya, secara jujur pasti telinga atau kuping memilih mendengarkan musik yang menyejukan ketimbang pengajian yang membosankan, sehingga siapapun dia yang ketika ingin berkomunikasi atau ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain semestinya juga menguasai kekuatan intonasi kata atau nada.  Kekuatan yang memerintah dunia memang bukanlah  kata-kata, tapi dengan kata-katalah seseorang menggunakan kekuatannya, kata blaise pascal
 
Sore itu Ustadz Najib terlambat datang karena ada urusan keluarga, sebagian teman mengusulkan mengadakan tadarusan sambil menunggu Ustadz Najib. Sewaktu acara tadarusan berlangsung, rumah yang berada dibelakang musholah menghidupkan radio tape agak keras dengan lagu "Tuhan" dari Bimbo. Lagu tersebut memecahkan konsentrasi kami.  Secara jujur,  sensitivitas spritual saya lebih tersentuh lewat lagu itu dari pada suara tadarusan yang sedang tersaji dan secara reflek saya justru lebih mengikuti setiap bait lirik lagu tersebut dan  mengikuti irama dengan sentuhan menyayat hati. Lebih dari itu Pandi malah ikut menyanyi dengan suara lirih seperti berbisik.
 
Ustad Najib ketika datang hanya tersenyum di depan pintu sambil mengucapkan salam, nampaknya dia sudah tahu kelakuan kami ini. " di sunnahkan membaca Al Qur'an dengan tartil dan usahakan membaguskan suara, karena bacaan tersebut tidak hanya untuk diri kita tetapi juga untuk orang lain yang mendengarkannya" kata Ustadz najib sambil duduk diantara kami,  " memang tidak semua orang bisa melantunkan  Al Qur'an dengan indah dan untuk itu harus sering melakukan latihan, Diantara para sahabat hanya beberapa orang yang masyhur melantunkan Al Qur'an dengan indah seperti Abdullah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab yang Rasulullah sendiri pernah sampai menangis mendengarnya" lanjutnya sambil membuka kitab yang akan dipelajari, hari itu khusus pelajaran tauhid.
 
Filosofi membaca adalah berusaha memaknai kandungan dari sesuatu yang dibaca. Di dunia ini , satu-satunya yang paling banyak di baca berulang-ulang tetapi paling jarang dimaknai hanyalah Al Qur'an, sebab jika dibandingkan dengan kitab agama lain yang dibaca dalam bahasa ibu masing-masing ( tidak ada standarisasi bahasa ) maka semakin sering di ulang, semakin mengertilah mereka terhadap kitab mereka, sebaliknya kitab Al Qur'an yang terstandarisasi dalam bahasa arab, walaupun dibaca seribu kali jika tidak di artikan dalam bahasa ibu maka tidak akan pernah ada makna yang bisa diraih.
 
Ketika ditanya barapa kali jama'ah mengkhatamkan Al Qur'an oleh Ustadz Abbas dalam pengajian tadabbur Al Qur'an, ada yang menjawab seratus kali ( tampak sudah berumur) ada yang sudah lima puluh kali, tiga puluh kali dan yang paling sedikit lima kali. Ketika ditanya siapa yang mengerti bahasa Al Qur'an (Arab) dari sekitar tiga puluh orang hanya empat yang mengangkat tangan, Ustadz Abbas hanya tersenyum dan berkata " tidak apa-apa , tapi jika memang tidak bisa bahasa Al Qur'an, maka pertanyaan saya ganti dengan berapa kali jama'ah semua telah mengkhatamkan terjemahan Al Qur'an ?" . Para jama'ah banyak yang diam  tetapi ada juga yang menjawab dan sungguh menakjubkan ternyata jawaban paling banyak hanya delapan kali itu juga oleh seorang kakek berumur sekitar enam puluhan .
 
Al Qur'an adalah sebuah rahasia hidup, walaupun sebagian berisi sejarah tetapi itu bukan jadi alasan untuk selalu menganalisa masa lalu dan juga bukan untuk selalu  berusaha untuk mengantispasi masa depan, tetapi rahasia itu mengharapkan kita untuk bisa memahaminya agar hidup yang kita jalani hari ini bisa lebih berarti.
 

Minggu, 21 Desember 2008

Mahluk Allah itu Bernama Anjing

Kediaman orang tuaku terletak di pinggiran jakarta. Walaupun hampir sama padatnya dengan Jakarta, tetapi banyaknya pohon-pohon sebagai sarana penghijauan dan penahan serapan air membuat beberapa warga dilingkungan tersebut mengembangkan hobi mereka memelihara binatang seperti burung, ayam, kelinci dan kambing bahkan di pinggiran rawa ada yang memelihara bebek.  Sekitar satu setengah tahun yang lalu, di halaman rumah belakang tiba-tiba muncul seekor anak anjing yang baru bisa jalan, karena tampak masih tertatih-tatih yang bermain bersama anak kucing. Entah tersasar atau ada yang membuang, yang jelas sejak hari itu anak anjing tersebut seperti mengikat tali persaudaraan dengan anak kucing dan tinggal dengan damai di halam belakang rumah orang tuaku.
 
Satu tahun kemudian perkembangan anak anjing tersebut melampaui anak kucing, tetapi kemesaraan mereka tetap tidak berubah. Berbeda dengan kucing, anjing lebih berkarakter artinya mereka lebih spontan membela orang yang memberi mereka makan jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan sedangkan kucing , lenggang tidak mau tahu seperti mengatakan " akukan binantang, tidak ikut campur urusan manusia" seperti kejadian ada yang mengambil pisang di pekarangan belakang maka anjing ini langsung menyalak dengan keras yang membangunkan tidak hanya isi rumah tetapi juga tetangga.
 
Ayahku sebenarnya risih dengan keberadaan anjing ini karena kemanapun ayahku pergi dia sesalu mengikuti termasuk pergi kemasjid. Anjing ini seperti terlatih untuk menunggu sampai selesai sholat, atau sampai selesai berbelanja dipasar dekat rumah, atau sampai selesai bertamu ketetangga, sehingga para tetangga mengira ayahku sengaja memelihara anjing ini padahal tidak. Walaupun demikian ayah tetap rutin memberi makan anjing dan kucing ini sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari .
 
Ada satu alasan mengapa ayah tidak pernah mengusir atau membuang anjing ini selain loyalitasnya,  yaitu tidak pernah membuang kotoran di pekarangan rumah, entah dimana dia membuangnya dan  juga tidak ada tetangga yang mengeluh karena perpindahan lokasi pembuangan tersebut. Disamping itu kebiasaaan anjing lain yaitu suka menjilat dan mengendus, tidak dilakukan oleh anjing ini, entah karena terbiasa bergaul dengan kucing atau ada faktor lain sehingga bisa merubah kebiasaan dari habitatnya  oleh karena itu ayah tidak pernah ragu dengan sandal atau sarung yang di gunakannya terkena najis.
 
Namun belakangan ini, ayah ingin memberikannya kepada orang lain, karena gunjingan tetangga semakin keras, mungkin bagi mereka tetap aneh seorang muslim yang taat memelihara seekor anjing walaupun anjing itu sangat jinak dan tidak pernah mengganggu siapapun, dan kebetulan ada tetangga lain RT yang beragama kristen bersedia menampung.
 
Pada hari ahad dua minggu yang lalu anjing itu tidak mau makan seharian, dia tampak murung dan ketakutan, selalu berada di pojok rumah, sekilas ayah melihat  pada sore itu setitik air dimatanya, dia seperti rudung suatu kesedihan, seperti akan berpisah sangat jauh. Pada malam harinya ayahku melihat dia masih berada di pojokan rumah tertidur atau hanya sekedar berbaring.
 
Pagi harinya tiba-tiba anjing itu menghilang entah kemana. Ayah walaupun memang berniat memberikannya kepada orang lain tetapi merasa seperti ada yang meresahkan hatinya dan itulah yang membuatkan nya mencari seharian tetapi tidak ketemu. Beberapa hari kemudian terdengar berita bahwa ada beberapa anjing jalanan yang masih muda dibunuh untuk di konsumsi bahkan setelah di potong ada yang diperjual belikan untuk kalangan tertentu. Mendengar berita tersebut ayahku cuma terdiam tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak pernah memegang hak kepemilikan binatang tersebut. Mata ayah nampak berkaca-kaca mendengar khabar tersebut.
 
Ada sesuatu yang hilang, yang kurang diharapkan ketika dia ada tetapi membekas cukup dalam ketika dia tidak ada. Binatang yang sampai tiga kali disebutkan di dalam surat Al Kahfi  itu seperti pelajaran dari ayat-ayat kauniyah Allah di alam semesta tentang suatu kasih sayang. tentang sebuah kesetiaan, tentang  kebersamaan walau hanya dari seekor binantang yang telah bertamu satu tahun lebih dirumah  pinggiran Jakarta tersebut.
 
Dari Abu Hurairah , Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tatkala seorang lelaki sedang berjalan pada sebuah jalan terasalah olehnya dahaga yang sangat. Lalu ia mendapati sebuah sumur dan bersegeralah ia meneruninya untuk minum. Ketika keluar, tiba-tiba dia melihat seekor anjing menjulurkan lidah sambil menjilat-jilati debu karena sangat haus. Lelaki itu berkata:  anjing  ini sedang kehausan seperti aku tadi lalu turunlah dia kembali ke dalam sumur untuk memenuhi sepatu kulitnya dengan air lalu digigit agar dapat naik kembali. Kemudian ia meminumkan air itu kepada  anjing tersebut. Allah berterima kasih kepadanya lalu mengampuninya. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah kami akan mendapatkan pahala karena binatang-binatang seperti ini? Rasulullah saw. menjawab: Pada setiap yang bernyawa (mahluk hidup) ada pahalanya. (Shahih Muslim No.4162) didalam riwayat lain pelakunya di gambarkan seorang wanita pelacur ( lihat sahih Bukhari atau sahih Muslim nomor selanjutnya )

Kamis, 18 Desember 2008

Mata Pelajaran Ahlak

Setelah beberapa tahun mengikuti pengajian, seorang teman mengeluarkan catatan mengenai apa saja yang telah dipelajari selama ini, sesuatu yang saya sendiri jarang mencatatnya. Hampir semua teman pengajian yang berjumlah kurang dari dua puluh orang menyenangi masalah Fiqih karena standard, rujukan dan penilaiannya jelas. Ustadz Najib juga bisa menilai dalam praktek kekurangan para muridnya dalam masalah fiqih tersebut. Walaupun agak tersendat-sendat pelajaran Nahwu-shorof pun mengalami sedikit kemajuan demikian juga halnya dengan  pelajaran-pelajaran lain, yang tolak ukurnya bisa dilihat secara kasat mata.
 
Sewaktu teman membuka bukunya yang sangat komplit tersebut, ada satu bab yang susah dilihat tingkat kemajuannya, bahkan Ustadz Najib mengabaikan bab ini dalam penilaian ahir semester ( penilaian non formal, karena pengajiannya juga tidak mengikat itulah sebab mengapa jumlah pesertanya saya bilang kurang dari dua puluh, karena setiap pertemuan memang selalu naik turun tetapi tidak pernah lebih dari dua puluh ). Bab tersebut adalah bab ahlak, bab yang berisi cara-cara memperindah ahlak, dan cara-cara menghindari ahlak tercela. Kalaupun Ustadz Najib bertanya pada abab ini, pertanyaannya tidak lebih dari hafalan cara-cara tadi dan dalil yang mendukung, sedangkan hasil mempelajari bab tadi seperti tersembunyi  seolah ustadz Najib sedang berkata " Allah lah yang maha mengetahui".
 
Pandi yang berperawakan agak tinggi adalah satu-satunya diantara murid yang paling susah menangkap pelajaran dan selalu datang terlambat, bahkan anak-anak lain suka di buat kesal karena harus mengulangi materi sampai beberapa kali hanya karena Pandi kurang mengerti. Saya mungkin bodoh dan kalau di buat skala penilaian paling tinggi cuma poin enam tapi entah mengapa poin yang sudah kelewat rendah itu masih susah juga di kejar Pandi, jadi silahkan tebak sendiri kira-kira berapa poin Pandi.
 
Tetapi anehnya Ustad Najib terlihat sangat sayang kepadanya, pertanyaan-pertanyaan Pandi yang jarang berkembang tidak pernah diabaikan. Cuma ada satu yang saya suka dari Pandi yaitu wajahnya yang selalu ceria, dan senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya, pokoknya tampak selalu senang sampai saya bingung, sebenarnya dia itu senang mentertawakan kami karena selalu menggerutu kepadanya atau karena memang senang karena ditertawakan , sama saja kelihatannya.
 
Suatu hari karena habis menghadiri kondangan saudara,  saya terlambat datang ke pengajian. Seharusnya posisi terlambat ini milik spesial Pandi , tetapi karena suatu hal posisi ini aku rebut secara tidak sengaja darinya. Ketika hendak masuk gang musholah tempat Ustadz Najib biasa ngajar, saya melihat Pandi baru tiba. Dia tidak langsung masuk tetapi merapihkan sandal anak-anak lain yang berantakan bahkan ada yang masuk got dekat musholah, tidak ketinggalan dia memungut sampah yang berserakan dan setelah itu baru dia masuk sambil mengucapkan salam. Pak Jumal yang tinggal tepat didepan musholah mengatakan bahwa setiap akan masuk Pandi selalu merapihkan dan membersihkan pekarangan musholah. Mungkin itu sebabnya dia menyengajakan diri terlambat, entahlah.
 
Saya baru sadar mengapa Ustadz Najib begitu menyayanginya, mungkin dalam bab mata pelajaran lain  kami berkejar-kejaran diatas angka lima meninggalkan Pandi yang tidak pernah resah dengan angka-angka. Tetapi untuk penilaian bab yang tidak pernah dilakukan oleh Ustadz Najib karena memang sulit untuk di buktikan,  telah tersemat di leher seorang pria yang selalu diledekin teman-temannya, nilai yang tidak akan pernah di ungkapkan karena  mungkin bagi sebagian orang terlihat sangat sepele tetapi jelas nilai itu telah tergores di langit atas musholah.
 

Selasa, 16 Desember 2008

Keinginan Menjadi Kaya

Apa yang membedakan pertamakali ketika kita memiliki uang seratus ribu dengan uang seratus juta ? tidak lain adalah keinginan-keinginan. Ketika uang yang di peroleh hanya seratus ribu maka keinginan kita seperti menyesuaikan bahkan  memangkas hal-hal yang dirasa kurang perlu, tetapi ketika uang yang di peroleh seratus juta maka muncul seketika berbagai keinginan untuk direalisasikan termasuk sesuatu yang kurang perlu sekalipun, sehingga pertanyaannya adalah apakah rezeki  yang telah di berikan Allah masih kurang   atau kita yang mesti mengurangi berbagai keinginan untuk disesuaikan dengan rezeki yang telah amanahkan Allah kepada kita ?
 
Tentu tidak sesederhana itu karena variant kebutuhan setiap orang berbeda-beda dan sebuah keinginan tetaplah sebuah keinginan karena itulah yang membedakan manusia hidup dengan manusia yang tidak hidup atau yang tidak mau lagi hidup. Antisipasinya hanyalah sebuah kesimbangan antara tawwaqal dan ikhtiar , antara sabar dan syukur karena jika tidak, keinginan bisa menjadi liar dan selanjutnya akan muncul pertanyaan  apakah keinginan bisa diartikan sebagai hawa nafsu jika keinginan adalah hawa nafsu maka posisinya tidak lagi menjadi pemicu (trigger), tetapi berubah menjadi negatif maka Allah menerangkan dalam surat An Naazi'at "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). " (QS 79:40-41)
 
Apa yang membedakan orang kaya yang bertaqwa dengan orang miskin yang bertaqwa ? pertanyaan itu diajukan diantara peserta pengajian tadabbur al Qur'an, tidak ada yang berani menjawab tetapi kalau di suruh memilih tentu semua yang ada di masjid itu memilih menjadi orang kaya yang bertaqwa. Diantara empat sahabat dekat nabi yang menjadi khalifah hanya Ali ra yang tergolong miskin, tetapi baik Rasulullah maupun para sahabat yang kaya tidak pernah hidup dalam kemewahan ( kecuali Muawiyah bin Abu Sofyan  yang bahkan pernah di tegur oleh Umar bin Khattab ) hampir semua harta yang mereka peroleh di sumbangkan di jalan Allah, Rasulullah sendiri yang seorang saudagar dan khalifah  tidur beralaskan pelepah kurma, Abu Bakar hampir kesusahan menafkahi keluarga karena hartanya habis disumbangkan.
 
Ustadz Abbas menerangkan bahwa didalam Al Qur'an tidak pernah di bicarakan hak orang kaya selain tanggung jawab terhadap orang miskin, sikaya di bebankan kewajiban-kewajiban sedangkan simiskin disuruh untuk bersabar. didalam hadist diterangkan perhitungan orang kaya dan orang miskin berjarak lima ratus tahun kesimpulannya orang kaya yang bertaqwa memang lebih dimuliakan karena mereka disibukan dengan berbagai kewajiban artinya kekayaan tersebut bukan untuk dinikmati tetapi untuk dibagi-bagi , kata Ustadz Abbas " masa sih ustadz, kita tidak boleh menikmati sesuatu yang telah kita usahakan  bukankah zakat cuma dikenai dua setengah persen" kata salah seorang peserta, Ustadz Abbas hanya tersenyum " Didalam ilmu hadist memang lebih di dahulukan perintah Rasulullah lewat ucapan ketimbang contoh beliau lewat perbuatan, perintah biasanya disesuaikan dengan kondisi ummatnya" jawab Ustadz Abbas mengahiri pengajian.
 
Jaffar As shadiq pernah berdoa " Ya Allah sibukan hamba dalam membagi-bagikan hartamu dan jangan sibukan hamba dalam mencari hartamu "
 

Senin, 15 Desember 2008

Cukup Menjadi Seorang Pekerja

Entah siapa yang pertama kali memulai kebiasaan ini yang jelas salah satu penggerak aktivitas di dunia adalah benda keramat bernama uang. Jika di zaman prasejarah seperti yang kita baca di buku waktu sekolah dulu bahwa yang mempunyai kekuasaan adalah yang paling kuat, maka point itu sekarang telah bergerser menjadi yang paling kaya, benda keramat yang bernama uang tersebut telah merombak berbagai peradaban. Bahkan paradigma kita sebagai orang tua hampir sama dengan orang tua kita dulu yang ketika menanyakan cita-cita anaknya menjadi apa ? maka apapun pilihan sang anak , takaran terakhir adalah berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari profesi  yang dicita-citakan tersebut sehingga sang anak kelak jadi makmur, tidak susah.
 
Bagaimana seandainya di perkotaan seperti ini orang tua mendengar cita-cita anaknya seperti  " Ibu saya ingin jadi petani " atau " Ayah aku kalo sudah besar ingin jadi nelayan", pasti ada sedikit miris di hati mendengarnya, kalaupun mau berbesar hati maka pasti ada embel-embel dengan mengatakan " ya gak apa-apa asal jadi petani yang kaya " atau " boleh jadi nelayan tapi nelayan yang sukses yang punya kapal sendiri dan banyak anak buah ". Lalu salahnya dimana ? tidak ada karena semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Saat kecil profesi petani dan nelayan bukanlah jadi pilihan, tetapi ketika sudah beranjak dewasa bisa jadi profesi tadi menjadi kenyataan yang harus dijalani.
 
Menyekolahkan anak sampai keperguruan tinggi walaupun secara filosofi agar anak menjadi orang yang pintar tetapi secara kasat mata bisa dipastikan bahwa maksud terselubung adalah agar mudah mendapatkan pekerjaan yang layak dan hal ini juga pernah kita alami sewaktu masih sekolah atau kuliah, artinya secara singkat yaitu menjadi pintar agar mudah bekerja pada orang lain ( employee) dan kita belum terbiasa dengan wacana sekolah yang tinggi agar bisa mempekerjakan orang lain ( employer) sehingga jika ada yang menyimpulkan bahwa pemilik perusahaan belum tentu pintar dan orang pintar belum tentu bisa memiliki perusahaan adalah sah-sah saja karena memang kenyataanya seperti itu.
 
Didalam Islam cerita mengenai uang tidak jauh dari sekedar mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari dan menyisihkan jika telah melebihi kebutuhan sedangkan cerita profesi tidak lagi menyangkut masalah uang tapi masalah tanggung jawab, seperti  tanggung jawab hakim, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, tanggung jawab pemimpin , adab dan kesopanan berdagang dan sebagainya. Kaya dan Miskin adalah dampak dari proses, bukan tujuan , dan dampak tersebut melekatkan predikat baru yaitu Muzaki dan Mustahik, cukup sederhana sebenarnya.
 
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah  mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla". (HR. Ahmad)
 
 

Minggu, 14 Desember 2008

Tidak Seindah Kisah-Kisah

" koran-koran, pos kota, kompas, koran " teriak Wawan diantara lalu lalang mobil di persimpangan  di bawah bypass jalan pramuka menjajakan korannya yang masih belum habis walau hari sudah beranjak siang. Wawan terus menelusuri jalan menuju arah Ahmad Yani , Rawasari persis di depan toko-toko keramik ( waktu itu belum di gusur ). Wawan berhenti dan duduk di taman depan toko tersebut sambil menghitung perolehan sementara. Tampak beberapa orang sedang melakukan tawar menawar dengan pedagang keramik, dan yang paling menyolok adalah seorang ibu yang berpakaian long dress abu-abu mirip piama yang menawar dengan suara tinggi dengan logat mandarin yang khas.
 
Setelah melakukan transaksi dan membayar si ibu menyuruh asisstennya mengangkut keramik-keramik yang telah di pisahkan oleh si penjual kebagian pojok toko dan dia sibuk melayani pembeli lain. Tiga kali asisten ibu tersebut bolak balik mengangkat keramik karena ada empat keramik yang telah di pisahkan si penjual, tetapi setelah menunggu beberapa lama si asisten ibu itu tak kunjung datang malah masuk mobil seperti mau pergi, sontak wawan berlari mengambil keramik tersisa untuk di serahkan kepada ibu tadi " tunggu bu masih ada satu lagi yang belum diambil " teriak wawan sambil berlari kearah mobil ibu tersebut. Mungkin karena takut tertinggal , wawan berlari tanpa melihat bahwa akar pohon-pohon didepan toko-toko tersebut banyak yang menyeruak keluar seperti menonjolnya urat nadi para binaragawan. Ternyata mengandalkan mata kaki tidak cukup, Wawan terpleset, keramik jatuh dan pecah.
 
Bukannya rasa terimakasih dan kasihan yang di peroleh, sebaliknya malah mendapatkan makian " kamu itu gimana sih, kalo mau bantu hati-hati dong, kalo cuma ketinggalan saya bisa balik ambil lagi nih barang, tapi kalo sudah begini kamu orang mau ganti " teriak ibu tadi masih dengan logat mandarin yang kental. Wawan cuma diam menunduk " maafkan saya bu ". Sambil terus merepet gak karuan, ibu terus berlalu tapi nada ejekan masih terdengar dari para pedagang di sekitar situ.
 
Niat baik belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik, terkadang kita sering terlena oleh cerita atau kisah yang sering kita forward jika di email bahwa melakukan kebaikan akan mendapatkan kebaikan berlipat ganda secara kontan baik berupa uang atau kebaikan-kebaikan lain seolah kita telah mendikte cara berfikir Allah, atau jika mau berprasangka baik mungkin bisa juga memang untuk memotivasi yang lain melakukan hal yang sama, tapi pernah kita sadari bahwa Allah mempunyai rencana sendiri yang pada dunia nyata justru kejadian seperti wawanlah yang mungkin sering kita alami tentang arti sebuah kesabaran yang jika telah diperlakukan seperti itu apakah kita masih mau melakukan hal yang sama , pada tempat yang sama , mungkin  ? 

Kamis, 11 Desember 2008

Memahami Yang Telah Diketahui

Setelah belajar setengah matipun nilai akuntansiku tidak pernah bisa melampaui angka tujuh, terlalu banyak istilah-istilah yang memusingkan kepala tentang definisi alamat postingan (entries),  padahal ayahku seorang pedagang yang tidak pernah belajar akuntansi tetapi ketika ditanya masalah proses pencatatan keluar masuk uang dengan cepat dia bisa meyebutkan semua transaksi yang rata-rata di hafal di luar kepala. Masalah sebenarnya adalah sebuah penyederhanaan. Fikiran kita tidak cukup sederhana dalam menyederhanakan sesuatu. sehingga terkesan semakin kompleks jalan fikiran seseorang semakin pintarlah dia.
 
Di dalam pelajaran agama Islam sendiri guru pernah bertanya " Apakah inti dari ajaran agama Islam ?" banyak yang memberikan jawaban-jawaban yang cerdas tapi rata-rata bersifat umum , seperti " agar bisa merubah ahlak, karena pada waktu itu masa jahiliyah yaitu masa kebodohan" kata sugianto yang tepat di belakangku. " Agar kita bisa melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh laranganNya yang tercantum di dalam Al Qur'an maupun sunnah nabi " sahut romlah di pojokan bangku depan. Aku sendiri tidak tau jawabannya apalagi berusaha untuk menjawab dan malah sibuk buat PR pajak yang semestinya di kerjakan di rumah tapi mentok yah terpaksa minta sedekah jawaban dari kanan kiri dan sehabis mata pelajaran agama Islam ini adalah mata pelajaran Perpajakan.
 
" Semua jawaban tidak ada yang salah, tetapi inti ajaran agama Islam yang lebih tepat adalah mengesakan Allah , La ilaha illallah " kata Pak Zainudin guru agama kami waktu sekolah dulu. Jauh sekali dari pandangan kami waktu itu bahwa mempelajari agama Islam berarti mempelajari tata cara sholat, tata cara zakat,  puasa, dan lain-lain yang merupakan rukun Islam, mempelajari rukun iman, mempelajari sejarah Islam. Intinya adalah mengetahui, masalah memahami apalagi meyakini di nomor sekiankan, dan ini juga berlaku untuk semua mata pelajaran. Ahirannya tentu semua sudah bisa menebak, ya ..terlupakan.
 
Kisah belajar mengajar juga telah dialami oleh Rasulullah. Turunnya Al Qur'an secara bertahap merupakan proses pembelajaran tiada henti yang diteruskan kepada para sahabat untuk dilaksanakan dan tidak berhenti pada proses mengtahui, karena hanya dengan pelaksanaan kita bisa  memperoleh pemahaman. Lapar harus dirasakan untuk bisa memahami apa yang telah kita ketahui tentang puasa, Harta harus disisihkan agar kita bisa memahami apa yang telah kita pelajari tentang zakat. Pelajaran memang tidak boleh berhenti sampai kapanpun karena hidup  selalu memaksa untuk terus di maknai.
 

Rabu, 10 Desember 2008

Sunnah Yang Terlupakan

Sore itu terjadi sebuah drama penahanan. Pak Sadeli memang telah lama tidak bertegur sapa dengan Pak Amin , tetapi anehnya kedua orang tua itu kerap bertemu di masjid untuk menunaikan sholat berjama'ah, mungkin karena masjid lain terletak cukup jauh dari pemukiman mereka. Permasalahan mereka berkisar pada tanah sengketa, tetapi masalah itu tidak usah di bahas, kita fokuskan saja pada tingkah Pak Sadeli mengahiri perseteruannya.
 
Sehebat apapun gejolak Api pasti akan bertekuk lutut pada siraman air, Pak Sadeli telah memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di kampung sekalian meneruskan hobi lamanya berternak ayam kampung, namun untuk bisa lenggang mulus kekampung Pak Sadeli tidak mau menyisakan bara yang telah terbakar lama. Hanya saja ada satu masalah yaitu Pak Sadeli tidak pandai merangkai kata-kata untuk memulai sapa-menyapa dengan Pak Amin di samping itu dia juga tidak suka melibatkan orang lain, "tapi memang segala sesuatu membutuhkan permulaan untuk bisa diahiri dengan pembiasaan" pikir Pak Sadeli.
 
Ketika Pak Amin masuk kemasjid  hendak melaksanakan sholat maghrib berjama'ah, terdengar suara " Assalamu'alaikum Pak Amin"  belum sempat Pak Amin menjawab tiba-tiba Pak Sadeli telah merangkulnya dari samping " Ayo Pak silahkan" sambil terus menggandeng tangan Pak amin kearah shaf depan, setelah itu diam, bahkan Pak Amin tidak berkata sepatah kata pun , bingung, kesal, kaget bercampur aduk tidak karuan , tidak lama kemudian  suara imam terdengar memulai takbir. Ketika telah selesai sholat kembali Pak Sadeli menjabat tangan Pak Amin " kalo ada yang mengatakan jauh di mata dekat di hati, eh kita yang sudah tua ini malah dekat dimata jauh dihati, maafkan sajalah saya Pak mungkin semua ini kekhilafan saya " sahut Pak Sadeli , beberapa hari kemudian sewaktu akan berangkat pulang,  baru saya tahu kalau kalimat itu di hafal oleh nya dari pagi  hari yang di ilhami dari buku peri bahasa cucunya. Tapi ada satu yang jelas yaitu Pak Amin telah tertawan oleh rasa malu, oleh rasa kesal, oleh rasa dendam, dan oleh rasa penyesalan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata selain diam sambil menyaksikan Pak Sadeli berlalu dari masjid.
 
Kita sering mendengar cerita bagaimana Rasulullah menawan musuh-musuhnya dengan kebaikan dari lemparan batu yang dibalas dengan perhatian beliau dengan bersilaturahim ketika sipelempar  sakit , dari yang mencaci maki yang kemudian dibalas oleh beliau dengan memberi makan bahkan disuapi ( kisah yahudi buta), dan banyak lagi  sunnah yang tak terlihat itu,  yang entah mengapa  jarang di sunnahkan untuk dilaksanakan, padahal itulah amaliyah ahlak yang orang melihatnya saja sampai tergetar akan kedahsyatannya. semua orang yang berada di masjid waktu itu hanya bisa terperangah melihat adegan tersebut, seperti menyaksikan potongan paragraph terakhir dari buku roman kehidupan

Subjektifitas Sebuah Zakat

" Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat." (QS 24:56 
 
Setiap ahir tahun di masjid dekat rumah biasanya diadakan rekapitulasi dana zakat, infaq dan sadaqoh untuk di buatkan laporan tahunan antara pemasukan dan pengeluaran kas masjid. Dari hasil rekapitulasi tadi terlihat bahwa jika ditotal jumlah nominal zakat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah infaq dan sadaqoh namun jika diambil perbandingan data qualitatif orangnya ( zakat mal memang terdata tapi infaq dan sadaqoh tidak sehingga di ambil asumsi dengan lembaran uang yang terkumpul, artinya jika jumlah infaq dan sadaqoh sepuluh juta yang terdiri dari lima ratus lembar uang kertas maka asumsi kasar ada lima ratus orang yang berinfaq dan sadaqoh ) maka terjadi sesuatu yang bertolak belakang yaitu satu banding lima puluh antara zakat dengan infaq dan sadaqoh artinya dari lima puluh orang yang berinfaq dan sadaqoh hanya satu orang yang membayar zakat ( dalam hal ini zakat mal ) , apakah kondisinya memang seperti itu atau ada kesalah pahaman ( misinterpretasi ) masyarakat antara zakat dan infaq-sadaqoh.
 
Zakat hukumya wajib jika telah sampai nisab dan haulnya, logikanya seseorang yang telah berzakat memilki kemungkinan besar untuk berinfaq-sadaqoh, sedangkan infaq-sadaqoh bersifat sunnah dan belum tentu orang yang melakukanya terkena kewajiban membayar zakat jika memang belum sampai nisab dan haulnya, pertanyaannya adakah seseorang yang menyengaja menyampaikan harta yang dimilikinya pada nisab dan haul atau menyengaja membiarkan sampai memang saatnya tiba dimana memang sudah tidak ada lagi biaya yang menggerogoti pemasukan, atau terjadi lonjakan pemasukan yang susah di kejar oleh pengeluaran.
 
Perintah sholat dan membayar zakat di dalam Al Qur'an selalu bersanding sebagai pasangan keimanan dan sekarang sepertinya ada yang tercecer. Di negara kita, pajak memiliki kekuatan hukum tetapi tidak demikian hal nya dengan zakat, jika pajak memiliki point-point yang menyebabkan wajib pajak sulit berkilah maka point tersebut sulit diterapkan pada zakat , padahal sejarah mencatat pada masa kekhalifan Abu Bakar ra, para ingkar zakat di perangi bahkan ada yang dibunuh, kira-kira kriteria apa yang dimiliki oleh Abu Bakar ra sehingga bisa menentukan orang yang terkena kewajiban zakat atau tidak, karena pada hari ini kewajiban yang satu itu sangat bersifat subjectif,  hanya dirinya dan Allah saja sepertinya yang mengetahui.
 
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS 9:103)

Siapapun Bisa Memberi

"Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (QS 6:132)

Sebenarnya yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana cara kita memaknai hidup itu sendiri, karena dalam sudut apapun selalu ada nilai disisi Allah tergantung apakah setiap kejadian itu di niatkan karena Allah atau tidak. Tanpa kita sadari keseimbangan selalu mewarnai hidup kita, tetapi sebagai manusia , pertanyaan justru sering diajukan hanya pada sisi yang tidak menguntungkan dan seolah melupakan segala kelebihan yang telah di anugrahkan. Terkadang untuk bisa memahami sebuah persoalan , kita pertamakali harus bisa membebaskan diri dari hasrat memperoleh jawaban karena apapun jawaban Allah kepada kita belum tentu bisa kita mengerti sebagai sebuah gambaran yang utuh apalagi jika hanya di kaitkan dengan substansi persoalan hidup sesaat.
 
Abu Musa mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Tiap-tiap muslim itu harus bersedekah." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah orang yang tidak mendapatkan (sesuatu untuk bersedekah)?" Beliau bersabda, "Ia bekerja dengan tangannya. Lalu, ia manfaatkan untuk dirinya dan menyedekahkannya." Mereka bertanya, "Bagaimana jika ia tidak mendapatkan?" Beliau bersabda, "Menolong orang yang mempunyai keperluan yang dalam kesusahan." Mereka bertanya, "Bagaimana jika tidak mendapatkan?" Beliau bersabda, "Hendaklah ia mengamalkan (dalam satu riwayat: menyuruh kepada kebaikan atau berkata ) dengan kebaikan dan menahan diri." (Dalam satu riwayat mereka bertanya, "Jika ia tidak melakukan kebaikan?" Beliau menjawab, "Maka hendaklah ia menahan diri) dari kejahatan dan hal itu menjadi sedekah baginya." (Sahih Bukhari)
 
Pernahkah kita merasakan sensasi memberi dan menerima ? Ada rasa bahagia ketika bisa menerima dan ada rasa bangga ketika bisa memberi, permasalahannya yang manakah yang lebih dominan mewarnai hidup ini dan hal ini bukan pada masalah memiliki atau tidak memiliki tetapi lebih pada permasalahan kemauan untuk berbagi karena jika kita mulai dari yang sederhana maka bukankah senyuman itu juga sedekah lalu kepemilikan seperti apa yang mesti dipersoalkan dari sebuah senyuman. Jika takaran fisik adalah harta maka takaran jiwa dalah hati, kedua sumber tersebut merupakan potensi kita untuk bisa memberi.
 
Orang tua kita dulu pernah berkata bahwa baik mempunyai kemampuan untuk memberi namun cukup bijaksana jika kita juga mempunyai kemampuan untuk membuat orang lain bisa memberi.  Caranya ? masih kata orang tua dulu yaitu jangan pernah memberikan ikan tapi berikanlah pancing agar mereka berusaha mencari ikan sendiri sehingga suatu ketika pancing itu bisa di wariskan kepada orang lain lagi, trus kesimpulan negatifnya ? ya mau makan ikan sendiri, udah capek mancing seharian enak aja di bagi-bagi.

Saran Terakhir

Sehabis sholat maghrib, seorang teman bertanya kepada saya bagaimana cara agar kita senantiasa terjaga dari perbuatan dosa dan selalu bisa berbuat kebaikan. Saya menyarankan agar dia bertanya langsung kepada orang yang berkompetent di bidangnya yaitu Ustad Farid yang biasa jadi imam di masjid atau Ustad Abbas yang biasa mengajar tadabbur Al Qur'an, tapi teman tersebut menolak dengan alasan bahwa jawaban yang di berikan terlalu bersifat idealis dan susah untuk dilaksanakan apalagi harus merombak berbagai kebiasaanya seperti mengusahakan sholat malam , banyak-banyak berpuasa, bergaul dengan orang baik-baik saja (sholeh ) sedangkan yang kurang apalagi yang tidak baik, ditinggalkan saja  katanya kepada saya dan jelas saya mendukung seratus persen usulan para Ustad tersebut,  tetapi dia ingin saran dari saya sebagai sesama orang yang banyak dosa kilahnya. Niatnya sih baik yaitu minta saran, tapi alasannya cukup menyakitkan, tapi ya sudah lah memang kenyataanya banyak dosa kok mau menyangkal.
 
Menjadi orang baik memerlukan sebuah proses panjang yang berakhir pada nama, karena apa yang kita nilai baik hari ini belum tentu bisa bertahan sampai esok hari seperti yang di isyaratkan oleh Rasulullah bawa kalo mau lihat amal yang sesungguhnya lihatlah di penghujungnya (saat ajal mendekat) , sebaliknya apa yang kita lecehkan atau kita anggap kurang baik saat ini mungkin suatu hari jika Allah mengijinkan bisa lebih baik dari diri kita sendiri. Ada sebuah perbandingan yang cukup miris yang sering di lontarkan orang banyak yaitu lebih baik dianggap bekas orang jahat dari pada dianggap bekas orang baik.
 
Mungkin inilah saran pamungkas untuk orang paling malas ( mungkin seperti saya juga ). Saran tersebut cukup singkat kepadanya yaitu " awali dengan keyakinan dan ahiri dengan pelaksanaan " , maksudnya perbanyaklah berdoa kepada Allah dengan penuh keyakinan agar di tunjuki jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang di ridhoi olehNYa dan kemampuan untuk menapaki jalan tersebut dan berdoa agar Allah juga memberikan kita kemampuan untuk menjauhi perbuatan yang di murkaiNya karena pada dasarnya tidak ada satupun yang bisa melampaui kehendakNya termasuk ikhtiar kita dan ada saat dimana Allah berkehendak atas doa hambanya, "...Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu...." (QS 40:60)
 
Jika kita merasa berat melaksanakan ibadah  atas anjuran ustadz teruslah berdoa agar Allah sendiri yang menetapkan keinginan dihati kita , " Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha " ( QS 91:8)  tetapi ketika keinginan itu sudah terbersit, maka tolong jangan sanggah, laksanakanlah karena bersitan dihati itu tidak sering muncul , dan ketika kita sudah melaksanakan tinggal melakukan proses pembiasaan Insya Allah Jauh lebih mudah dari pada proses pemaksaan diri , permasalahannya proses ini memakan waktu dan pertanyaannya apakah umur kita masih mau berkompromi kata saya kepada teman tadi yang hanya melongo entah mengerti entah tidak

Realitas Tipuan

Didalam hidup kita sering memperoleh kesempatan yang bisa kita anggap cukup bernilai. Nilai tersebut terkadang mesti dicari dengan kerja keras tetapi ada juga saat dimana nilai tersebut di temukan secara tidak terduga. Namun kedua hal tersebut diatas sama-sama tidak bermanfaat ketika kesempatan itu tidak di pergunakan sebaik-baiknya. Jika didalam dunia usaha yang paling penting adalah diffrensiasi sedangkan sebagai pribadi yang terpenting adalah aktualisasi, pertanyaannya adalah aktualisasi terhadap apa ? jika kita jawab dalam prespektip agama tentu saja aktualisasi terhadap kesempatan hidup yang di berikan oleh Allah kepada kita.
 
Jika kebijakan ekonomi memiliki skala mikro dan makro begitu juga dengan proyeksi berfikir kita yang terpola pada kata "seadainya", "andaikata", " jika saja" di iringi dengan idealisme kata seperti " semestinya", " seharusnya ", " selayaknya" melawan sandaran terakhir  kata yaitu " pada kenyataanya". beraroma sangat pesimis bukan ? tapi jelas realistis. contoh ...
 
Ketika hangat issue krisis global yang dimulai dengan "subprime mortage" di Amerika, semua membiacarakan dampaknya dan analisa kedepan dengan berbagai asumsi kecerdasan berfikir dan sepertinya akan terjadi kekacauan ekonomi selanjutnya akan menggelinding bagaikan bola salju pada bidang lain titik (.) itu semua masalah makro , sekarang kita masuk kemasalah mikro di mulai dengan pertanyaan "apakah setelah kejadian itu kita masih hidup", " masih  bisa makan gak sih ?" , " trus kalo sudah begitu saya mo ngapain yah" . Pilihan nya cuma satu yaitu menjalani hidup dengan baik, karena jika pertanyaan di balik " apakah yang kita peroleh dan kerjakan hari ini adalah hasil dari analisa berfikir masa lalu ?" maka sebagian besar diantara kita tentu akan menjawab " tidak ". ...so what , dan pada akhirnya kita akan berkata "la haula wala quata illa billah" , tiada daya dan upaya melainkan semuanya atas kehendak Allah semata.
 
Ada beberapa hal yang mewarnai hidup kita dalam perjalanan menuju pintu kubur, yaitu pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari, keluarga yang menemani, interaksi dengan lingkungan dan lainnya yang mungkin secara kita tidak sadari dari sanalah investasi yang sesungguhnya (the real investment) kita lakukan dalam kaitannya dengan amal ibadah, dalam kaitannya dengan pahala dan dosa, dalam kaitannya dengan amar ma'ruf nahi mungkar. selebihnya hanya sekedar pelengkap.
 
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS 57:20)

Dzikir Keseharian

" Alladzinaamanu wa tatmaninnu qulubuhum bidzikrillah 'ala bi dzikrillahi tatmainnul qulub" surat Ar Ra'd  ayat dua puluh delapan ini sudah dikenal baik oleh para ahli dzikir, tetapi mungkin tidak banyak yang bisa menghayatinya dalam tataran realistis. Ketika masih sekolah dulu sering diadakan outbond atau outing program keluar kota setelah ujian akhir dan selalu ada tim survey lapangan sebelum acara diadakan dan saya termasuk diantaranya. Setelah melakukan musywarah dan mufakat di tetapkan lah Cibatok bogor sebagai tempat outbond berikutnya.
 
Tim survey sebenarnya ada tiga orang tapi ada dua orang lagi yang bersedia menjadi penggembira dan dengan dana sendiri tentunya karena pada dasarnya mereka memang senang jalan-jalan. Salah satu diantara tim survey mempunyai uwak yang ada di salah satu desa dekat Jasinga Bogor, dan kami merencanakan mampir kesana setelah survey, sebenarnya jarak antara Cibatok dan Jasinga cukup jauh tapi bukan tim survey namanya jika mudah menyerah pada jarak.
 
Setelah melakukan survey, kami tiba di  desa tujuan pukul setengah enam sore tapi kondisi sudah gelap karena hujan turun cukup deras. Biasanya pada jam segitu masih ada tukang ojek yang mangkal di prapatan untuk mengangkut penumpang kekampung dalam yang berjarak sekitar dua kilometer tetapi waktu itu tidak satupun yang terlihat sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki. Mungkin bagi orang setempat petir yang memekakkan telinga saling sahut menyahut merupakan hal biasa tapi tidak bagi kami. Ricky salah satu diantanya yang sering mengucapakan " Astagfirullah" sewaktu petir menyambar, semakin keras suara petir semakin tinggi pula suara Ricky menunjukan ketakutan dan ternyata lafaz agung tersebut tidak lebih dari sekedar tameng kelatahan.
 
Hujan mulai berhenti, perjalanan masih sekitar satu kilometer dan angin bertiup sangat kencang mengguncang tubuh kami yang menggigil karena basah kehujanan. Setelah melangkah beberapa lama tampak tumpukan batu nisan di pinggir jalan. Ternyata kami harus melewati area pekuburan, suasana tampak mencekam dan satu persatu diantara kami melafazkan ayat kursi , ayat favorite untuk hal-hal menakutkan bahkan saking seringnya dipergunakan untuk hal-hal ini maka sering diplesetkan jadi ayat horor, padahal otak yang membacanyalah yang penuh horor yang " horrible". Dan hal ini terbukti, sewaktu kami berjalan sambil melafazkan ayat kursyi , tiba-tiba ada pohon tumbang di belakang kami akibat terpaan angin yang kurang bersahabat dan seketika itupula kami lari pontang-panting gak karuan. Ayat suci itupun menguap seketika tidak berbekas dihati pembacanya selain rona ketakutan yang tampak di pias muka.
 
Sering kita terjebak dalam kausalitas parsial, dimana pemahaman kita terhadap ayat-ayat Allah adalah tekstual bukan kontekstual , kita melepaskan ayat dari yang mempunyai ayat tersebut yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga kepala dan hati kita penuh dengan lafaz dan bacaan ayat-yat suci tapi jauh dari keyakinan kita terhadap zat Allah sendiri sehingga tujuan seperti yang diterangkan Al Quran " 'ala bi dzikrillahi tatmainnul qulub"  jarang kita resapi pada keseharian yang kita jalani.