Jumat, 17 Oktober 2008

Tidak Selalu Menjadi Jebakan Budaya

Suatu sore di pojok salah satu masjid tampak seorang pemuda dengan mengenakan stelan Jas seperti seorang eksekutif muda yang sedang sibuk berdzikir bahkan saking asyiknya sampai tidak menghiraukan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seorang Ustadz dengan pakain gamis putih bersih mendekati pemuda tersebut sambil mengucapkan salam dia menyapa pemuda tersebut, " Baru pulang kerja ya nak ?" sapa pak Ustadz "tidak stadz , saya dari rumah" jawab si pemuda " atau mungkin mau berangkat kerja ?" , " ya tidak lah stadz kan udh sore gini, paling habis maghrib atau mungkin habis Isya kali baru pulang biar gak bolak-balik" jawab si pemuda dengan santai
 
" tapi kok anak ini aneh, masak ya cuma ke masjid pake stelan jas jadi  mirip orang mau ke gereja " sahut si Ustadz penasaran   " Trus harusnya pake apa dong stadz, soalnya ini pakaian kesenangan saya dan saya berharap suatu ketika jadi eksekutif muda, gito loh stadz" jawab si pemuda cengengesan tapi terus mendawamkan dzikir di bibirnya " Loh kita kan punya pakaian untuk beribadah ya paling tidak seperti saya inilah ", dengan sabar sang ustadz memberi pengarahan " memangnya dulu Rasulullah membeda-bedakan pakaian berdagang dan pakaian sholat, trus pakaian yang ustadz pake itu pakaian orang islam atau orang arab, soalnya teman saya yang beragama hindu di pakistan juga berpakaian seperti ustadz ini bahkan tutup kepala yang biasa di gunakan para kiyai sini tetapi  di Banglades di pakai oleh para tukang becak atau pengangkut sampah atau buruh pada umumnya" balas sipemuda tidak mau kalah.
 
Cuplikan dialog diatas bisa jadi memang merupakan produk budaya yang terkondisi jadi produk agama yang bertajuk identitas, namun tidak juga bisa disalahkan seseorang yang berpakaian seperti orang yang dicintainya, seperti anak saya yang suka meniru cara berpakaian ibunya karena terkadang karakter bisa di bentuk oleh kebiasaan cuma yang menjadi permasalahan adalah banyak diantara kebiasaan itu yang hanya membentuk tampilan fisik. Seperti banyaknya kita membaca referensi sifat sholat Nabi, lalu bagaimana dengan sifat khusyuk Nabi ? sehingga jangan heran kalimatullah "innassholata tanha anil fakhsa' i' wal mungkar" (QS 29:45) tidak pernah benar-benar kita rasakan.
 
Budaya memang di bentuk oleh sebuah kebiasaan pada suatu masyarakat, namun kebiasaan tanpa kesadaran adalah kelatahan sedangkan kebiasaan dengan kesadaran akan membentuk kemampuan. Seseorang yang terbiasa sholat karena dikondisikan oleh orang tuanya tetapi tidak mempunyai kesadaran akan makna sholat yang di jalaninya maka suatu ketika dia akan mengalami titik jenuh dan berkata " sekali-kali sholatnya istirahat dulu ah "
 
Nilai seperti apa yang mesti di berikan kepada seseorang yang dikondisikan oleh budaya tanpa mau tau untuk apa dia melakuakn semua itu, namun jika sebuah keinginan untuk berusaha lebih baik dilakukan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan bahkan menjadi suatu budaya maka hal inilah yang semestinya kita terapkan pada diri kita, keluarga kita dan lingkungan kita
 
Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang sehingga keunggulan bukanlah sebuah perbuatan tetapi sebuah kebiasaan. (Aristotles)