Selasa, 19 Agustus 2008

Kekuatan Sebuah Fatwa

(Kilasan sederhana terhadap fatwa MUI terhadap larangan merokok)
 
Sesuatu yang bersifat relatif harus di simbolkan agar berubah menjadi nilai kuantitatif yang dengan nilai itu tingkat relatifitas bisa terukur. Dahulu, keadaan panas atau dingin belum bisa di modelkan sehingga rasa panas atau dingin setiap orang berbeda dengan orang lain sampai kemudian muncul suatu simbol untuk menggambarkan keadaan tersebut  yang bernama Celcius dan tidak beberapa lama kemudian disusul dengan Fahreinheit. Relatifitas berubah menjadi kuantitas artinya kita mempunyai satu titik kesepakatan dalam masalah suhu udara.
 
Ilmu pengetahuan selalu berusaha menyederhanakan nilai menjadi suatu simbol atau model, jika tidak maka sebagai contoh sulit bagi para juri menilai kecantikan miss universe, karena cantik adalah relatif dan untuk itu di perlukan simbol berupa angka dalam standarisasi penilaian begitupula halnya dengan penilaian cita rasa atau tingkat kecerdasan seseorang dan sebagainya.
 
Imam Syafi'i sebagai pencetus kaidah ushul fiqih menyadari pentingnya sebuah standarisasi  sehingga relatifitas penafsiran seseorang terhadap ayat-ayat Al Qur'an dan hadist Nabi bisa terarah, apalagi dalam masalah beribadah, dan pembuat standarisasi ini dikenal sebagai Mujtahid. Dan kita telah mengenal beberapa imam mujtahid, permasalahannya tidak setiap orang mengetahui bagaimana proses pengambilan dan penyimpulan yang melahirkan produk hukum tersebut sehingga ada sebagian  orang yang menyangkal dan mencari pembenaran sendiri lewat Al Quran dan hadist terhadap hukum yang di pahaminya.
 
Ketika sebuah penilaian di jatuhkan maka akan ada akibat langsung yang bisa di rasakan, seperti hasil penilaian para juri maka akan ada yang kalah dan menang, hasil penilain guru maka akan ada yang naik dan tinggal kelas, hasil penilaian hakim maka akan ada yang di hukum dan ada yang di vonis bebas. Pertanyaannya apakah kita bisa menentang penilaian yang telah di jatuhkan ? Kita bisa saja tidak puas tetapi ketika sebuah nilai telah ditetapkan maka kita wajib menghormati dan menta'ati , karena jika setiap orang dibiarkan berfikir secara subjectif maka segala penilaian dan hukum yang bersifat objektif akan terabaikan. Lalu apa ujung dari semua itu ? tidak lain adalah pemenuhan sebuah kepuasan, namun demikian jikalah kehati-hatian masih bisa dijadikan pilihan maka hadist Rasulullah di bawah ini mungkin bisa jadi bahan renungan
 
An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)
 
Salam
 
 
David