Rabu, 14 Mei 2008

Menimbang Dengan Timbangan Orang Lain

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS 6:59)
Ketika Allah telah menjatuhkan qadarNya pada suatu masalah maka keadilanNya pasti menempel pada qadar tersebut dan tidak setiap orang bisa melihatnya secara utuh, sebaliknya justru kita lebih sering melihatnya secara parsial. Predikat teroris sering dilekatkan pada ummat Islam yang didefinisikan secara parsial oleh pihak lain, begitu juga Amerika serikat yang dilekatkan oleh ummat Islam sebagai negara Agressor yang didefinisikan juga secara subjectif atau bangsa Yahudi yang dianggap sebagai pembantai warga palestina, begitu juga kaum yahudi yang menganggap nazi sebagai pemusnah bangsa yahudi demikian seterusnya dan pertanyaan sederhananya adalah apakah ada suatu kejadian dimuka bumi ini tanpa rencana Allah SWT baik itu berupa qadar maupun keadilanNya ?
Apa yang tampak oleh mata kita secara logika bisa berbeda dalam pemaknaan seperti apakah sama antara telor setengah matang dengan telor setengah mentah jawababannya adalah sama tetapi indikasi pemaknaannya jelas berbeda hal senada juga berlaku pada persamaan gelas setengah kosong dan gelas setengah isi dimana rasa syukur terhadap sesuatu yangtelah dihasilkan tercermin dari kata 'setengah isi' sedangkan kata 'setengah kosong' lebih dari sebuah ungkapan ketidakpuasan sehingga apapun masalahnya sebenarnya tertuju pada bagaimana cara kita menimbangnya karena terkadang pilihan tidak hanya antara yang baik dan yang buruk, tetapi juga antara yang baik dan yang paling baik atau antara yang buruk dan yang paling buruk dan untuk itu terkadang lebih dibutuhkan suatu kebijaksanaan dari pada sekedar kepandaian.
Menjatuhkan penilaian kepada orang lain jauh lebih mudah dari pada menilai diri sendiri , sehebat apapun penilaian kita terhadap orang lain tidak akan pernah bisa melihat dari berbagai sudut secara utuh , tidak lah adil menilai sebuah mobil hanya dari ban nya saja atau mesinnya atau karoserinya karena mobil bukanlah sekedar kumpulan dari ban, karoseri dan mesin karena kita harus bisa melihat secara utuh seperti keinginan sang pembuatnya seperti pisau yang dimaksudkan untuk memudahkan seseorang dalam memotong sesuatu tetapi juga bisa di jadikan alat untuk membunuh .
Dalam sebuah pengajian dekat rumah, sempat terjadi dialog masalah sekularisme bahkan sempat menyeret nama seseorang, sampai sang ustadz kemudian menengahi sambil berkata " bisa jadi dosa orang tersebut lebih besar dari kalian ambilah contoh dosanya 100 sedangkan dosa kalian hanya 30 , tapi sementara kalian menilai keburukannya apakah kalian telah menilai kebaikannya bisa jadi kebaikannnya telah mencapai 110 dan kebaikan kalian hanya 20 berarti dia masih lebih 10 sedangkan kalian masih kurang 10 , masihkah kalian merasa lebih baik ? " , sang ustad kemudian meneruskan " menilai seseorang lebih banyak merugikan diri sendiri, ketika kita menilai diri kita lebih tinggi nilainya, Allah justru merendahkan orang seperti ini dan hal ini merugikan diri tetapi jika kita menilai seseorang lebih tinggi nilainya dari diri kita hal ini akan menurunkan mental kita dan ini juga merugikan diri sendiri, oleh sebab itu berprasangka baiklah baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri " kata sang ustadz mengahiri dan di ikuti oleh anggukan para muridnya walaupun tetap saja masih ada yang tidak puas karena memang tugas sang ustadz bukanlah memberikan kepuasaan tetapi hanya memberikan sebuah pemahaman tidak lebih dalam surat Ath Thalaaq ayat 3 Allah berfirman ........ Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu