Rabu, 24 Desember 2008

Cukup Memulai dari Mengartikan

Banyak orang melupakan bahwa bunyi baik itu berupa kata atau nada pertamakali berinteraksi bukan dengan fikiran tetapi dengan telinga. Dan fitrah telinga adalah mendengarkan sesuatu yang merdu atau sesuatu yang enak didengar. Terlepas dari manfaatnya, secara jujur pasti telinga atau kuping memilih mendengarkan musik yang menyejukan ketimbang pengajian yang membosankan, sehingga siapapun dia yang ketika ingin berkomunikasi atau ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain semestinya juga menguasai kekuatan intonasi kata atau nada.  Kekuatan yang memerintah dunia memang bukanlah  kata-kata, tapi dengan kata-katalah seseorang menggunakan kekuatannya, kata blaise pascal
 
Sore itu Ustadz Najib terlambat datang karena ada urusan keluarga, sebagian teman mengusulkan mengadakan tadarusan sambil menunggu Ustadz Najib. Sewaktu acara tadarusan berlangsung, rumah yang berada dibelakang musholah menghidupkan radio tape agak keras dengan lagu "Tuhan" dari Bimbo. Lagu tersebut memecahkan konsentrasi kami.  Secara jujur,  sensitivitas spritual saya lebih tersentuh lewat lagu itu dari pada suara tadarusan yang sedang tersaji dan secara reflek saya justru lebih mengikuti setiap bait lirik lagu tersebut dan  mengikuti irama dengan sentuhan menyayat hati. Lebih dari itu Pandi malah ikut menyanyi dengan suara lirih seperti berbisik.
 
Ustad Najib ketika datang hanya tersenyum di depan pintu sambil mengucapkan salam, nampaknya dia sudah tahu kelakuan kami ini. " di sunnahkan membaca Al Qur'an dengan tartil dan usahakan membaguskan suara, karena bacaan tersebut tidak hanya untuk diri kita tetapi juga untuk orang lain yang mendengarkannya" kata Ustadz najib sambil duduk diantara kami,  " memang tidak semua orang bisa melantunkan  Al Qur'an dengan indah dan untuk itu harus sering melakukan latihan, Diantara para sahabat hanya beberapa orang yang masyhur melantunkan Al Qur'an dengan indah seperti Abdullah bin Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab yang Rasulullah sendiri pernah sampai menangis mendengarnya" lanjutnya sambil membuka kitab yang akan dipelajari, hari itu khusus pelajaran tauhid.
 
Filosofi membaca adalah berusaha memaknai kandungan dari sesuatu yang dibaca. Di dunia ini , satu-satunya yang paling banyak di baca berulang-ulang tetapi paling jarang dimaknai hanyalah Al Qur'an, sebab jika dibandingkan dengan kitab agama lain yang dibaca dalam bahasa ibu masing-masing ( tidak ada standarisasi bahasa ) maka semakin sering di ulang, semakin mengertilah mereka terhadap kitab mereka, sebaliknya kitab Al Qur'an yang terstandarisasi dalam bahasa arab, walaupun dibaca seribu kali jika tidak di artikan dalam bahasa ibu maka tidak akan pernah ada makna yang bisa diraih.
 
Ketika ditanya barapa kali jama'ah mengkhatamkan Al Qur'an oleh Ustadz Abbas dalam pengajian tadabbur Al Qur'an, ada yang menjawab seratus kali ( tampak sudah berumur) ada yang sudah lima puluh kali, tiga puluh kali dan yang paling sedikit lima kali. Ketika ditanya siapa yang mengerti bahasa Al Qur'an (Arab) dari sekitar tiga puluh orang hanya empat yang mengangkat tangan, Ustadz Abbas hanya tersenyum dan berkata " tidak apa-apa , tapi jika memang tidak bisa bahasa Al Qur'an, maka pertanyaan saya ganti dengan berapa kali jama'ah semua telah mengkhatamkan terjemahan Al Qur'an ?" . Para jama'ah banyak yang diam  tetapi ada juga yang menjawab dan sungguh menakjubkan ternyata jawaban paling banyak hanya delapan kali itu juga oleh seorang kakek berumur sekitar enam puluhan .
 
Al Qur'an adalah sebuah rahasia hidup, walaupun sebagian berisi sejarah tetapi itu bukan jadi alasan untuk selalu menganalisa masa lalu dan juga bukan untuk selalu  berusaha untuk mengantispasi masa depan, tetapi rahasia itu mengharapkan kita untuk bisa memahaminya agar hidup yang kita jalani hari ini bisa lebih berarti.
 

Minggu, 21 Desember 2008

Mahluk Allah itu Bernama Anjing

Kediaman orang tuaku terletak di pinggiran jakarta. Walaupun hampir sama padatnya dengan Jakarta, tetapi banyaknya pohon-pohon sebagai sarana penghijauan dan penahan serapan air membuat beberapa warga dilingkungan tersebut mengembangkan hobi mereka memelihara binatang seperti burung, ayam, kelinci dan kambing bahkan di pinggiran rawa ada yang memelihara bebek.  Sekitar satu setengah tahun yang lalu, di halaman rumah belakang tiba-tiba muncul seekor anak anjing yang baru bisa jalan, karena tampak masih tertatih-tatih yang bermain bersama anak kucing. Entah tersasar atau ada yang membuang, yang jelas sejak hari itu anak anjing tersebut seperti mengikat tali persaudaraan dengan anak kucing dan tinggal dengan damai di halam belakang rumah orang tuaku.
 
Satu tahun kemudian perkembangan anak anjing tersebut melampaui anak kucing, tetapi kemesaraan mereka tetap tidak berubah. Berbeda dengan kucing, anjing lebih berkarakter artinya mereka lebih spontan membela orang yang memberi mereka makan jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan sedangkan kucing , lenggang tidak mau tahu seperti mengatakan " akukan binantang, tidak ikut campur urusan manusia" seperti kejadian ada yang mengambil pisang di pekarangan belakang maka anjing ini langsung menyalak dengan keras yang membangunkan tidak hanya isi rumah tetapi juga tetangga.
 
Ayahku sebenarnya risih dengan keberadaan anjing ini karena kemanapun ayahku pergi dia sesalu mengikuti termasuk pergi kemasjid. Anjing ini seperti terlatih untuk menunggu sampai selesai sholat, atau sampai selesai berbelanja dipasar dekat rumah, atau sampai selesai bertamu ketetangga, sehingga para tetangga mengira ayahku sengaja memelihara anjing ini padahal tidak. Walaupun demikian ayah tetap rutin memberi makan anjing dan kucing ini sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari .
 
Ada satu alasan mengapa ayah tidak pernah mengusir atau membuang anjing ini selain loyalitasnya,  yaitu tidak pernah membuang kotoran di pekarangan rumah, entah dimana dia membuangnya dan  juga tidak ada tetangga yang mengeluh karena perpindahan lokasi pembuangan tersebut. Disamping itu kebiasaaan anjing lain yaitu suka menjilat dan mengendus, tidak dilakukan oleh anjing ini, entah karena terbiasa bergaul dengan kucing atau ada faktor lain sehingga bisa merubah kebiasaan dari habitatnya  oleh karena itu ayah tidak pernah ragu dengan sandal atau sarung yang di gunakannya terkena najis.
 
Namun belakangan ini, ayah ingin memberikannya kepada orang lain, karena gunjingan tetangga semakin keras, mungkin bagi mereka tetap aneh seorang muslim yang taat memelihara seekor anjing walaupun anjing itu sangat jinak dan tidak pernah mengganggu siapapun, dan kebetulan ada tetangga lain RT yang beragama kristen bersedia menampung.
 
Pada hari ahad dua minggu yang lalu anjing itu tidak mau makan seharian, dia tampak murung dan ketakutan, selalu berada di pojok rumah, sekilas ayah melihat  pada sore itu setitik air dimatanya, dia seperti rudung suatu kesedihan, seperti akan berpisah sangat jauh. Pada malam harinya ayahku melihat dia masih berada di pojokan rumah tertidur atau hanya sekedar berbaring.
 
Pagi harinya tiba-tiba anjing itu menghilang entah kemana. Ayah walaupun memang berniat memberikannya kepada orang lain tetapi merasa seperti ada yang meresahkan hatinya dan itulah yang membuatkan nya mencari seharian tetapi tidak ketemu. Beberapa hari kemudian terdengar berita bahwa ada beberapa anjing jalanan yang masih muda dibunuh untuk di konsumsi bahkan setelah di potong ada yang diperjual belikan untuk kalangan tertentu. Mendengar berita tersebut ayahku cuma terdiam tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak pernah memegang hak kepemilikan binatang tersebut. Mata ayah nampak berkaca-kaca mendengar khabar tersebut.
 
Ada sesuatu yang hilang, yang kurang diharapkan ketika dia ada tetapi membekas cukup dalam ketika dia tidak ada. Binatang yang sampai tiga kali disebutkan di dalam surat Al Kahfi  itu seperti pelajaran dari ayat-ayat kauniyah Allah di alam semesta tentang suatu kasih sayang. tentang sebuah kesetiaan, tentang  kebersamaan walau hanya dari seekor binantang yang telah bertamu satu tahun lebih dirumah  pinggiran Jakarta tersebut.
 
Dari Abu Hurairah , Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tatkala seorang lelaki sedang berjalan pada sebuah jalan terasalah olehnya dahaga yang sangat. Lalu ia mendapati sebuah sumur dan bersegeralah ia meneruninya untuk minum. Ketika keluar, tiba-tiba dia melihat seekor anjing menjulurkan lidah sambil menjilat-jilati debu karena sangat haus. Lelaki itu berkata:  anjing  ini sedang kehausan seperti aku tadi lalu turunlah dia kembali ke dalam sumur untuk memenuhi sepatu kulitnya dengan air lalu digigit agar dapat naik kembali. Kemudian ia meminumkan air itu kepada  anjing tersebut. Allah berterima kasih kepadanya lalu mengampuninya. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah kami akan mendapatkan pahala karena binatang-binatang seperti ini? Rasulullah saw. menjawab: Pada setiap yang bernyawa (mahluk hidup) ada pahalanya. (Shahih Muslim No.4162) didalam riwayat lain pelakunya di gambarkan seorang wanita pelacur ( lihat sahih Bukhari atau sahih Muslim nomor selanjutnya )

Kamis, 18 Desember 2008

Mata Pelajaran Ahlak

Setelah beberapa tahun mengikuti pengajian, seorang teman mengeluarkan catatan mengenai apa saja yang telah dipelajari selama ini, sesuatu yang saya sendiri jarang mencatatnya. Hampir semua teman pengajian yang berjumlah kurang dari dua puluh orang menyenangi masalah Fiqih karena standard, rujukan dan penilaiannya jelas. Ustadz Najib juga bisa menilai dalam praktek kekurangan para muridnya dalam masalah fiqih tersebut. Walaupun agak tersendat-sendat pelajaran Nahwu-shorof pun mengalami sedikit kemajuan demikian juga halnya dengan  pelajaran-pelajaran lain, yang tolak ukurnya bisa dilihat secara kasat mata.
 
Sewaktu teman membuka bukunya yang sangat komplit tersebut, ada satu bab yang susah dilihat tingkat kemajuannya, bahkan Ustadz Najib mengabaikan bab ini dalam penilaian ahir semester ( penilaian non formal, karena pengajiannya juga tidak mengikat itulah sebab mengapa jumlah pesertanya saya bilang kurang dari dua puluh, karena setiap pertemuan memang selalu naik turun tetapi tidak pernah lebih dari dua puluh ). Bab tersebut adalah bab ahlak, bab yang berisi cara-cara memperindah ahlak, dan cara-cara menghindari ahlak tercela. Kalaupun Ustadz Najib bertanya pada abab ini, pertanyaannya tidak lebih dari hafalan cara-cara tadi dan dalil yang mendukung, sedangkan hasil mempelajari bab tadi seperti tersembunyi  seolah ustadz Najib sedang berkata " Allah lah yang maha mengetahui".
 
Pandi yang berperawakan agak tinggi adalah satu-satunya diantara murid yang paling susah menangkap pelajaran dan selalu datang terlambat, bahkan anak-anak lain suka di buat kesal karena harus mengulangi materi sampai beberapa kali hanya karena Pandi kurang mengerti. Saya mungkin bodoh dan kalau di buat skala penilaian paling tinggi cuma poin enam tapi entah mengapa poin yang sudah kelewat rendah itu masih susah juga di kejar Pandi, jadi silahkan tebak sendiri kira-kira berapa poin Pandi.
 
Tetapi anehnya Ustad Najib terlihat sangat sayang kepadanya, pertanyaan-pertanyaan Pandi yang jarang berkembang tidak pernah diabaikan. Cuma ada satu yang saya suka dari Pandi yaitu wajahnya yang selalu ceria, dan senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya, pokoknya tampak selalu senang sampai saya bingung, sebenarnya dia itu senang mentertawakan kami karena selalu menggerutu kepadanya atau karena memang senang karena ditertawakan , sama saja kelihatannya.
 
Suatu hari karena habis menghadiri kondangan saudara,  saya terlambat datang ke pengajian. Seharusnya posisi terlambat ini milik spesial Pandi , tetapi karena suatu hal posisi ini aku rebut secara tidak sengaja darinya. Ketika hendak masuk gang musholah tempat Ustadz Najib biasa ngajar, saya melihat Pandi baru tiba. Dia tidak langsung masuk tetapi merapihkan sandal anak-anak lain yang berantakan bahkan ada yang masuk got dekat musholah, tidak ketinggalan dia memungut sampah yang berserakan dan setelah itu baru dia masuk sambil mengucapkan salam. Pak Jumal yang tinggal tepat didepan musholah mengatakan bahwa setiap akan masuk Pandi selalu merapihkan dan membersihkan pekarangan musholah. Mungkin itu sebabnya dia menyengajakan diri terlambat, entahlah.
 
Saya baru sadar mengapa Ustadz Najib begitu menyayanginya, mungkin dalam bab mata pelajaran lain  kami berkejar-kejaran diatas angka lima meninggalkan Pandi yang tidak pernah resah dengan angka-angka. Tetapi untuk penilaian bab yang tidak pernah dilakukan oleh Ustadz Najib karena memang sulit untuk di buktikan,  telah tersemat di leher seorang pria yang selalu diledekin teman-temannya, nilai yang tidak akan pernah di ungkapkan karena  mungkin bagi sebagian orang terlihat sangat sepele tetapi jelas nilai itu telah tergores di langit atas musholah.
 

Selasa, 16 Desember 2008

Keinginan Menjadi Kaya

Apa yang membedakan pertamakali ketika kita memiliki uang seratus ribu dengan uang seratus juta ? tidak lain adalah keinginan-keinginan. Ketika uang yang di peroleh hanya seratus ribu maka keinginan kita seperti menyesuaikan bahkan  memangkas hal-hal yang dirasa kurang perlu, tetapi ketika uang yang di peroleh seratus juta maka muncul seketika berbagai keinginan untuk direalisasikan termasuk sesuatu yang kurang perlu sekalipun, sehingga pertanyaannya adalah apakah rezeki  yang telah di berikan Allah masih kurang   atau kita yang mesti mengurangi berbagai keinginan untuk disesuaikan dengan rezeki yang telah amanahkan Allah kepada kita ?
 
Tentu tidak sesederhana itu karena variant kebutuhan setiap orang berbeda-beda dan sebuah keinginan tetaplah sebuah keinginan karena itulah yang membedakan manusia hidup dengan manusia yang tidak hidup atau yang tidak mau lagi hidup. Antisipasinya hanyalah sebuah kesimbangan antara tawwaqal dan ikhtiar , antara sabar dan syukur karena jika tidak, keinginan bisa menjadi liar dan selanjutnya akan muncul pertanyaan  apakah keinginan bisa diartikan sebagai hawa nafsu jika keinginan adalah hawa nafsu maka posisinya tidak lagi menjadi pemicu (trigger), tetapi berubah menjadi negatif maka Allah menerangkan dalam surat An Naazi'at "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). " (QS 79:40-41)
 
Apa yang membedakan orang kaya yang bertaqwa dengan orang miskin yang bertaqwa ? pertanyaan itu diajukan diantara peserta pengajian tadabbur al Qur'an, tidak ada yang berani menjawab tetapi kalau di suruh memilih tentu semua yang ada di masjid itu memilih menjadi orang kaya yang bertaqwa. Diantara empat sahabat dekat nabi yang menjadi khalifah hanya Ali ra yang tergolong miskin, tetapi baik Rasulullah maupun para sahabat yang kaya tidak pernah hidup dalam kemewahan ( kecuali Muawiyah bin Abu Sofyan  yang bahkan pernah di tegur oleh Umar bin Khattab ) hampir semua harta yang mereka peroleh di sumbangkan di jalan Allah, Rasulullah sendiri yang seorang saudagar dan khalifah  tidur beralaskan pelepah kurma, Abu Bakar hampir kesusahan menafkahi keluarga karena hartanya habis disumbangkan.
 
Ustadz Abbas menerangkan bahwa didalam Al Qur'an tidak pernah di bicarakan hak orang kaya selain tanggung jawab terhadap orang miskin, sikaya di bebankan kewajiban-kewajiban sedangkan simiskin disuruh untuk bersabar. didalam hadist diterangkan perhitungan orang kaya dan orang miskin berjarak lima ratus tahun kesimpulannya orang kaya yang bertaqwa memang lebih dimuliakan karena mereka disibukan dengan berbagai kewajiban artinya kekayaan tersebut bukan untuk dinikmati tetapi untuk dibagi-bagi , kata Ustadz Abbas " masa sih ustadz, kita tidak boleh menikmati sesuatu yang telah kita usahakan  bukankah zakat cuma dikenai dua setengah persen" kata salah seorang peserta, Ustadz Abbas hanya tersenyum " Didalam ilmu hadist memang lebih di dahulukan perintah Rasulullah lewat ucapan ketimbang contoh beliau lewat perbuatan, perintah biasanya disesuaikan dengan kondisi ummatnya" jawab Ustadz Abbas mengahiri pengajian.
 
Jaffar As shadiq pernah berdoa " Ya Allah sibukan hamba dalam membagi-bagikan hartamu dan jangan sibukan hamba dalam mencari hartamu "
 

Senin, 15 Desember 2008

Cukup Menjadi Seorang Pekerja

Entah siapa yang pertama kali memulai kebiasaan ini yang jelas salah satu penggerak aktivitas di dunia adalah benda keramat bernama uang. Jika di zaman prasejarah seperti yang kita baca di buku waktu sekolah dulu bahwa yang mempunyai kekuasaan adalah yang paling kuat, maka point itu sekarang telah bergerser menjadi yang paling kaya, benda keramat yang bernama uang tersebut telah merombak berbagai peradaban. Bahkan paradigma kita sebagai orang tua hampir sama dengan orang tua kita dulu yang ketika menanyakan cita-cita anaknya menjadi apa ? maka apapun pilihan sang anak , takaran terakhir adalah berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari profesi  yang dicita-citakan tersebut sehingga sang anak kelak jadi makmur, tidak susah.
 
Bagaimana seandainya di perkotaan seperti ini orang tua mendengar cita-cita anaknya seperti  " Ibu saya ingin jadi petani " atau " Ayah aku kalo sudah besar ingin jadi nelayan", pasti ada sedikit miris di hati mendengarnya, kalaupun mau berbesar hati maka pasti ada embel-embel dengan mengatakan " ya gak apa-apa asal jadi petani yang kaya " atau " boleh jadi nelayan tapi nelayan yang sukses yang punya kapal sendiri dan banyak anak buah ". Lalu salahnya dimana ? tidak ada karena semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Saat kecil profesi petani dan nelayan bukanlah jadi pilihan, tetapi ketika sudah beranjak dewasa bisa jadi profesi tadi menjadi kenyataan yang harus dijalani.
 
Menyekolahkan anak sampai keperguruan tinggi walaupun secara filosofi agar anak menjadi orang yang pintar tetapi secara kasat mata bisa dipastikan bahwa maksud terselubung adalah agar mudah mendapatkan pekerjaan yang layak dan hal ini juga pernah kita alami sewaktu masih sekolah atau kuliah, artinya secara singkat yaitu menjadi pintar agar mudah bekerja pada orang lain ( employee) dan kita belum terbiasa dengan wacana sekolah yang tinggi agar bisa mempekerjakan orang lain ( employer) sehingga jika ada yang menyimpulkan bahwa pemilik perusahaan belum tentu pintar dan orang pintar belum tentu bisa memiliki perusahaan adalah sah-sah saja karena memang kenyataanya seperti itu.
 
Didalam Islam cerita mengenai uang tidak jauh dari sekedar mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari dan menyisihkan jika telah melebihi kebutuhan sedangkan cerita profesi tidak lagi menyangkut masalah uang tapi masalah tanggung jawab, seperti  tanggung jawab hakim, kewajiban pekerja, kewajiban pengusaha, tanggung jawab pemimpin , adab dan kesopanan berdagang dan sebagainya. Kaya dan Miskin adalah dampak dari proses, bukan tujuan , dan dampak tersebut melekatkan predikat baru yaitu Muzaki dan Mustahik, cukup sederhana sebenarnya.
 
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah  mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla". (HR. Ahmad)
 
 

Minggu, 14 Desember 2008

Tidak Seindah Kisah-Kisah

" koran-koran, pos kota, kompas, koran " teriak Wawan diantara lalu lalang mobil di persimpangan  di bawah bypass jalan pramuka menjajakan korannya yang masih belum habis walau hari sudah beranjak siang. Wawan terus menelusuri jalan menuju arah Ahmad Yani , Rawasari persis di depan toko-toko keramik ( waktu itu belum di gusur ). Wawan berhenti dan duduk di taman depan toko tersebut sambil menghitung perolehan sementara. Tampak beberapa orang sedang melakukan tawar menawar dengan pedagang keramik, dan yang paling menyolok adalah seorang ibu yang berpakaian long dress abu-abu mirip piama yang menawar dengan suara tinggi dengan logat mandarin yang khas.
 
Setelah melakukan transaksi dan membayar si ibu menyuruh asisstennya mengangkut keramik-keramik yang telah di pisahkan oleh si penjual kebagian pojok toko dan dia sibuk melayani pembeli lain. Tiga kali asisten ibu tersebut bolak balik mengangkat keramik karena ada empat keramik yang telah di pisahkan si penjual, tetapi setelah menunggu beberapa lama si asisten ibu itu tak kunjung datang malah masuk mobil seperti mau pergi, sontak wawan berlari mengambil keramik tersisa untuk di serahkan kepada ibu tadi " tunggu bu masih ada satu lagi yang belum diambil " teriak wawan sambil berlari kearah mobil ibu tersebut. Mungkin karena takut tertinggal , wawan berlari tanpa melihat bahwa akar pohon-pohon didepan toko-toko tersebut banyak yang menyeruak keluar seperti menonjolnya urat nadi para binaragawan. Ternyata mengandalkan mata kaki tidak cukup, Wawan terpleset, keramik jatuh dan pecah.
 
Bukannya rasa terimakasih dan kasihan yang di peroleh, sebaliknya malah mendapatkan makian " kamu itu gimana sih, kalo mau bantu hati-hati dong, kalo cuma ketinggalan saya bisa balik ambil lagi nih barang, tapi kalo sudah begini kamu orang mau ganti " teriak ibu tadi masih dengan logat mandarin yang kental. Wawan cuma diam menunduk " maafkan saya bu ". Sambil terus merepet gak karuan, ibu terus berlalu tapi nada ejekan masih terdengar dari para pedagang di sekitar situ.
 
Niat baik belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik, terkadang kita sering terlena oleh cerita atau kisah yang sering kita forward jika di email bahwa melakukan kebaikan akan mendapatkan kebaikan berlipat ganda secara kontan baik berupa uang atau kebaikan-kebaikan lain seolah kita telah mendikte cara berfikir Allah, atau jika mau berprasangka baik mungkin bisa juga memang untuk memotivasi yang lain melakukan hal yang sama, tapi pernah kita sadari bahwa Allah mempunyai rencana sendiri yang pada dunia nyata justru kejadian seperti wawanlah yang mungkin sering kita alami tentang arti sebuah kesabaran yang jika telah diperlakukan seperti itu apakah kita masih mau melakukan hal yang sama , pada tempat yang sama , mungkin  ? 

Kamis, 11 Desember 2008

Memahami Yang Telah Diketahui

Setelah belajar setengah matipun nilai akuntansiku tidak pernah bisa melampaui angka tujuh, terlalu banyak istilah-istilah yang memusingkan kepala tentang definisi alamat postingan (entries),  padahal ayahku seorang pedagang yang tidak pernah belajar akuntansi tetapi ketika ditanya masalah proses pencatatan keluar masuk uang dengan cepat dia bisa meyebutkan semua transaksi yang rata-rata di hafal di luar kepala. Masalah sebenarnya adalah sebuah penyederhanaan. Fikiran kita tidak cukup sederhana dalam menyederhanakan sesuatu. sehingga terkesan semakin kompleks jalan fikiran seseorang semakin pintarlah dia.
 
Di dalam pelajaran agama Islam sendiri guru pernah bertanya " Apakah inti dari ajaran agama Islam ?" banyak yang memberikan jawaban-jawaban yang cerdas tapi rata-rata bersifat umum , seperti " agar bisa merubah ahlak, karena pada waktu itu masa jahiliyah yaitu masa kebodohan" kata sugianto yang tepat di belakangku. " Agar kita bisa melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh laranganNya yang tercantum di dalam Al Qur'an maupun sunnah nabi " sahut romlah di pojokan bangku depan. Aku sendiri tidak tau jawabannya apalagi berusaha untuk menjawab dan malah sibuk buat PR pajak yang semestinya di kerjakan di rumah tapi mentok yah terpaksa minta sedekah jawaban dari kanan kiri dan sehabis mata pelajaran agama Islam ini adalah mata pelajaran Perpajakan.
 
" Semua jawaban tidak ada yang salah, tetapi inti ajaran agama Islam yang lebih tepat adalah mengesakan Allah , La ilaha illallah " kata Pak Zainudin guru agama kami waktu sekolah dulu. Jauh sekali dari pandangan kami waktu itu bahwa mempelajari agama Islam berarti mempelajari tata cara sholat, tata cara zakat,  puasa, dan lain-lain yang merupakan rukun Islam, mempelajari rukun iman, mempelajari sejarah Islam. Intinya adalah mengetahui, masalah memahami apalagi meyakini di nomor sekiankan, dan ini juga berlaku untuk semua mata pelajaran. Ahirannya tentu semua sudah bisa menebak, ya ..terlupakan.
 
Kisah belajar mengajar juga telah dialami oleh Rasulullah. Turunnya Al Qur'an secara bertahap merupakan proses pembelajaran tiada henti yang diteruskan kepada para sahabat untuk dilaksanakan dan tidak berhenti pada proses mengtahui, karena hanya dengan pelaksanaan kita bisa  memperoleh pemahaman. Lapar harus dirasakan untuk bisa memahami apa yang telah kita ketahui tentang puasa, Harta harus disisihkan agar kita bisa memahami apa yang telah kita pelajari tentang zakat. Pelajaran memang tidak boleh berhenti sampai kapanpun karena hidup  selalu memaksa untuk terus di maknai.
 

Rabu, 10 Desember 2008

Sunnah Yang Terlupakan

Sore itu terjadi sebuah drama penahanan. Pak Sadeli memang telah lama tidak bertegur sapa dengan Pak Amin , tetapi anehnya kedua orang tua itu kerap bertemu di masjid untuk menunaikan sholat berjama'ah, mungkin karena masjid lain terletak cukup jauh dari pemukiman mereka. Permasalahan mereka berkisar pada tanah sengketa, tetapi masalah itu tidak usah di bahas, kita fokuskan saja pada tingkah Pak Sadeli mengahiri perseteruannya.
 
Sehebat apapun gejolak Api pasti akan bertekuk lutut pada siraman air, Pak Sadeli telah memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di kampung sekalian meneruskan hobi lamanya berternak ayam kampung, namun untuk bisa lenggang mulus kekampung Pak Sadeli tidak mau menyisakan bara yang telah terbakar lama. Hanya saja ada satu masalah yaitu Pak Sadeli tidak pandai merangkai kata-kata untuk memulai sapa-menyapa dengan Pak Amin di samping itu dia juga tidak suka melibatkan orang lain, "tapi memang segala sesuatu membutuhkan permulaan untuk bisa diahiri dengan pembiasaan" pikir Pak Sadeli.
 
Ketika Pak Amin masuk kemasjid  hendak melaksanakan sholat maghrib berjama'ah, terdengar suara " Assalamu'alaikum Pak Amin"  belum sempat Pak Amin menjawab tiba-tiba Pak Sadeli telah merangkulnya dari samping " Ayo Pak silahkan" sambil terus menggandeng tangan Pak amin kearah shaf depan, setelah itu diam, bahkan Pak Amin tidak berkata sepatah kata pun , bingung, kesal, kaget bercampur aduk tidak karuan , tidak lama kemudian  suara imam terdengar memulai takbir. Ketika telah selesai sholat kembali Pak Sadeli menjabat tangan Pak Amin " kalo ada yang mengatakan jauh di mata dekat di hati, eh kita yang sudah tua ini malah dekat dimata jauh dihati, maafkan sajalah saya Pak mungkin semua ini kekhilafan saya " sahut Pak Sadeli , beberapa hari kemudian sewaktu akan berangkat pulang,  baru saya tahu kalau kalimat itu di hafal oleh nya dari pagi  hari yang di ilhami dari buku peri bahasa cucunya. Tapi ada satu yang jelas yaitu Pak Amin telah tertawan oleh rasa malu, oleh rasa kesal, oleh rasa dendam, dan oleh rasa penyesalan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata selain diam sambil menyaksikan Pak Sadeli berlalu dari masjid.
 
Kita sering mendengar cerita bagaimana Rasulullah menawan musuh-musuhnya dengan kebaikan dari lemparan batu yang dibalas dengan perhatian beliau dengan bersilaturahim ketika sipelempar  sakit , dari yang mencaci maki yang kemudian dibalas oleh beliau dengan memberi makan bahkan disuapi ( kisah yahudi buta), dan banyak lagi  sunnah yang tak terlihat itu,  yang entah mengapa  jarang di sunnahkan untuk dilaksanakan, padahal itulah amaliyah ahlak yang orang melihatnya saja sampai tergetar akan kedahsyatannya. semua orang yang berada di masjid waktu itu hanya bisa terperangah melihat adegan tersebut, seperti menyaksikan potongan paragraph terakhir dari buku roman kehidupan

Subjektifitas Sebuah Zakat

" Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat." (QS 24:56 
 
Setiap ahir tahun di masjid dekat rumah biasanya diadakan rekapitulasi dana zakat, infaq dan sadaqoh untuk di buatkan laporan tahunan antara pemasukan dan pengeluaran kas masjid. Dari hasil rekapitulasi tadi terlihat bahwa jika ditotal jumlah nominal zakat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah infaq dan sadaqoh namun jika diambil perbandingan data qualitatif orangnya ( zakat mal memang terdata tapi infaq dan sadaqoh tidak sehingga di ambil asumsi dengan lembaran uang yang terkumpul, artinya jika jumlah infaq dan sadaqoh sepuluh juta yang terdiri dari lima ratus lembar uang kertas maka asumsi kasar ada lima ratus orang yang berinfaq dan sadaqoh ) maka terjadi sesuatu yang bertolak belakang yaitu satu banding lima puluh antara zakat dengan infaq dan sadaqoh artinya dari lima puluh orang yang berinfaq dan sadaqoh hanya satu orang yang membayar zakat ( dalam hal ini zakat mal ) , apakah kondisinya memang seperti itu atau ada kesalah pahaman ( misinterpretasi ) masyarakat antara zakat dan infaq-sadaqoh.
 
Zakat hukumya wajib jika telah sampai nisab dan haulnya, logikanya seseorang yang telah berzakat memilki kemungkinan besar untuk berinfaq-sadaqoh, sedangkan infaq-sadaqoh bersifat sunnah dan belum tentu orang yang melakukanya terkena kewajiban membayar zakat jika memang belum sampai nisab dan haulnya, pertanyaannya adakah seseorang yang menyengaja menyampaikan harta yang dimilikinya pada nisab dan haul atau menyengaja membiarkan sampai memang saatnya tiba dimana memang sudah tidak ada lagi biaya yang menggerogoti pemasukan, atau terjadi lonjakan pemasukan yang susah di kejar oleh pengeluaran.
 
Perintah sholat dan membayar zakat di dalam Al Qur'an selalu bersanding sebagai pasangan keimanan dan sekarang sepertinya ada yang tercecer. Di negara kita, pajak memiliki kekuatan hukum tetapi tidak demikian hal nya dengan zakat, jika pajak memiliki point-point yang menyebabkan wajib pajak sulit berkilah maka point tersebut sulit diterapkan pada zakat , padahal sejarah mencatat pada masa kekhalifan Abu Bakar ra, para ingkar zakat di perangi bahkan ada yang dibunuh, kira-kira kriteria apa yang dimiliki oleh Abu Bakar ra sehingga bisa menentukan orang yang terkena kewajiban zakat atau tidak, karena pada hari ini kewajiban yang satu itu sangat bersifat subjectif,  hanya dirinya dan Allah saja sepertinya yang mengetahui.
 
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS 9:103)

Siapapun Bisa Memberi

"Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (QS 6:132)

Sebenarnya yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana cara kita memaknai hidup itu sendiri, karena dalam sudut apapun selalu ada nilai disisi Allah tergantung apakah setiap kejadian itu di niatkan karena Allah atau tidak. Tanpa kita sadari keseimbangan selalu mewarnai hidup kita, tetapi sebagai manusia , pertanyaan justru sering diajukan hanya pada sisi yang tidak menguntungkan dan seolah melupakan segala kelebihan yang telah di anugrahkan. Terkadang untuk bisa memahami sebuah persoalan , kita pertamakali harus bisa membebaskan diri dari hasrat memperoleh jawaban karena apapun jawaban Allah kepada kita belum tentu bisa kita mengerti sebagai sebuah gambaran yang utuh apalagi jika hanya di kaitkan dengan substansi persoalan hidup sesaat.
 
Abu Musa mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Tiap-tiap muslim itu harus bersedekah." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah orang yang tidak mendapatkan (sesuatu untuk bersedekah)?" Beliau bersabda, "Ia bekerja dengan tangannya. Lalu, ia manfaatkan untuk dirinya dan menyedekahkannya." Mereka bertanya, "Bagaimana jika ia tidak mendapatkan?" Beliau bersabda, "Menolong orang yang mempunyai keperluan yang dalam kesusahan." Mereka bertanya, "Bagaimana jika tidak mendapatkan?" Beliau bersabda, "Hendaklah ia mengamalkan (dalam satu riwayat: menyuruh kepada kebaikan atau berkata ) dengan kebaikan dan menahan diri." (Dalam satu riwayat mereka bertanya, "Jika ia tidak melakukan kebaikan?" Beliau menjawab, "Maka hendaklah ia menahan diri) dari kejahatan dan hal itu menjadi sedekah baginya." (Sahih Bukhari)
 
Pernahkah kita merasakan sensasi memberi dan menerima ? Ada rasa bahagia ketika bisa menerima dan ada rasa bangga ketika bisa memberi, permasalahannya yang manakah yang lebih dominan mewarnai hidup ini dan hal ini bukan pada masalah memiliki atau tidak memiliki tetapi lebih pada permasalahan kemauan untuk berbagi karena jika kita mulai dari yang sederhana maka bukankah senyuman itu juga sedekah lalu kepemilikan seperti apa yang mesti dipersoalkan dari sebuah senyuman. Jika takaran fisik adalah harta maka takaran jiwa dalah hati, kedua sumber tersebut merupakan potensi kita untuk bisa memberi.
 
Orang tua kita dulu pernah berkata bahwa baik mempunyai kemampuan untuk memberi namun cukup bijaksana jika kita juga mempunyai kemampuan untuk membuat orang lain bisa memberi.  Caranya ? masih kata orang tua dulu yaitu jangan pernah memberikan ikan tapi berikanlah pancing agar mereka berusaha mencari ikan sendiri sehingga suatu ketika pancing itu bisa di wariskan kepada orang lain lagi, trus kesimpulan negatifnya ? ya mau makan ikan sendiri, udah capek mancing seharian enak aja di bagi-bagi.

Saran Terakhir

Sehabis sholat maghrib, seorang teman bertanya kepada saya bagaimana cara agar kita senantiasa terjaga dari perbuatan dosa dan selalu bisa berbuat kebaikan. Saya menyarankan agar dia bertanya langsung kepada orang yang berkompetent di bidangnya yaitu Ustad Farid yang biasa jadi imam di masjid atau Ustad Abbas yang biasa mengajar tadabbur Al Qur'an, tapi teman tersebut menolak dengan alasan bahwa jawaban yang di berikan terlalu bersifat idealis dan susah untuk dilaksanakan apalagi harus merombak berbagai kebiasaanya seperti mengusahakan sholat malam , banyak-banyak berpuasa, bergaul dengan orang baik-baik saja (sholeh ) sedangkan yang kurang apalagi yang tidak baik, ditinggalkan saja  katanya kepada saya dan jelas saya mendukung seratus persen usulan para Ustad tersebut,  tetapi dia ingin saran dari saya sebagai sesama orang yang banyak dosa kilahnya. Niatnya sih baik yaitu minta saran, tapi alasannya cukup menyakitkan, tapi ya sudah lah memang kenyataanya banyak dosa kok mau menyangkal.
 
Menjadi orang baik memerlukan sebuah proses panjang yang berakhir pada nama, karena apa yang kita nilai baik hari ini belum tentu bisa bertahan sampai esok hari seperti yang di isyaratkan oleh Rasulullah bawa kalo mau lihat amal yang sesungguhnya lihatlah di penghujungnya (saat ajal mendekat) , sebaliknya apa yang kita lecehkan atau kita anggap kurang baik saat ini mungkin suatu hari jika Allah mengijinkan bisa lebih baik dari diri kita sendiri. Ada sebuah perbandingan yang cukup miris yang sering di lontarkan orang banyak yaitu lebih baik dianggap bekas orang jahat dari pada dianggap bekas orang baik.
 
Mungkin inilah saran pamungkas untuk orang paling malas ( mungkin seperti saya juga ). Saran tersebut cukup singkat kepadanya yaitu " awali dengan keyakinan dan ahiri dengan pelaksanaan " , maksudnya perbanyaklah berdoa kepada Allah dengan penuh keyakinan agar di tunjuki jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang di ridhoi olehNYa dan kemampuan untuk menapaki jalan tersebut dan berdoa agar Allah juga memberikan kita kemampuan untuk menjauhi perbuatan yang di murkaiNya karena pada dasarnya tidak ada satupun yang bisa melampaui kehendakNya termasuk ikhtiar kita dan ada saat dimana Allah berkehendak atas doa hambanya, "...Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu...." (QS 40:60)
 
Jika kita merasa berat melaksanakan ibadah  atas anjuran ustadz teruslah berdoa agar Allah sendiri yang menetapkan keinginan dihati kita , " Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha " ( QS 91:8)  tetapi ketika keinginan itu sudah terbersit, maka tolong jangan sanggah, laksanakanlah karena bersitan dihati itu tidak sering muncul , dan ketika kita sudah melaksanakan tinggal melakukan proses pembiasaan Insya Allah Jauh lebih mudah dari pada proses pemaksaan diri , permasalahannya proses ini memakan waktu dan pertanyaannya apakah umur kita masih mau berkompromi kata saya kepada teman tadi yang hanya melongo entah mengerti entah tidak

Realitas Tipuan

Didalam hidup kita sering memperoleh kesempatan yang bisa kita anggap cukup bernilai. Nilai tersebut terkadang mesti dicari dengan kerja keras tetapi ada juga saat dimana nilai tersebut di temukan secara tidak terduga. Namun kedua hal tersebut diatas sama-sama tidak bermanfaat ketika kesempatan itu tidak di pergunakan sebaik-baiknya. Jika didalam dunia usaha yang paling penting adalah diffrensiasi sedangkan sebagai pribadi yang terpenting adalah aktualisasi, pertanyaannya adalah aktualisasi terhadap apa ? jika kita jawab dalam prespektip agama tentu saja aktualisasi terhadap kesempatan hidup yang di berikan oleh Allah kepada kita.
 
Jika kebijakan ekonomi memiliki skala mikro dan makro begitu juga dengan proyeksi berfikir kita yang terpola pada kata "seadainya", "andaikata", " jika saja" di iringi dengan idealisme kata seperti " semestinya", " seharusnya ", " selayaknya" melawan sandaran terakhir  kata yaitu " pada kenyataanya". beraroma sangat pesimis bukan ? tapi jelas realistis. contoh ...
 
Ketika hangat issue krisis global yang dimulai dengan "subprime mortage" di Amerika, semua membiacarakan dampaknya dan analisa kedepan dengan berbagai asumsi kecerdasan berfikir dan sepertinya akan terjadi kekacauan ekonomi selanjutnya akan menggelinding bagaikan bola salju pada bidang lain titik (.) itu semua masalah makro , sekarang kita masuk kemasalah mikro di mulai dengan pertanyaan "apakah setelah kejadian itu kita masih hidup", " masih  bisa makan gak sih ?" , " trus kalo sudah begitu saya mo ngapain yah" . Pilihan nya cuma satu yaitu menjalani hidup dengan baik, karena jika pertanyaan di balik " apakah yang kita peroleh dan kerjakan hari ini adalah hasil dari analisa berfikir masa lalu ?" maka sebagian besar diantara kita tentu akan menjawab " tidak ". ...so what , dan pada akhirnya kita akan berkata "la haula wala quata illa billah" , tiada daya dan upaya melainkan semuanya atas kehendak Allah semata.
 
Ada beberapa hal yang mewarnai hidup kita dalam perjalanan menuju pintu kubur, yaitu pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari, keluarga yang menemani, interaksi dengan lingkungan dan lainnya yang mungkin secara kita tidak sadari dari sanalah investasi yang sesungguhnya (the real investment) kita lakukan dalam kaitannya dengan amal ibadah, dalam kaitannya dengan pahala dan dosa, dalam kaitannya dengan amar ma'ruf nahi mungkar. selebihnya hanya sekedar pelengkap.
 
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS 57:20)

Dzikir Keseharian

" Alladzinaamanu wa tatmaninnu qulubuhum bidzikrillah 'ala bi dzikrillahi tatmainnul qulub" surat Ar Ra'd  ayat dua puluh delapan ini sudah dikenal baik oleh para ahli dzikir, tetapi mungkin tidak banyak yang bisa menghayatinya dalam tataran realistis. Ketika masih sekolah dulu sering diadakan outbond atau outing program keluar kota setelah ujian akhir dan selalu ada tim survey lapangan sebelum acara diadakan dan saya termasuk diantaranya. Setelah melakukan musywarah dan mufakat di tetapkan lah Cibatok bogor sebagai tempat outbond berikutnya.
 
Tim survey sebenarnya ada tiga orang tapi ada dua orang lagi yang bersedia menjadi penggembira dan dengan dana sendiri tentunya karena pada dasarnya mereka memang senang jalan-jalan. Salah satu diantara tim survey mempunyai uwak yang ada di salah satu desa dekat Jasinga Bogor, dan kami merencanakan mampir kesana setelah survey, sebenarnya jarak antara Cibatok dan Jasinga cukup jauh tapi bukan tim survey namanya jika mudah menyerah pada jarak.
 
Setelah melakukan survey, kami tiba di  desa tujuan pukul setengah enam sore tapi kondisi sudah gelap karena hujan turun cukup deras. Biasanya pada jam segitu masih ada tukang ojek yang mangkal di prapatan untuk mengangkut penumpang kekampung dalam yang berjarak sekitar dua kilometer tetapi waktu itu tidak satupun yang terlihat sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki. Mungkin bagi orang setempat petir yang memekakkan telinga saling sahut menyahut merupakan hal biasa tapi tidak bagi kami. Ricky salah satu diantanya yang sering mengucapakan " Astagfirullah" sewaktu petir menyambar, semakin keras suara petir semakin tinggi pula suara Ricky menunjukan ketakutan dan ternyata lafaz agung tersebut tidak lebih dari sekedar tameng kelatahan.
 
Hujan mulai berhenti, perjalanan masih sekitar satu kilometer dan angin bertiup sangat kencang mengguncang tubuh kami yang menggigil karena basah kehujanan. Setelah melangkah beberapa lama tampak tumpukan batu nisan di pinggir jalan. Ternyata kami harus melewati area pekuburan, suasana tampak mencekam dan satu persatu diantara kami melafazkan ayat kursi , ayat favorite untuk hal-hal menakutkan bahkan saking seringnya dipergunakan untuk hal-hal ini maka sering diplesetkan jadi ayat horor, padahal otak yang membacanyalah yang penuh horor yang " horrible". Dan hal ini terbukti, sewaktu kami berjalan sambil melafazkan ayat kursyi , tiba-tiba ada pohon tumbang di belakang kami akibat terpaan angin yang kurang bersahabat dan seketika itupula kami lari pontang-panting gak karuan. Ayat suci itupun menguap seketika tidak berbekas dihati pembacanya selain rona ketakutan yang tampak di pias muka.
 
Sering kita terjebak dalam kausalitas parsial, dimana pemahaman kita terhadap ayat-ayat Allah adalah tekstual bukan kontekstual , kita melepaskan ayat dari yang mempunyai ayat tersebut yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga kepala dan hati kita penuh dengan lafaz dan bacaan ayat-yat suci tapi jauh dari keyakinan kita terhadap zat Allah sendiri sehingga tujuan seperti yang diterangkan Al Quran " 'ala bi dzikrillahi tatmainnul qulub"  jarang kita resapi pada keseharian yang kita jalani.

Jumat, 14 November 2008

Sebuah Seruan

Sekitar beberapa hari yang lewat sepupu perempuan saya membawa teman dari Belanda, biasanya memang menjelang musim dingin banyak turis melancong ke dataran tropis berusaha menghindari sapaan cuaca. Dia menanyakan plakat yang banyak menempel di pinggir jalan maupun di dinding dan salah satunya berbunyi " Buanglah Sampah Pada Tempatnya".  Ketika di konfirmasi balik apakah orang sekitar sini suka membuang sapah sembarangan, saya hanya menjawab tidak semua tapi kebanyakan ya, dan karena itulah tulisan tadi hadir. Alfred, "wong Londo" tadi amengatakan bahwa tidak banyak plakat di tempel di negaranya kecuali beberapa simbol berupa gambar yang bersifat informasi dan bukan perintah apalagi tulisan mengenai membuang sampah sembarangan karena masyarakat disana telah terbiasa membuang sampah pada tempatnya.
 
 
Seruan biasanya di berikan kepada sesuatu yang bertolak belakang dengan yang di seru, jika tidak maka untuk apa ada seruan. Jika Allah berkata " bertaqwalah" maka sadarlah kita bahwa kebanyakan dari kita memang tidak atau belum bertaqwa. Dan karena seruan Allah pada kitabuLLah bersifat sepanjang masa, maka kita pasti sudah bisa menerka jawabannya pada kenyataan yang terjadi saat ini dan yang akan datang.
 
Pada waktu masih kecil dulu ibu sering menyuruh kita belajar, itu menandakan bahwa belajar belum jadi menu utama kita. Jika disini kita dilarang terlalu banyak bermain karena dianggap mengakibatkan kebodohan  maka sebaliknya di negara Eropa seperti yang dituturkan oleh Alfred bahwa mereka justru mengajak anaknya bermain mengenal lingkungan, beradaptasi dan mengartikulasi berbagai situasi. Mereka menciptakan permainan yang bersifat mendidik sehingga muncul berbagai kreativitas  sianak secara perlahan-lahan , lumayan berbeda kan ?
 
Didalam Al Qur'an banyak kita temukan seruan ( An nida ) seperti seruan  dengan menggunakan " yaa" yang merupakan ajakan baik yang ditujukan secara umum seperti manusia maupun secara khusus seperti  orang beriman, kafir , bertaqwa dan sebagainya artinya proses ingat mengingatkan ,ajak mengajak tidak hanya dilakukan oleh sesama manusia tetapi juga dilakukan oleh Allah kepada hambanya permasalahannya apakah ajakan tersebut di tindak lanjuti atau sekedar menjadi prasasti tanpa arti  seperti seorang pria yang sedang merokok dibawah plang dengan tulisan " Merokok bisa menyebabkan kanker.............."

Samudra Tanpa Tepi

"Jika bukan karena aku takut melukai tangan ibuku, akan ku biarkan beliau memukul punggung badak ku sampai puas karena aku membolos sekolah. Aku takut membuat susah hati ibuku karena akan di panggil kepala sekolah untuk melunasi biaya SPP yang hampir 4 bulan belum terbayar dan membolos adalah satu-satunya jalan bagiku untuk mencari tambahan rezeki membantu ibu"
 
Tergenang air dikelopak mata sahabat ketika menceritakan masa kecilnya yang penuh liku. Dia dulu sering menangis di setiap sholat bukan karena ketidak ikhlasan menerima  taqdir yang Allah tetapkan untuknya tetapi ia menangis agar di beri kesabaran agar tidak berburuk sangka kepada Allah terhadap jalan hidupnya. Dan  semua telah terbayar karena dia sekarang berada di salah satu posisi penting pada sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
 
Jika tahu suatu ketika kepala anaknya di minta untuk di penggal tentulah Nabi Ibrahim tidak akan pernah berdoa meminta anak tetapi siapa yang tahu kedalaman samudra pengetahuan Allah. Kita sebenarnya berjalan dari ketidak tahuan lama menuju ketidak tahuan baru. Jika kemaren kita tidak tahu apa yang dilakukan hari ini, maka hari ini kita tidak tahu apa yang kan kita kerjakan esok hari. Manusia bisa saja berencana tetapi Allah lah yang merealisasikan segala rencana  "wa 'akidu kaida "  kata Allah dalam surat At Thariq
 
Tidak pernah sahabat tersebut bisa membalas kasih ibunya menurut ukurannya karena keberhasilan datang setelah sang ibu meninggalkannya kecuali lewat doa, sesuatu yang merupakan senjata para mukmunin menembus rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Sandiwara Mimpi

Ada yang mempertanyakan apa sih bedanya memikirkan hari esok dan kemaren, bagi seorang rekan yang memang tampak selalu flamboyan dalam berkata-kata menjelaskan bahwa " kemaren adalah pengalaman sedangkan esok adalah rencana "  namun semuanya bagi saya layaknya mimpi, seperti  mimpi saya berikut ini
 
Jika pada biasanya pentas sandiwara di lakukan di sekolahan, maka adalah sebuah terobosan baru kalo tidak mau disebut keanehan ketika pentas seni itu di selenggarakan di pengajian. Tidak mengerti apa maksud dari bapak ustadz dan ibu ustadzah mengadakan acara tersebut yang memang bertepatan dengan maulid nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam. Dengan bertemakan " Antara Bid'ah dan Sunnah", skenario dan dialog disusun dengan sangat cerdas, menggelitik tapi bisa menjengkelkan bagi sebagian orang tapi bagi orang seusia kami waktu itu semua tampak menyenangkan. Tidak banyak yang bisa diingat dari peristiwa lampau tersebut kecuali beberapa dialog yang kemudian hari banyak menjadi masukan dalam membuat sebuah penilaian.
 
Peran Mustafa yang ahli Bid'ah di berikan kepada Hamim dan peran Zaid yang ahli Sunnah di berikan kepada Junaidi.  Keduanya berlagak bak punggawa timur tengah. Zaid berkata " hai Mustafa janganlah kau malakukan sesuatu yang tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah, bukankah ancamannya adalah neraka ?" dengan gaya super sufi mustafa menjawab " ya  Zaid tahu dari mana kau sesuatu itu dilakukan atau tidak dilakukan oleh Rasulullah selain dari riwayat dan sahnya tidaknya riwayat tersebut juga di hukumi oleh manusia bukan Rasulullah sendiri"  Junaidi yang memerankan Zaid sempat lupa dialog nya namun jubah besar yang biasa dipakai oleh orang arab telah menyelamatkannya karena lembaran naskah di simpannya di balik jubah.
 
" Jika seperti itu nanti semua orang bisa melakukan apapun dengan mengatakan ini dari Rasulullah, bukankah kita mempunyai banyak ahli hadist yang telah menyeleksi beribu bahkan jutaan hadist seperti imam Bukhari dan Imam Muslim" terang zaid dengan hati-hati seperti didikte " tapi saudaraku yang aku lakukan inipun ada hadistnya cuma oleh sebagian orang dinilai tidak layak hanya karena asumsi-asumsi baik itu yang meriwayatkan pendusta, tukang mengada-ada tidak dikenal dan sebagianya padahal mereka meriwayatkan juga hadist dilarang berburuk sangka, lalu bagaimana mungkin mereka memilah hadist dengan berburuk sangka ?" . Hamim memang pandai memerankannya gayanya seperti pemikir sejati. " ini masalah hukum saudaraku ada pengecualian jika tidak bagaimana mungkin kita bisa memenjarakan maling tanpa prasangka yang didukung fakta tentunya" sahut Zaid mulai percaya diri ( maksudnya si Junaidi).
 
" okelah kita terima asumsimu lalu siapa yang berani memastikan bahwa seorang yang dinilai suka berbohong  juga berbohong dalam meriwayatkan hadist lalu siapa juga yang berani memastikan bahwa yang dinilai tsiqah tersebut tidak pernah berbohong seumur hidupnya ?" tampik Mustafa, semakin berlika-liku " Bukan begitu saudaraku ini hanya untuk kehati-hatian karena kita tidak mungkin menilai sesuatu yang tidak tampak dan menutupi yang jelas terlihat" terang Zaid dan junaidi mulai menemukan ruh peran tersebut. " Jika seperti itu, demi yang memiliki langit dan bumi beranikah kau saudaraku memastikan bahwa riwayat yang dinilai sahih sebagai kebenaran mutlak dan yang tidak sahih atau da'if sebagai kesalahan mutlak" tantang Mustafa " tentu tidak karena sebagai manusia kita dianugrahi akal untuk mencari kebenaran dan untuk itulah para ahli hadist sampai sekarang terus menggali berbagai informasi sehingga kualitas hadist semakin terjaga " sahut zaid
 
Mustafa tertawa terbahak-bahak, mungkin saking menjiwai Hamim jadi sedikit batuk " ha ha ha kau tidak berani memastikan sesuatu yang mutlak tetapi kau berani menghardik dan menganggapku sesat bahkan menghukumiku di neraka dan mengabaikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala  yang mempunyai otoritas tertinggi"
 
Lamunan buyar , sahutan adzan terdengar memanggil manusia menuju sesuatu yang maha mutlak yang berlepas diri dari segala sangka dan asumsi hambaNya dalam memerankan scenario akbar yang telah di tetapkanNya sampai akhir waktu.

The " Prasangka"

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jauhkanlah dirimu dari prasangka  buruk, sebab prasangka buruk adalah ucapan yang paling bohong." Muttafaq Alaihi.

"Siapapun presidennya tidak akan berpengaruh dengan perbaikan kondisi ummat Islam di dunia " seru salah seorang rekan dikantor menanggapi pemilihan presiden di Amerika " jangan berprasangka  seperti itu bisa-bisa Allah mengabulkan loh " kata saya kepada rekan tersebut " umar bin khattab sebelum masuk Islam dan umar bin hisyam (abu jahal ) adalah sama-sama di takuti  dan menjadi musuh Rasulullah, namun kehendak Allah berkata lain dimana doa Rasulullah agar salah satu dari umar tersebut memperkuat barisan Islam dikabulkan jadi mungkin ada baiknya pernyataan tersebut di rubah menjadi sebuah doa agar siapapun yang menjadi presiden bisa memperbaiki kondisi umat Islam sekarang ini " kata saya nampak sok bijaksana.
 
Berprasangka adalah tabiat manusia yang menghiasi prilaku kita sehari-hari. Didalam Islam berprasangka yang di bolehkan hanyalah berprasangka baik (khusnuzon) yang merupakan bagian dari harapan dan harapan adalah bagian dari pada doa. kebalikannya prasangka buruk sesuatu yang di benci dan Rasulullah menyatakan bahwa "Hati-hatilah terhadap prasangka. Sesungguhnya prasangka adalah omongan paling dusta". (HR. Bukhari)
 
Kembali kepada komentar tadi bahwa rekan yang lain mencoba menetralisir sambil mengatakan " saya pikir untuk antisipasi tidak masalah berprasangka buruk karena ini hanyalah nama lain dari kehati-hatian dan didalam ilmu kita juga mengenal manajemen resiko, dan mana mungkin muncul ilmu tersebut jika tidak di mulai dengan prasangka " katanya mencoba bicara ilmiah. Saya tidak berusaha menjawab karena saya pribadi berprinsip berdiskusi cukup sekali putaran karena jika sudah masuk putaran kedua atau ketiga maka yang berperan hanya lah ego yang di bungkus dalil-dalil dan iblis menang satu kosong.
 
Prasangka buruk merupakan bagian dari ketakutan sesuatu yang akan menimpa kita secara langsung atau tidak langsung, padahal lawan dari ketakutan adalah kepasarahan. Volataire pernah berkata bahwa ketakutan sesuatu yang tidak masuk akal sedangkan sisanya tidak bisa di percaya.

Jika Agama jadi Santapan Logika

Jika ada orang yang paling pandai bicara dilingkungan kelas pada waktu sekolah dulu maka Penni lah orang nya, dia mampu menyitir ayat-ayat suci dengan gaya pilosofis, " Apalah arti sebuah nama" katanya dengan gaya Taufik Ismail membacakan puisi " Nama Sukarno terkenal setelah ada yang menjadi presiden, siapa itu Ali RA, namanya dikenal setelah si empunya nama mengukirnya di pentas kejayaan Islam, Ibrahim tidak akan pernah dikenal dan di jadikan nama oleh banyak orang jika Nabi Allah itu tidak diberi nama seperti itu, begitu juga dengan Muhammad SAW, bukan nama yang membuat seseorang menjadi terkenal tetapi tindakan seseorang yang menjadikan namanya bermakna" katanya dengan antusias, ketika dia berargumen membela namanya yang sering di plesetkan teman-temannya sehingga berkonotasi alat kelamin laki-laki.
 
Berbicara mengenai topik-topik kegamaan selalu menjadi menu utama kami saat itu, Fahmi adalah seorang yang paling sering bicara mengenai taqdir Allah, sehingga apapun yang dia lakukan di klaim sebagai bagian dari taqdir Allah termasuk kebodohannya yang selalu mendapat nilai lima untuk pelajaran bahasa Inggris, dalihnya adalah " Jika sehelain daun jatuh saja sudah tercatat di lawuh mahfuz apalagi nilai bahasa kafir ini " jelasnya sok jadi ustadz.
 
Agama sering jadi santapan logika kata-kata kala itu mirip dengan debat politikus kelas tinggi atau warna-warni kutipan dalil di milis -milis terkenal. Seperti plintiran logika herman yang sering ngotak-ataik rumus fisika dan biologi dalam menjawab pertanyaan Fahmi " dimanakah Allah itu " , dengan spontan dijawab oleh ugeng dengan kutipan surat Al Baqarah ayat 115 " Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. " dengan rada sok nguji Fahmi menimpali " bukan nya di langit ?, di Al Qur'an di terangkan bahwa malaikat sering naik kelangit menyampaikan berita di surat As Sajdah ayat 5 "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu "
 
"sudah-sudah kalian ini nampaknya pintar tapi bodoh, percuma kalian belajar ilmu biologi dan astronomi kalo cuma baca teks kayak gitu kalian tidak lebih baik dari balita di pos yandu " ejek herman " logikanya gini man , anda semua kan tahu kalo kalo bakteri di tubuh kita berjumlah jutaan, contohnya kau sajalah fahmi, di badan kau itu ada beribu bahkan berjuta sel yang mengandung bakteri baik di otak kau yang bebal itu , di jantung kau yang deg-degan kalo ngeliat cewek, di hati kau yang suka di bolak-balik sama Allah kayak pesawat apollo , di usus dan sebagainyalah, nah kalo di langit kita sebut konstalasi bintang kalo di badan kau itu kita beri nama saja konstalasi organ, ngerti kalian sampai disini ?" terang herman sok professor belagak tengil, gak ada yang jawab , malas dengarin cuma penasaran kalo ditinggalin
 
" Di konstalasi organ kau itu fahmi ada namanya planet hati, jantung dan sebagainya, didalam jantung kau itu ada beribu bahkan jutaan bakteri, nah salah satu bakteri itu bertanya di mana si Fahmi berada, temannya menjawab di langit atau diatas ada juga yang menjawab di mana-mana , lalu yang mana yang benar menurut kau si empunya organ ?" tanya Herman mengahiri  bualannya
 
Celotehan terus saja berlanjut tanpa arah, menerobos adab kesopanan berfikir , mempermalukan Albert Einstain selaku pemikir ulung bahkan tidak layak di bilang ummat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam karena wasiat beliau ( Al Qur'an dan Hadist ) lebih banyak di ceritakan daripada di laksanakan.

Jumat, 24 Oktober 2008

Cerita Pandang Memandang

Setelah shalat Maghrib biasanya saya dan beberapa rekan sering diskusi secara santai samabil menunggu waktu Isya dan pembahasan waktu itu adalah cara memandang tujuan beragama pada orang kebanyakan. Berbagai wacana bertaburan mewarnai diskusi walaupun semuanya bersifat subjektif , ya gak apa-apalah buat nambah wacana saja. dan saya bingkai lewat sebuah narasi pendek
 
Setelah beberapa tahun secara tidak disengaja saya bertemu teman lama pada suatu majelis,  tampak  terjadi banyak perubahan pada dirinya tidak hanya prilakunya tetapi juga penampakan fisik. Semangat dakwah menjalar keseluruh tubuhnya sehingga ketika berbicara, mimik mukanya tampak garang dan badannya sering bergetar seperti menahan sesuatu. Dia sering menghujat para " the real terorist" di palestina, para "aggresor" di amerika dan para " sipilis" di negara kita yah seperti JIL itulah dan memang tidak ada yang salah dari cara pandangnya semua sesuai dengan apa yang telah di pelajari dan di lakoni baik dari majelis , dari buku maupun dari  lingkungan, namun dia sering memberikan penilaian menurut apa yang dia pahami. Cara pandang seperti teman saya itu adalah cara pandang dari depan yaitu  selalu menilai apa yang tampak didepannya baik berupa kelemahan  maupun kelebihan namun akan lebih sering  tampak segala kelemahan dan keburukan lawan dan hal ini sering menimbulkan konfrontasi baik secara langsung maupun tidak langsung karena dia sering melihat tujuan dia dan yang didepannya bertolak belakang.
 
Berbeda dengan cara pandang tadi, salah satu teman yang lumayan lama aktif dalam kepengurusan masjid dan sering bergaul dengan berbagai macam kelompok keagamaan tampak lebih persuasif, dia beranggapan bahwa  silahkan berjalan menurut keyakinannya selama dalam aqidah yang benar (tidak syirik). Namun untuk diluar Islam dia tampak tidak begitu perduli karena menganggap mereka berada diluar jamaah.  Cara pandang seperti ini adalah cara pandang dari samping yaitu memandang orang seperti dalam satu shaf memanjang dan bersama-sama mengarah kedepan ( tujuan yang sama ) tanpa perlu saling sikut menyikut.
 
Ki Farid, salah satu imam masjid dekat rumah malah lebih bersifat umum yang memandang semua manusia adalah mahluk ciptaan Allah, dan Ki Farid beranggapan bahwa selalu ada garis-garis ketetapan Allah pada setiap mahluknya, dan mudah bagi Allah mempersatukan atau mencerai-beraikan manusia karena Allah maha berkehendak dan tidak ada satupun kejadian di muka bumi ini selain atas kehendak Allah dan salah satu kehendak Allah menurut Ki Farid adalah membiarkan manusia dalam kesesatan selama mereka tidak berusaha mencarinya kecuali atas orang-orang yang dipilih olehNya. Ki Farid memang tekenal dengan keramahannya dan dia sering memberikan pertolongan kepada siapapun dan ke pada agama apapun yang ada didekat tempat tinggalnya. Cara pandang Ki Farid ini adalah cara pandang dari atas melihat orang lain dengan berbagai macam tujuan tetapi tidak mencampuri tujuan mereka.
 
Cara pandang yang lain adalah seperti ustadz Najib, guru ngaji saya. Tidak banyak memang yang mengikuti pengajian ustadz Najib, namun selalu banyak pelajaran  yang bisa di peroleh, dia tidak pernah melihat status, tingkatan maupun agama  seseorang jika salah maka dia akan langsung memperingatkan dengan santun sebatas apa yang bisa dia lakukan. Untuk para muridnya dia sering menuntun tanpa berusaha menggurui, berusaha memberikan berbagai macam sudut pandang yang dinilai sebagai kebenaran tanpa menekankan pada sebuah pembenaran. Hal ini bisa lebih merangsang kreativitas berfikir para murid untuk bisa memberikan penilaian dari berbagai referensi tadi. Cara pandang ustadz Najib ini adalah cara pandang dari belakang yaitu memberikan pandangan kedepan dan membiarkan berjalan sendiri-sendiri tetapi tetap menuntun dari belakang.
 
Dan yang kebanyakan adalah cara melihat dari bawah yaitu mengikuti cara pandang orang yang di idolakannya baik itu ustadz, kiyai, ajengan, syaikh, murobi atau apapun istilah lainnya tanpa pernah mau bersifat kritis dan enggan mempelajari sumber, dasar atau dalil dari para idola mereka dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengambil keputusan dalam sebuah masalah, atau sering di istilahkan 'taqlid buta'.
 
Tapi memang benar semuanya bersifat subjektif dan pembuktianlah yang bisa menjadikannya objektif, karena seperti kata voltaire ' fikiran di buktikan dengan perbuatan, dan segala perbuatan di simbolkan dengan perkataan dan perkataan di wakili oleh bahasa maka bahasalah yang sering menyembunyikan fikiran"
 

Bukankah itu Ghibah

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tahukah kalian, apa itu ghibah" Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: "Yaitu, engkau menceritakan saudaramu apa yang tidak ia suka." Ada yang bertanya: Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada pada saudaraku?. Beliau menjawab: "Jika padanya memang ada apa yang engkau katakan, maka engkau telah mengumpatnya (menjadikannya ghibah) dan jika tidak ada, maka engkau telah membuat kebohongan atasnya (menjadikannya fitnah)." Riwayat Muslim.
 
Ilmu dan pengetahuan biasanya disandingkan dalam satu kata, padahal keduanya mempunyai substansi yang berbeda seseorang yang mempunyai pengetahuan belum tentu mempunyai ilmu dibidang sesuatu yang dia ketahui, begitu juga dengan orang yang berilmu belum tentu selalu menerima informasi atau pengetahuan mengenai ilmu yang dia dalami.
 
Seiring dengan kemajuan dalam bidang telekomunikasi maka penyebaran informasi melalui berbagai media terjadi setiap saat. Sayangnya tidak setiap infomasi yang kita terima mempunyai nilai kebenaran atau mempunyai nilai keilmuan didalamnya. Namun tetap saja kebutuhan akan informasi tersebut tidak bisa dibendung dan hal ini sering dimanfaatkan sebahagian orang untuk menggiring opini publik pada tujuan yang di kehendakinya, sehingga tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa  jika ingin menguasai dunia maka kuasailah berbagai media informasi  dan hal ini tebukti dimana ummat Islam sering terpojok oleh pemberitaan negatif dari berbagai media baik di luar maupun didalam negeri.
 
Menyampaikan informasi mengenai keadaan orang lain jika tidak hati-hati maka akan menjadi dilema karena jika tidak disebut ghibah maka akan disebut fitnah, namun belakangan ini hal tersebut sering diabaikan bahkan dengan menggunakan alasan yang paling logis dan tampak bijaksana seperti " mudah-mudahan dengan membahas hal ini bisa menjadi pelajaran dan bahan renungan agar kelak tidak terjadi lagi dikemudian hari " . padahal pelajaran itu disimpan di hati bukan di mulut.
 
Dalam salah satu kisah celoteh para munafikun, mereka berkata " Cara terbaik menyembunyikan keburukan kita adalah dengan mengungkapkan keburukan orang lain, dan jika kita tidak mendapatkannya maka lekatkan keburukan kita pada mereka sambil kita berpura-pura menasehati mereka dengan logika para dewa"
 
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( QS 60:5)
 
 

Jumat, 17 Oktober 2008

Belajar Merasa

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS 2:115)
 
Suatu ketika Nasruddin bermimpi melayang-layang di luar angkasa bahkan dia tidak bisa membedakan mana bumi atau planet lain semuanya tampak seperti kilauan bintang di kejauhan, Nasruddin bingung menetukan waktu sholat karena dia tidak bisa membedakan antara siang dan malam dan dia juga tidak tahu harus menghadap kemana , dia seperti berputar dalam symphoni jagat raya tanpa  tepi, " kemana arah yang mesti aku tuju  untuk sujud kepadamu ya Rabb, karena aku seperti berada dalam genggaman keagunganmu yang tak berbatas, tak lagi mengerti hari ini , kemaren atau esok lusa , semua seperti sama ", tiba-tiba Nasruddin merasa terlempar jauh dan dia terbangun setelah jatuh dari tempat tidur " ah maafkan aku ya Rabb ternyata aku harus kembali membatasi mu wahai Tuhanku di pojok-pojok mihrab dan dinding-dinding batu ketika aku sujud nanti"
 
Indra yang kita miliki selain bermanfaat untuk berinteraksi dengan dunia luar, juga sering menipu kita tentang realitas dunia luar tersebut, langit yang kita kira berwarna biru ternyata hanyalah pantulan cahaya, bumi yang kita kira diam ternyata berputar menyamai kecepatan peluru sehingga kita menyadari bahwa selain di batasi oleh indera kita juga di batasi oleh ilmu pengetahuan sebagai contoh kita buat dalam logika bahasa pernyataan berikut ini  "orang yang tidak tahu bentuk gajah hampir sama dengan orang yang tidak pernah melihat gajah" dan ketika pengetahuan di perolah maka pernyataannya menjadi " orang yang pernah melihat gajah belum tentu pernah bertemu gajah " walaupun hampir sama tapi jelas berbeda.
 
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa tidak banyak yang berubah dari ilmu pengetahuan kecuali dari sudut mana kita melihat dan menggalinya. Informasi yang di sisipkan berulang-ulang bisa merubah cara pandang kita, sebagai contoh rasa takut atau geli terhadap kecoa, atau ulat atau tikus karena informasi yang kita terima mengatakan bahwa kecoa itu binatang yang menakutkan atau menggelikan, sebaliknya anak  yang berusia satu sampai dua tahun  yang belum mendapatkan informasi tersebut tidak merasa takut atau geli bahkan ada yang menggigit dan meremasnya. Lalu apa sebenarnya rasa takut ?
 
Sifat ikhsan tidak akan pernah diperolah selama otak kita belum memuat endapan ketauhidan mengenai Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita baru mengenal Allah lewat indera seperti mata dengan membaca telinga dengan mendengar nasehat-nasehat, pengajian-pengajian, tetapi kita belum mengenal Allah lewat hati kita, sebagai contoh kita mengenal presiden kita dari melihat di media cetak mendengar apa yang beliau perbuat bagi kita rakyatnya dan ketika orang lain bertanya mengenai president kita akan bisa memberikan informasi dengan baik tetapi apakah sama perasaan kita terhadap president dengan perasaan kita kepada ibu ?  tentu tidak karena sehebat apapun pengetahuan yang kita peroleh mengenai president dan apa-apa yang telah dia perbuat untuk rakyatnya tidak bisa menyamai rasa yang ada di dada terhadap ibu , karena muatan emosi kita terhadap president mungkin ada tetapi tidak terlalu kuat untuk membuat kita perduli.
 
Merasa hebat karena telah banyak mengumpulkan informasi mengenai keislaman dan ketauhidan memang boleh -boleh saja tetapi lebih hebat jika informasi atau ilmu pengetahuan tersebut menjadikan kita lebih bisa merasa.

Atas Nama Penilaian Orang Lain

Didalam salah satu festival film dari Iran di ceritakan bahwa dua orang anak tukang jahit setiap hari berangkat sekolah dengan berlari karena jarak yang ditempuh kedua anak itu cukup jauh dan tidak jarang mereka sampai terlambat kesekolah. Karena terlalu sering di bawa berlari sepatu keduanya menjadi rusak , namun sang ayah hanya bisa membelikan sepatu untuk si kakak karena tabungan mereka tidak cukup untuk membeli dua pasang sepatu dan hal itulah yang menyebabkan  sang kakak berusaha mencari kerja sampingan agar bisa membelikan sepatu baru buat adiknya akan tetapi harga sepatu pada waktu itu terlalu mahal.
 
Ketika lomba lari antar sekolah akan di selenggarakan sang kakak melihat bahwa hadiah bagi pemenang kedua adalah sepasang sepatu dan ukurannya hampir sama dengan ukuran kaki adiknya. Dengan hati yang penuh harap si kakak mendaftar pada acara lomba tersebut. Sang kakak sengaja merahasiakan hal itu keluarganya termasuk adiknya agar kalo kalah terlalu berharap banyak dan kalo menang bisa menjadi kejutan.
 
Pada hari yang telah di tentukan lomba pun dimulai, sang kakak berlari dengan sangat cepat karena memang setiap hari telah terbiasa berlari pulang pergi sekolah. Yang ada dimata sang kakak hanyalah sepatu bagi adiknya. Satu persatu lawan di tinggalkan sampai dia lupa bahwa garis finish semakin dekat dan hadiah sepatu hanya bagi juara dua sedangkan lawan masih jauh di belakang. Para guru dan teman-temannya menyoraki agar dia secepatnya mencapai garis finish tetapi dia hanya ingin jadi juara dua bukan juara satu. Semakin dekat garis finish teriakan penonton semakin membahana dan dia tidak bisa lagi menahan teralu lama. Sorak penonton mengelu-elukan dia sebagai juara tetapi airmatanya menangis melihat sepatu bagi adiknya yang terlewatkan, dia tidak perduli juara atau tidak , dia tidak begitu perduli dengan segala pujian karena yang di butuhkan cuma satu yaitu sepatu bagi adiknya.
 
Terkadang apa yang menurut kita baik belum tentu seperti itu penilaian orang lain terhadap kita begitu juga sebaliknya apa yang dianggap orang baik belum tentu bisa kita terima sebagai sebuah kebaikan, namun ada saat kita sulit menghindar dan terkondisi pada penilaian orang lain lalu mengenyampingkan pendapat kita sendiri atas nama toleransi.
 
Berlakulah lunak dan saling mengasihi. Hendaklah kamu saling mengalah terhadap yang lain. Apabila orang yang punya hak mengetahui kebaikan yang akan diperolehnya disebabkan menunda tuntutannya atas haknya pasti orang yang punya tuntutan atas haknya akan lari menjauhi orang yang dituntutnya. (HR. Bukhari)
 
Jika bukan karena matahari, mana mungkin orang bisa menilai indahnya cahaya rembulan atau gemerlapnya bintang-bintang tetapi tetap saja panasnya yang selalu menjadi cerita

Kekuatan Niat atau Hanya Prasangka Semata

Tidak banyak yang di peroleh Ina hari dari berjualan kue kering hasil masakan ibunya. Rutinitas seperti ini memang harus dilakukan Ina sepulang sekolah dalam membantu ibunya untuk menambah penghasilan keluarga, wajarlah karena sang ayah telah lama meninggalkan mereka yang telah meninggal dunia karena penyakit demam berdarah. Sebagai anak satu-satunya Ina merasa terpanggil untuk membantu ibunya berjualan kue, sementara ibunya membuka jasa jahitan dirumah. Hari itu tidak seperti biasanya, hujan yang terus menerus mengguyur jakarta berimbas juga pada dagangan Ina, hampir separuh dari dagangannya belum laku terjual sementara hujan belum juga berhenti. Sambil menunggu hujan Ina duduk di pojokan halte bis sambil berharap ada calon penumpang yang berkenan membeli dagangannya. Disisi lain halte tersebut nampak seorang ibu sedang menggendong anaknya yang terus saja menangis entah karena kedinginan atau kelaparan, terbersit keinginan Ina bersedekah dengan memberi kue dagangannya kepada ibu tersebut. Baru saja Ina hendak memberikan kue kepada sang ibu ada seorang lelaki separuh baya mendahuluinya, lelaki tersebut memberikan sebungkus roti kemasan  dan makanan fast food kepada ibu tersebut mungkin sebagai tanda ke prihatinan juga dan hal ini tentu saja membuat Ina menjadi ragu karena kue yang dimilikinya hanyalah kue kering biasa sehingga muncullah rasa rendah diri untuk bersedekah " ya sudahlah ..kan sudah ada yang membantu.." pikir Ina sambil menatap kosong kejalan yang masih di penuhi dengan genangan air.
 
Belum jauh pikiran Ina melayang tiba-tiba cipratan mobil yang berjalan dengan kencang membasahi sebagian baju dan kue Ina. Tidak ada yang bisa di perbuat, mobil itu sudah beralalu menjauh tanpa ada yang bisa menghentikan dan tinggal Ina yang di rudung kesedihan karena hampir semua sisa kuenya tidak bisa dimakan karena telah tercampur air kotor cipratan mobil tadi. "mungkin ini ganjaran sesuatu yang telah diniatkan tapi tidak dilaksanakan...." gumam Ina dalam hati  "..ya sudahlah mungkin Allah memang hendak memberikan sebuah hikmah atas kejadian ini...". Tanpa disadari oleh Ina lelaki yang tadi memberikan makanan kepada Ibu yang menggendong anak , mendekat kearahnya " Kue nya basah semua de..." sapa lelaki tersebut perlahan ....Ina hanya mengangguk " bagaimana kalo sisa kue tersebut saya bayar "   Ina hanya menggeleng " Saya diajarkan oleh ibu untuk membiasakan diri bersedekah bukan menerima sedekah " balas Ina " saya bukan hendak bersedekah tetapi membeli...apakah itu salah", Ina lalu melirik kearah lelaki paruh baya tersebut " tetapi setelah itu di buangkan ?" , mendengar pertanyaan Ina lelaki tersebut tersenyum "bukankah ade juga akan membuang kue yang telah kotor tersebut setelah sampai dirumah , jadi biarkan saja saya membelinya , masalah kue itu akan saya apakan ade sudah terlepas dari tanggung jawab " "masuk akal juga pikir Ina " Ina hanya mengangguk perlahan sambil menyerahkan kue tersebut
 
Terkadang kita sering terkecoh oleh berbagai prasangka yang mewarnai niat kita ketika kita hendak memulai sesuatu dan mengaggap bahwa prasangka itu juga merupakan bagian dari niat, namun demikian juga kita sering di buat takjub oleh jawaban Allah terhadap niat dan prasangka kita tanpa kita duga sebelumnya.
 
Tidak jarang juga kita menggadaikan niat kita ketika berbuat baik dengan berparsangka bahwa kita telah berubah jadi orang baik, padahal Rasulullah telah mengisyaratkan bahwa cermin kita adalah tetangga atau lingkungan artinya jika kita ingin menilai seseorang bertanyalah kepada tetangga atau lingkungannya. terus apakah memang kita beribadah karena kita menyangka akan mendapatkan syurga ? atau sebagai wujud penghambaan kita kepada sang khalik ? Namun apapun itu kita memang tidak pernah dilarang utnuk berharap  karena seperti kata pepatah kita harus menjagkau lebih tinggi dari apa yang telah kita genggam agar kita menyadari bahwa diatas langit masih ada langit. diatas kebaikan masih ada yang lebih baik.

Tidak Selalu Menjadi Jebakan Budaya

Suatu sore di pojok salah satu masjid tampak seorang pemuda dengan mengenakan stelan Jas seperti seorang eksekutif muda yang sedang sibuk berdzikir bahkan saking asyiknya sampai tidak menghiraukan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seorang Ustadz dengan pakain gamis putih bersih mendekati pemuda tersebut sambil mengucapkan salam dia menyapa pemuda tersebut, " Baru pulang kerja ya nak ?" sapa pak Ustadz "tidak stadz , saya dari rumah" jawab si pemuda " atau mungkin mau berangkat kerja ?" , " ya tidak lah stadz kan udh sore gini, paling habis maghrib atau mungkin habis Isya kali baru pulang biar gak bolak-balik" jawab si pemuda dengan santai
 
" tapi kok anak ini aneh, masak ya cuma ke masjid pake stelan jas jadi  mirip orang mau ke gereja " sahut si Ustadz penasaran   " Trus harusnya pake apa dong stadz, soalnya ini pakaian kesenangan saya dan saya berharap suatu ketika jadi eksekutif muda, gito loh stadz" jawab si pemuda cengengesan tapi terus mendawamkan dzikir di bibirnya " Loh kita kan punya pakaian untuk beribadah ya paling tidak seperti saya inilah ", dengan sabar sang ustadz memberi pengarahan " memangnya dulu Rasulullah membeda-bedakan pakaian berdagang dan pakaian sholat, trus pakaian yang ustadz pake itu pakaian orang islam atau orang arab, soalnya teman saya yang beragama hindu di pakistan juga berpakaian seperti ustadz ini bahkan tutup kepala yang biasa di gunakan para kiyai sini tetapi  di Banglades di pakai oleh para tukang becak atau pengangkut sampah atau buruh pada umumnya" balas sipemuda tidak mau kalah.
 
Cuplikan dialog diatas bisa jadi memang merupakan produk budaya yang terkondisi jadi produk agama yang bertajuk identitas, namun tidak juga bisa disalahkan seseorang yang berpakaian seperti orang yang dicintainya, seperti anak saya yang suka meniru cara berpakaian ibunya karena terkadang karakter bisa di bentuk oleh kebiasaan cuma yang menjadi permasalahan adalah banyak diantara kebiasaan itu yang hanya membentuk tampilan fisik. Seperti banyaknya kita membaca referensi sifat sholat Nabi, lalu bagaimana dengan sifat khusyuk Nabi ? sehingga jangan heran kalimatullah "innassholata tanha anil fakhsa' i' wal mungkar" (QS 29:45) tidak pernah benar-benar kita rasakan.
 
Budaya memang di bentuk oleh sebuah kebiasaan pada suatu masyarakat, namun kebiasaan tanpa kesadaran adalah kelatahan sedangkan kebiasaan dengan kesadaran akan membentuk kemampuan. Seseorang yang terbiasa sholat karena dikondisikan oleh orang tuanya tetapi tidak mempunyai kesadaran akan makna sholat yang di jalaninya maka suatu ketika dia akan mengalami titik jenuh dan berkata " sekali-kali sholatnya istirahat dulu ah "
 
Nilai seperti apa yang mesti di berikan kepada seseorang yang dikondisikan oleh budaya tanpa mau tau untuk apa dia melakuakn semua itu, namun jika sebuah keinginan untuk berusaha lebih baik dilakukan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan bahkan menjadi suatu budaya maka hal inilah yang semestinya kita terapkan pada diri kita, keluarga kita dan lingkungan kita
 
Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang sehingga keunggulan bukanlah sebuah perbuatan tetapi sebuah kebiasaan. (Aristotles)

Just Do It

 
.... Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri....... (QS Ar Ra'd : 11)
 

Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
 

Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)
 

Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani)

 
Walaupun mengerjakan pekerjaan pada bangunan yang sama, seorang tukang batu atau tukang kayu memiliki kapasitas kemampuan yang berbeda dengan pelaksana lapangan (civil engineer), maupun perancang bangunan (architect), namun apakah seorang tukang batu atau tukang kayu bisa menjadi pelaksana lapangan atau perancang bangunan ? tentu saja bisa  jika dia kembali menggali potensi dirinya untuk terus menuntut ilmu. Lalu bagaimana jika pertanyaan di balik apakah bisa seorang pelaksana lapangan atau perancang bangunan menjadi tukang kayu atau tukang batu ? bisa saja tapi jelas ada ke engganan untuk turun pada tingkat yang lebih rendah karena pertanyaannya adalah "untuk apa ?".
 
Pada banyak sisi potensi pikiran jauh lebih di hargai dari pada kemampuan fisik walau pada kenyataanya fikiran tanpa perbuatan adalah omong kosong.  "Ketika aku mendengar terkadang aku suka lupa, ketika aku melihat aku berusaha untuk mengingat, namun ketika aku berusaha barulah aku bisa mengerti " (confencius)
 
Banyak hal yang tidak mungkin terjadi bisa di lewati dengan sebuah usaha namun banyak juga yang tidak bisa mendapatkan sesuatu yang mudah untuk di jangkau tetapi terlewatkan karena kita terlalu lama memikirkan cara untuk memulainya. Ketika pertama kali melawan penjajah negeri ini, kita tidak tahu kapan bisa merdeka dengan persenjataan yang tidak seimbang, namun para pahlawan negeri ini melakukan apa yang bisa mereka perbuat hari itu untuk bisa kita nikmati hari ini.
 
Biarkan aku mendengar ketika kau berbicara dan menjadi saksi ketika kau melihat dan terakhir ijinkalah aku melaksanakan apa-apa yang kau fikirkan dengan satu syarat silahkan tinggal kan seluruh harapanmu padaku - kata punggawa (ken arok) kepada sang raja (tunggul ametung) yang kelak menggulingkan kekuasaannya
 
so ...just do it ...jangan gantungkan harapan kita pada apapun selain Allah SWT ...termasuk pada perusahaan tempat kita bekerja sekalipun.

Rabu, 27 Agustus 2008

Melihat Kembali Niat Kita

Ketika seorang arsitek membuat sebuah miniatur rumah lengkap dengan detailnya, kita langsung mempunyai gambaran tentang tempat yang akan kita huni, padahal untuk merealisasian hal tersebut di butuhkan waktu berbulan-bulan. Kebahagiaan menempati rumah dimiliki si empunya tetapi kepuasan merealisasikan impian si empunya dimiliki oleh sang arsitek dan tim nya.
 
Menerapkan nilai-nilai agama pada kehidupan nyata memang sangat susah karena terdapat banyak benturan kepentingan yang mewarnai hidup kita, seperti masalah seorang 'front officer ' di salah satu kantor yang mengatakan sulit sekali berkata jujur karena atasannya sering mengatakan " kalo ada yang nyariin bilang gak ada ya". Di lain sisi sering juga kita menemukan ketidak adilan didalam menerapkan hak dan kewajiban baik itu di kantor, dirumah maupun di masyakarat dan banyak lagi wacana-wacana dalam beragama yang masih berupa teks dan belum berubah menjadi sesuatu yang disifati.
 
Agama banyak mengajarkan kita bagaimana menjadi orang baik, tetapi fakta juga mengatakan bahwa banyak juga orang baik tanpa menyandang agama apapun, lalu dimana perbedaannya ? kita analogikan pada sebuah simulasi berikut ini . Ketika berbelanja pada sebuah hypermarket atau mini market di jakarta  sering kita jumpai kotak amal didepan pintu keluar-masuk dan banyak orang yang memasukan uang kedalam kotak amal tersebut, pertanyaanya apakah uang yang masuk memang di niatkan untuk menyumbang atau sekedar malas memegang uang kecil ? lucunya kalo memang buat nyumbang kok nilainya sama kecilnya dengan masukan orang yang malas megang uang kecil ?
 
Terbiasa melakukan sesuatu yang kebetulan dinilai orang baik berbeda dengan meniatkan berbuat baik karena sesuatu (ridho Allah) karena kebiasaan di bentuk oleh keadaan (outer-inner) sedangkan usaha di bentuk oleh niat (inner-outer) dan ini lah yang di usung agama Islam di banding agama lain yang hanya meletakkan sesuatu pada fitrahnya dan bukan tujuan pada peletakan fitrah tersebut.
 
Kata-kata "sesuatu dinilai dari niatnya" yang diambil dari potongan hadist nabi sangat populer di kalangan ummat islam, namun menyelaraskan hati dengan mulut bukan perihal yang mudah, tidak sedikit diantara kita yang meniatkan bekerja kekantor untuk mendapatkan ridho Allah tetapi masih mengeluh dengan hasil yang didapatkan setiap bulannya sehingga terjadi inkonsistensi antara yang diniatkan dengan hasilnya dari niat tersebut.